Selasa, 20 Maret 2018

RESUME BUKU SASTRA



Buku “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya” karya Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo & Buku “Sastra & Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra” karya Prof. Dr. A. Teeuw

Sebelum buku ini diresumekan, penyusun menjelaskan identitas kedua buku sastra tersebut. Buku pertama adalah buku “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya” karya Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo yang diterbitkan terbitan tahun 2012 cet. IX oleh penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta. Buku ini memiliki jumlah halaman 273 yang terdiri atas 13 BAB dengan No ISBN – 979-8581-15-6. Sedangkan buku kedua adalah buku “Sastra & Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra” karya Prof. Dr. A. Teeuw terbitan tahun 1984 cet.             I seri PJ 580 01 yang diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya Jakarta. Buku ini tersusun atas 12 BAB dengan jumlah halaman 404.
Buku Pradopo (2012) dengan judul “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya” adalah buku yang coba menguraikan beberapa teori-sastra dan kritik sastra yang dainggab baru, di samping dipaparkan berbagai keusustraan Indonesia dengan historis keberadaannnya di tanah air. Dipaparkan tentang priodisasi, anggkatan, sejarah sastra Indonesia, baik berupa puisi ataupun prosa. Disisi lain juga, pengarang menjelaskan sistematikakritik ilmiah dan metode yang diugunakan di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan bab per bab sehinggan gagasan dan ide yang ingin disampaikan pengarang lewat karyanya dapat ditangkap oleh pembaca. Tentunya untuk menangkap maksud dan ide tersebut harus dipahami dan dibaca secara keseluruhan.
Pradopo (2012) Bab I halaman 1-35 dengan sub pembahasan tentang “Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia”. Pada bab ini, pengarang menjelaskan berbagai penulisan sejarah dan  kesustraan Indonesia dari priode pertama hingga akhir. Pada masalah angkatan misalnya dibahas tentang sejarah sastra yang menurut Rene Welllek mebagainya menjadi tiga bagian yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Prodopo menjelaskan angkatan sastra seperti: balai Pustaka, ankgatan pujangga baru, angkatan 50-an, (HB. Jassin dengan sebutan 66), angkatan 70-an. Selain angkatan, dijelaskan perkembangan penulisan literatur sejarah sastra Indonesia, yang oleh prodopo memberikan gambaran dengan dua cara, yakni: teori estetika resepsi atau tanggapan dan teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari priode dan angkatan, selain itu penulisan sejarah dilakukan dengan sudut tinjauan perkembangan jenis sastra, baik prosa maupun puisi. Priode sastra indonesia misalnya dijelaskan oleh berbagai tokoh seperi HB. Jassin (1953), Boejoeng Saleh (1956), Nugroho Notosusanto (1963), Bakri Seregar (1964), dan Ajip Rosidi (1969). Secara umum, priodesasi yang dijelaskan oleh beberapa tokoh tersebut dengan ciri intrinsik mulai dari alur, tema, penokohan, pusat pengisahan, gaya bahasa, gaya bercerita, serta teknik latar yang diugnakan. Adapun unsur ekstrpa ektrinsik sastra Indonesia meliputi pada pemikiran, filsafat, pandangan hidup gambaran kehidupan sosial politik dan bahasa yang digunakan dalam mengkomunikasikan kehidupan sehari-hari. Setiap priode, memiliki ciri khas yang berbeda, disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, politik Indonesia.
Pada Bab II halaman 36-56, sub judul “Sejarah puisi Indonesia modern: sebuah ikhtisar” prodopo memaparkan tentang adanya persambungan antara puisi dan prosa. Pada bahasan ini, lebih dikhususkan pada sajak-sajak yang telah ada. Sebagaiamana dikatakan Teeuw (dalam Pradopo, 2012) bahwa karya sastra (puisi) tidak lahir dalam kekosongan budaya. Budaya menjadi bagian yang terpenting dalam dinamika proses terbentuknya puisi, adanya tegangan antara inovasi dan keonvensi. Periodisasi puisi indonesia yang dijelaskan Prodopo adalah bagaimana lahirnya kesustraan Indonesia, dalam hal ini puisi. Tahun 1920 menjadi tahunpenting bagi lahirnya embrio kesustraan modern Indonesia. Misalnya terbitnya roman Azab dan Sengsara (1921) oleh Merari Siregar. Tahun kedua ditulis pula sajak pertama Indonesia oleh M. Yamin dengan judul Tanah Air yang kemudian disusul oleh sajak-sajak lainnya. Artinya, kelahiran kesustraan Indonesia modern tidak saja dimulai dengan dengan prosa (roman), tapi sajak menjadi diperhitungkan.
Sajak Tanah Air merupakan penyimpangan dari konvensi sebelumnya, diamana sajak hanya terdiri atas empat baris diinovasikan dengan 9 baris tiap bait. Pada sajak tersebut juga terlihat pancaran sifat individual penyair. Dengan demikian, maka keberadaan puisi sajak saat itu mulai terinovasi. Salah satu yang menjadi point pembahasan dalam Bab II ini adalah pembakan karya sastra. Prodopo menjelaskan pembabakan karya sastra dilakukan oleh Nugroho Notosusanto, yang kemudian diadopsi oleh Ajip Rosidi (Prodop, 2012: 39). Pembabakan yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut, menurut prodopo tidak menguraikan ciri-ciri periodisasi. Karena itu, prodopo dengan mengacu pada ciri-ciri tiap periode, waktu pembabakan daopat disusun sebagai berikut: a) priode pra-Pujangga Baru (1920-1933),  pujangga Baru (1933-1942); b) periode angkatan 45-an (1942-1955); c) periode 50-60-an (1955-1970) dan, d) periode 70-80-an (1970-1990).
Dapat dijelaskan bahwa periodesasi pra-Pujangga Baru digabungkan karena tidak dilihat perbedaan yang signifikan diantara keduanya. Pada priode ini dapat dilihat dengan terbitnya majalah pujangga Baru bulan juli 1933. Diantara tokoh-tokhnya adalah Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Ali Syahbana, Armijn Pane, Rustam Efendi dan tokoh-tokoh lainnya. Karya mereka beredar dinusantara. Ciri-ciri struktur estetik masa ini adalah: bentuknya rapi, simetris, pola saja pantun dan syair, besar puisi empat seuntai, dan romantik sebagai gaya ekspresi. Adapun gagasn yang menjadi ciri ekstra ekstetik adalah: bersangkut paut dengan khidupan sosial masyarakat, ide-ide nasionalisme dan keagaamaan yang menonjol, curahan emosi dan perasaan. Selanjutnya periodesasi angkatan 45 yang dimotori dengan kemunculan sajak Khairul Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Toto Sudarto Bactiar, Mohammad Ali dsb. Ciri estetikanya adalah bebas dengna gaya ekpresionis, dengan aliran realisme. Adapun ciri ekstra estetiknya, terlihat sifat individual yang menonjol, kehidupan batin pengarang, humanisme, kesengsaraan hidup, dan HAM. Kemudian dilanjutkan dengan angkatan 50-60-an dan 70-90-an.
Pada Bab III halaman 57-73, sub judul “Perkembangan yang Dialektis dalam Kesustraan Indonesia Modern: Dialek kedaerahan-Nasional-Internasional-Kedaerahan”. Karya sastra hadir sebagai tanggapan atas karya sebelumnya. Artinya karya yang diciptakan pengarang adalah hasil pantauannya dari karya-karya yang selama ini beredar. Dalam hal ini karya sastra modren hadir, secara resmi lahir dan terbit sajak Indonesia modern yang pertama kali ditulis oleh M. Yamin. Larya sastra modern semakin berkembang berkat atas pengenaln sastrawan muda yang terus berinovasi dari karya-karya Barat, khusunya lewat sastra belanda.  Karya sastra Barat dianggap menjadi karya sastra Internasional, akan tetapi dengan masuknya karya internasional bukan bearti dapat menghilangkan unsur-unsur daerah sebagai unsur asli, ada sebagain yang dikonvensinya, dan ada juga yagn diteruskan. Ini terlihat misalnya dalam struktur puisi Indonesia modern awal, yaitu perioditasnya yang tiap baris atau larik terdiri atas dua priodus dan tiap proidus terdiri atas dua kata. Dalam prosa misalnya, hikayat disampingin dangan bentuk roman. Dalam isi dikemukakan pikiran-pikiran baru akibat pengaruh pendidikan barat dan pergaulan dengan bangsa barat seperti, menentang perkawinan menurut adat, atau menurut pilihan orang tua, atau pendidikan hanya untuk kaum laki-laki. Seperi terlihat pada siti Nurbaya (1922), layar Terkembang (1935). Tidak saja dalam roman, tampak pulan dalam drama, misalnya drama Ajirabas (W.J.S Purwardarminta) “Bangsacara dan Ragapada”.
Pada Bab IV halaman 74-91, sub judul “Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama dan Perkembangan dalam Roman dan Novel Indonesia Modern”. Prodopo melalui sub bab ini menjelaskan tentang pusat pengisahan dan metode orang pertamanya dalam roman dan novel Modern khusunya di Indonesia. Penelitian pusat pengisahan sebagai salah satu unsur struktur cerkan sangat penting untuk pemahaman. Perbedaan roman dan novel berbeda karena konvensi penyebutan cerkan panajgan dalam kesustraan Indonesia zaman sebelum PD I dan PD II. Kata roman disebut pada zaman sebelum PD I, dan kata novel setelah zaman PD II. Pengisahan dalam istilah Inggris disebut point of view. Hal yang dijelaskan secara lebih detail pada Bab ini adalah pengisahan cerita orang pertama baik roman pada balai pustaka, pujangga baru menuju masa transisi perkembangan novel Indonesia modern. Misalnya dijelaskan tentang orang pertama pada pengisahan Atheis karya Achdiat Kartamirardja yang disebut sebagai karya sastra mentransformasikan Karya Di Bawah Lindungan Kabbah sebagai hipogram. Artinya unsur ceritanya perpindahan dari karya sastra lain, yang pada intinya sama tapi bentuk berbeda. 
Pada Bab V halaman 75-92, sub judul “Kriktik Sastra Indonesia Modern dan Permasalahannya” Pradopo mencoba menjelaskan perbedaan antara kritik sastra, teori sastra, dan sejarah sastra. Seperti yang diungkap Wellek bidang studi sastra meliputi tiga hal yaitu; kritik sastra, teori sastra, dan sejarah sastra. Teori sastra ialah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori-teori kesusastraan. Sejarah sastra adalah bidang studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak lahir hingga perkembangannya yang terakhir. Kritik sastra membicarakan karya sastra secara langsung: menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya sastra.  Pradopo menyimpulkan bahwa kritik sastra memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Dalam kritik sastra, suatu karya diuraikan (dianalisis) unsur-unsur atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu, kemudian ditentukan berdasarkan “hukum-hukum” penilaian karya sastra, bernilai atau kurang bernilainya karya sastra itu.
Jenis-Jenis kritik sastra: Bedasarkan jenis bentuknya: Kritik teoritis (theoretical criticism), Kritik terapan (pratical criticism), diskusi karya sastra tertentu dan penulis-penulisnya. Adapun berdasarkan pelaksanaaanya ataupun praktik kritiknya. Abrams membagikan ke dalam tiga jenis kritik judisial, kritik induktif, dan kritik impresionistik. Sedangkan Hudson, membaginya kedalam dua jenis ; kritik judusial dan kritik induktif. Adapun berdasarkan orientasinya terhadap karya sastra, Kritik dibagi menjadi kritik mimetik, pragmatik, ekspresif, dan kritik objektif. Prodopo jugan menjelaskan corak Kritik Sastra Indonesia Modern, yakni Kritik Teoritis, salah satu esai pertama yang memuat teori-teori kritik sastra adalah kumpulan esai H.B. Jassin berjudul Tifa Penyair dan Daerahnya yang ditulis pada 1952. Sedangkan kritik yang agak luas, ditulis oleh Rachmat Djoko Pradopo pada 1967 bertajuk Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Di samping itu juga ada kritik Terapan yang pada umumnya, berupa esai-esai, timbangan-timbangan buku yang ditulis dalam surat kabar, dan pidato radio yang kemudian dibukukan. Esai kritik sastra yang terkenal adalah buku Kesusastraan Indonesia Modern dalan Kritik dan Esai (4 jilid) himpunan H.B. Jassin. 
           Adapun mengenai pelaksanaan Kritik Sastra Indonesia Modern dapat dilihat kritik H.B. Jassin seperti terbaca dalam buku-bukunya, menurut Pradopo merupakan kritik impressionistik sebab Jassin tidak menganalisis keseluruhan karya, melainkan hanya unsur yang memberikan kesan padanya. Bukan menganalisis secara objektif karya yang dikritiknya. Selain itu, kritik Jassin juga dapat dikatakan sebagai kritik judisial, karena dalam menilai karya ia menilai dengan standar penilaian tertentu, dengan membandingkan karya satu dengan lainnya sebagai standar penialaian. Selain itu, dijelaskan juga Perbedaan Kritik Ilmiah dengan Kritik Non-Ilmiah Pada tulisan Perbedaan Kritik Ilmiah dengan Kritik Non-Ilmiah yang diambil dari kutipan pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra UGM, Pradopo membedakan kritik berdasarkan asal kritikus dan sifat kritiknnya. Kritik ilmiah dibuat oleh para kritikus ilmiah para ahli sarjana universitas/ IKIP yang bekerja sebagai dosen, peneliti LIPI, peneliti di pusat bahasa dan Balai Bahasa. Kritik ilmiah dapat berupa skripsi, tesis, disertasi, makalah, ilmiah, pidato ilmiah, dan penelitian ilmiah. Menggunakan teknik penulisan ilmiah, teori dan metode sastra yang menjadi dasar kritik (analisis) dinyatakan secara eksplisit dan diuraikan secara jelas. Memiliki penunjukan refrensi secara akurat, beorientasi pada sastra objektif dengan metode deduktif dan induktif dan menggunakan bahasa baku. Kritik non-ilmiah ditulis sastrawan, wartawan, atau ahli pikir yang mempunyai minat sastra. Berupa artikel dan esai-esai, tidak menggunakan TPI, teori sastra tidak digunakan secara eksplisit, tidak menunjukan refrensi yang akurat. Berorientasi ekspresif, bersifat impresionistik, tidak mencantumkan daftar pustaka, dan bahasa yang digunakan umumnya bukan menggunakan bahasa Indonesia yang baku/ tidak seluruhnya bahasa baku. Menurut Paradopo kritik sastra ilmiah bertujuan menerangkan karya sastra sejelas mungkin untuk dapat mengungkapkan makna karya semaksimal mungkin. Oleh karena itu, digunakan teknik penulisan ilmiah, sistematika ilmiah, dan analisis stuktur ke dalam unsur-unsurnya sampai mendetail.
            Pada Bab VI halaman 106-117, sub judul “Konkretisasi Sastra”. Konkretisasi yang dimaskud oleh prodopo adalah perwujudan sastra dalam kheidupan bermasyarakat, bagaimana sastra itu mampu hadir sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. pemberian makna kepada karya sastra itulah yang diebut dengan konkretisasi. Dengan konkretisasi yang semulanya makna karya sastra tidak tanpak menjadi jelas dan para pembaca dapat dipahami. Salah satu kegiatan kritik sastra adalah pemberian makna atau mengungkapkan makna yang tersembunyi dibalik bahasa. untuk memahami hal tersebut, perlu kiranya mengetahui kaidah yang berkaitan dengan hakikat sastra. misalnya dengan analisis semiotik, membandingkan teks sastra dengan intertekstual yang kesemuanya berlatar belakang budaya.
Pada Bab VII halaman 118-139, sub judul “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik”. Penelitian sastra dapat pula dilakukan dengan pendekata semiotik. Semiotik sebagai pendekatan digunakan untuk mengungkap tanda-tanda dibalik bahasa dan kata pada karya sastra. Pendekatan semiotik merupakan lanjtan dari pendekatan struktural, tentu semiotik dipisah dari struktural. Pada Bab ini, prodopo pembahasan pada: pengertian semiotik, tanda (penanda dan dan petanda), bahasa dan kesustraan, metode semiotik dalam penelitian sastra, konveksi ketaklangsunganekspresi, penunjukan teks ke teks yakni hubungan intekstual, juga dibahasa pembacaan heuristuk dan heurmenetik. Kajian mengenai semiotik merupakan kajian tentang tanda. Fenomena yang ada dalam masyarakat, kebudayaan yang ditampilkan merupakan tanda-tanda yang kemudian diterjemahkan. Tokoh pendiri semitok adalah Ferdinan de Sausere (1857-1913) seorang ahli lingusitik dengan menyebut ilmu itu dengan semiologi, sedangkan yang kedua adalah Charles Sender Pierce (1839-1914) yang ahli filsafat asal Perancis menyebutknya dengan istilah semiotik. Pada kajiannya, semiotik berusah menganalisis sastra dengan mencari tanda-tanda dibalik bahasa. Karya sastra sebagai sebuah sistem mempunyai konvensi-konvesi sendiri, baik berjenis prosa atau pun puisi. Genri puisi mempunyai ragam: puisi lirik, syair, pantun, soneta, balada, dan sebagainya. Selain hal tersebut, terdapat juga sistem tanda, minimal seperti: kosakata, bahasa kiasan. Disisi lain juga, dibahas tentang hubungan teks denga teks lain: yakni hubungan intertekstual.  
Pada Bab VIII halaman 140-161, sub judul “Analisis Puisi Secara Struktural dan Semiotik”. Analisis karya sastra dengan struktural dan semiotik penting dilakukan. Analisis struktural merupakan analsis pertama dalam karya sastra. pada analsis struktural, dibahas struktur fisik dan non fisik, dimana keduanya saling berkaitan dalam menciptakan makna. Karya sastra merupakan struktur makna atau struktur yang bermakna. Prodopo menampilkan contoh dengan menggunakan strukutur dan semiotik dalam mengalisis saja. Pada analsis tersebut terlihat saja saling berkesinambungan. Pada hal ini, ditambahkan konvensi bahasa kiasan yang merupakan tambahan puisi yang menyatakan sesuatu yang berarti lain. Dengan arti lain bahwa, puisi memberi makna dari lain dari bahasa lain. Menurut reiffaterre (Prodopo, 2012:147) dijelaskan ketidaklangsungan puisi, seperti: penggantian arti, penyimpangan makna, dan penciptaan arti.
Pada Bab IX halaman 162-177, sub judul “Hubungan Intektesktual dalam Sastra Indonesia”. Hubungan intertekstual sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, bahwa intertertekstual berkaitan perbandingan antar dua teks sastra dalam satu analsis. Pada karya sastra orientasinya sebagaimana disebutkan Abrams (dalam Prodop, 2012: 162) ada empat tipe keseluruhan sastra, yakni: alam (iuniverse), pembaca, pengarang (artist), dan karya sastra. karya sastra sebagai teks yang otonom, yang mencukupi dirinya, maka analsis struktur intrinsiknya, kompleksitas karya sastra sangat dipentingkan. Disini dapat
 Pada Bab X halaman 178-205, sub judul “Hubungan Intektesktual dalam Roman-Roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru”. Masalh penting yang dibahas pada bab X ini adalah hubungan antarteks karya sastra dengan teks karya sastra lainnya. Makna karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh oleh struktur intrinsik, melainkan unsur sosial budaya dan kesejarahannya. Karya sastra diciptakan berdasarkan konvensi sastra yang ada, kehadiran karya satra adalah hasil pembacaan terhadapat sastra sebelumnya. Dalam penyusunan sejarah, priodesasi merupakan salah satu prinsipnya. Priodesasi adalah pembabakan waktu waktu atau priode sastra.  Dijelaskan pula hubungan intertekstual roman-roman balai pustaka, misalnya Azab DAN Sengsara karya Merari Siregar tahun 1921, berikutnya menyusul pula karya-karya lainnya yang memiliki struktur nasrasi dan tema yang mirip sama.
Pada Bab XI halaman 206-216, sub judul “Estetika dan Teori penerapannya”. Sebelum pada bab X dibahasa hubungan intertekstual roman-roman Indonesia modern dang meilhat berbagai aspek seperti tema dan struktur dan paham yang dibawa, maka pada bab XI diuraikan tentang tanggapan pembaca terhadap karya sastra dan bagaimana analisis penerapannya. Pada dasarnya teori resepsi sastra adalah cakrawala harapan dan tempat terbuka bagi para pembaca dalam melihat sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud karya satra sebelum dibaca. Artinya, pembaca memiliki konsep tersendiri mengenai karya sastra, baik berupa sajak, cerpen, maupun novel. Cakrawala harapan ditentukan oleh pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra. Bagi penganut paham resepsi baranggapan bahwa karya sastra sejak terbit selalau mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Dalam penerapannya, resepsi dilakukan dalam bentuk naskah tulisan tangan sastra lama dan resepsi karya sastra modern.
Pada Bab XII halaman 217-233, sub judul “Tinjauan Resepsi Sastra Berbagai Sajak Chairul Anwar”. Pada bab XII, Prodopo menguraikan sajak-sajak Chairul Anwar dengan menggunakan tinjauan resepsi. Chairul Anwar dianggap salah satu penyair dalam kesustraan Modern dikarenakan hasil karyanya yang inovatif. Sajak-sajak Chairul Anwar yang dibahasa misalanya sajak “Aku”, “Doa”, “Sebuah Kamar”, “Diponegoro”, “Pada Peminta-minta” dan lain sebagainya. Analsis sajak-saja Chairul Anwar digunakan teori resepsi yang di dalamny terdapat horizon harapan. Horizon harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria: a) horizon harapan ditentukan oleh norma-norma yang terpancar pada teks-teks yang telahg dibaca, b) ditentka oleh oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan c) dipertentangkan antara fiksi dan kenyataan.
Pada Bab XIII halaman 234-264, sub judul “Tanggapan Pembaca Terhadap Belenggu”. Sub ini adalah bahasa terakhir yang yang terdapat dalam buku Prodopo (212), dimanbelenggu dianggap memoliki pengaruh yang cukup tinggi pada pembaca. Pembaca belenggu dari waktu ke waktu memiliki tanggapan berbeda bahkan mulai sejak terbitnya tahun 194- 1990. Tanggapan tersebut bisa dilihat mislanya ketika naskah ditolak saat dikirim ke Balai Pustaka, dimana ketentuan umum di balai pustaka: naskah tidak melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan pemerintah Hindia Belanada, di samping mengandung pendidikan kepada masyarakat. Karena di tolak akhirnya naskah dikirim ke majalah pujangga baru tahun 1940 secara utuh, terlihat berbagai tanggapan pembaca terhadap isi naskah teresebut.

Setelah dibahasa tentang gambaran umum isi Bab pada buku Prodopo (2012) di atas, maka di bawah ini akan diuraikan buku “Sastra & Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra” karya Prof. Dr. A. Teeuw terbitan tahun 1984 cet.             I seri PJ 580 01 yang diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya Jakarta. Buku ini tersusun atas 12 BAB dengan jumlah halaman 404. Penyusun menggunakan buku edisi pertama tahun terbitan 1984 hasil fotocopy pinjaman di Perpustakan Umum UMS. Bentuk fotocopy digunakan mengingat belum tersedianya terbitan terbaru. Untuk lebih jelasnya isi dan buku tersebut, berikut ini akan dipaparkan secara umum Bab per bab dari buku tersebut.
Pada Bab I halaman 21-38, sub judul “Apakah sastra? Bahasa Lisan – Bahasa Tulis - Sastra”. Bab I ini, Teeuw memaparkan tentang beberapa peristilahan dalam dunia sastra. istilah tersebut misalnya dari bahasa Barat seperti: literature (Inggris), literatur (Jerman), litteraure (Prancis) yang semuanya berasal dari bahasa Latin litteratura yang kata ini hasil dari terjemahan bahasa Yunani grammatika: litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan pada kata littera dan gramma yang berarti huruf (tulisan, letter). Jika dibangdingkan, maka kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sangsekerta; akar kata sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, akhiran tran biasanay menujukkan alat atau sarana. Maka, sastra adalah alat yang dipakai untuk mengajar. selanjutnya, dijelaskan pula bahasa tulis dalam bentuk komunikasi, di samping dibedakan sastra, bahasa dan tulisan.
Pada Bab II halaman 42-67, sub judul “Karya Sastra dalam Model Semitok”. sebagaimana diketahui bahwa karya sastra merupakan gejala dari kehidupan masyarakat, dimana praktik kehidupan merupakan simbol dari hasil pemikiran masyarakat. wilayah sombol dan lambang menjadi bahagian dari pembahasan semiotik. Disini, Teeuw memaparkan tokoh-tokoh yang mengawali model masalah tanda. Ferdinan de Saussure merupakan salah satu tokoh lingusitik yang menyebut bahasa sebagai sistem tanda, dan tanda meruapak kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan, yakni: signifian (penanda) dan siginifie (petanda). Signifiant adalh asfek formal atau byunyi pada tanda, dan signifie meruapakan aspek kemaknaan atau konseptual. De Saussure membicarakan beberapa aspek tanda, sperti arbitrer, konvensional dan sitematik.
Selain itu, Teeuw juga mendeskripsikan beberapa model bahasa dari tokoh-tokoh, seperti: model bahasa menurut Karl biihler, model sastra Abrams, model roman Jakobson dengan fungsi puitiknya, model Charles Morris, semiotik Morris yang disesuiakan dengan Foulkes,bentuk karya sastra sebagai variabel, dan masalah nilai dalam semiotik sastra.
Pada Bab III halaman 70-94, sub judul “Karya Sastra dan Bahasanya”, Pada bab III Teeuw menjelaskan hubungan antara sastra dan bahasa. Sastra menjadikan bahasa sebagai media utama dalam menyampaikan gagasan seorang pengarang. Dalam hal genre karya sastra, bahasa sangat ditonjolkan, seperti dalam puisi. Selanjtunya, Teeuw memaparkan banyak tentang fungsi bahasa dan penerapannya berdasarkan pendapat para tokoh-tokoh, baik dalam bidang puitik maupun bidang kritik sastra. bahasa karya sastra adalah bahasa yagn khas, retorik dan stilistika. Sepintas selalu kita melihat bahwa penyair adalam membuat karya tentu menggunakan bahasa yang khas, aneh tetapi juga istimewa, gelap kadang juga menyimpang. Selain itu Teeuw memaparkan tentang fungsi bahasa sebagai puitik dalam kaitannya dengan teori dan kriktik Jakobson.
Pada Bab IV halaman 70-92, sub judul : Karya Sasta dan Sistem Sastra”. bab ini, Teeuw memaparkan tentang karya sastra dan sistmen sastra, dimana keduanya adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Sistem sastra dimaksud adalah semua sistem yang menjadi perangkat terbentuknya karya sastara, sistem sosial budaya, politik, keagamaan, sistem tata nilai dan lain-lain. Karya sastra sebagai sistem budaya artinya budaya sebagai konvensi bersama. Untuk mecermati tujuan akhir dari Karya sastra adalah menentukan ciri khas berupa inventation  dan konvention, antara konvensi yang mengikatnya dan yang sekaligus di atasinya.
 Pada Bab V halaman 120-153, sub judul “karya sastra sebagai strukturalis: strukturalisme”. Pada bagian ini, Teeuw membahas sastra sebagai strukutur, dimana dalam karya sastra sturktur menjadi bagian penting yang membentuk padu sebuah karya sastra. Dibahas pandangan Aristoteles terkait struktur, misalnya mengenai poetika Aristoteles yabg berikaitan dengan plot.  Misalnya dalam pembahasan trgedi plot harus memnuhi empat syarat, yakni: order, amplitude atau complexitiy, unity dan connections. Selain itu Teeuw juga memaparkan karya sastra dalam lingkaran hermeneutik, kekurangan minat karya sastra pada abad ke 19 yang kemudian dilanjutkan dengan muncul semangat dan minat terhadap struktur karya sastra. dalam dalam beberapa tahun berikutnya munculnya aliran Formalisme di Rusia yang ditokohi Jakobson, Shklovsky dan tokoh lainnya. Kehadiran aliran formalisme dengan menjadikan pendekatan stuktur dan gerakan otonomi sebagai bagian penting dalam sebuah karya sastra.
Pada Bab VI halaman 155-180, sub judul “Penulis dalam Model Semiotik”. karya sastra yang diciptakan oleh pengarang tentu memiliki arti dan maksud tertentu terhadap pembacaan relaitas. penulis dalam hal ini memaparkan keterkaitan antara simbol dalam objek-objek yang menjadi kajiannya. Pada pembahasan bab ini, kita jumpai bahwa makna karya sastra tidak ditentukan semata-mata oleh pengarang atau penulis. Artinya melibatkan pembaca sebagai alat ukur. Apa yang ada dibalik semua tulisan atau karya adalah ada manusia yang menysunnya. Semiotik sastra memberikan ruang gerak yang bebas terhadap pembaca dalam mengiterpretasi maksu dari karya sastra. kreativitas pembaca sangat dibutuhkan.
Pada Bab VII halaman 183-218, sub judul “Pembaca dalam Model Semiotik”. Pada bab ini Teeuw menjelaskan tanggapan pembaca dengan menggunakan kacamata model semiotik, misalnya aspek pragamatik dalam retorika Barat dan puitika Melayu. Di Barat dapat dilihat pada penekanan fungsi sastra untuk memperngaruhi pembaca yang mengakibatnkan perbauran antara teori sastra dan retorik. Selain aspek retorik, juga dibahasa resepsi dalam strukturalisme dinamaik Mukarovsky. Sebagaimana diketahui bahwa pertama dibahasa adalah linguistik praha yang disinggung pada bab V  teori Mukarosvsky terhadap karya sastra berpangkal pada aliran n formalis sebagai usaha untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi puitik bahasa, kemudian dilnajutkan oleh Vodicka dengan teori konkretasi karya seni merupakan perkembangan dari toeri teori Mukarosvsky. Secara umum, bab ini memparakan perkembangan ilmu sastra dan teori sastra pada masa muktahir dan pembaca banyak disuguhkan dengan faktor semiotik. 
Pada Bab VIII halaman 219-248, sub judul “Karya Sastra dan Kenyataan”. Pada bab ini Teeuw memaparkan tentang hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan dimana karya sastra hadir untuk menjadi refleksi atas kehidupan nyata. Paparan itu seperti alam dan seni dalam berbagai kebudayaan, kaitan antara mimesis dan creatio dari segi bahasa; kenyataan dan rekaan. Baik dalam sejarah ataun pun dalam sastra kedua hal itu harus ada. tentu pula ada perbedaan diantara keduanya. Peristiwa sejarah menampilkan pristiwa berdasarkan urutan waktu dengan pengumulan data dan analisis mendalam, tapi sebaliknya sastra menampilkan pristiwa dengan bungkusan bahasa yang indah tanpa melupakan rentetan sejarah yang terjadi. Dalam hal ini sastrwan memberikan makna lewat kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas, asalkan dapat dipahami oleh pembaca. Dalam hal ini karya sastra sebagai buku teks melukiskan banyak hal tentagn realitas dan pristiwa yang terhadai dalam masyarakat, tapi bukan berarti rekaan dalam melawan kenyataan, tetapi memberitahu suaty tentang kenyataan hidup. 
Pada Bab IX halaman 250-277, sub judul “Teks Karya Sastra Sebagai Variabel Dalam Model Semiotik”. selanjutnya pada bab IX ini, penulis memberikan penjelasaan tentang kemantapab sebuah teks. Teks dipandang sebagai sitem simbol yang pada kahirnya menjadi sistem tingkah laku. Di samping membahas teks secara umum, penulis juga memberikan perbedaan ruang lingkup antara filologi atau tekstologi sebagai bagian dari studi sejarah teks. Pada pembahasannya tekstologi dibagi menurut ragam penurunan teks, seperti: tekstologi yang menilit sejarah teks lisan, teks manuskrip dan sejrah buku catatan.
Pada Bab X halaman 279-304, sub judul “Studi Sastra Lisan dalam Rangka Semiotik Sastra”. Pada bab X ini, Teeuw menggambarkan lebih jelas tentang studi sastra lisan dan kaitannya dengan semiotika sastra. sebagaimana diketahui bahwa ada perbedaan mendasar antara sastra tulis dan sastra lisan. Sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung (verbal) antara pencipta dan dan percetakan karya sasta, tulisan sastrawan akan banyak dinikmati oleh banyak orang dalam ruang dan waktu berbeda, tapi tidak dengan sastra lisan yang ruang dan waktunya terbatas. Dari sejaranhya juga, di Indonesia minat untuk mengkaji sastra secara umum lebih sedikit dan tergolong jarang sekali. Pada point, Teeuw memaparkan tradisi pengkajain sastra lisan di dunia Barat seperti Eropa dan benua Amerika.
Pada Bab XI halaman 311-342, sub judul “Teori Sastra dan Sejarah Sastra” Pada bab ini diuraikan tentang teori sastra dan sejarah sastra. Teeuw menjelaskan bahwa pendekatan sejarah sastra yang tradisional mengandung beberapa varian diantaranya: a) sejarah sastra ditaklukkan oleh sejarah umum, akibatnya karya sastra dan penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disedikan oleh ilmu sejarah umum, b) pendekatan yang mengambil tokoh-tokoh penting, c) pendekatan dengan menelisik sumber-sumber sejarah, ini dapat dilihat dari motif atau tema sejarah dalam karya sastra, d) memperhatikan asal usur karya sastra dari bentuk dan fungsinya dimana sejarah sastra mengambil sebagian dari kriteria utama untuk penahapan sejarah pengaruh asing. Selain varian tersebut, disampaikan pula beberapa prinsif dasar sejarah sastra misalnya dari konvensi teks dan non sastra, baik berupa: prosa, puisi, drama dan sebagainya. Teeuw juga menyebutkan beberapa faktor yang relvan un tuk sejarah sastra misalnya: dinamika sistem sastra berupa konsep jenis sastra modern. Di samping itu juga dipaparkan berbagai gagasan yang membedakan antara intertekstual karya individu dan sejarah sastra, sejarah sastra dan sejarah umum, penelitian resepsi sastra, sastra lisan dan sejarah sastra ditambah juga sejarah sastra Indonesia dan sejarah dalam bahasa nusantara. 
Pada Bab XII halaman 346-377, sub judul “Sastra Sebagai Seni: Masalah Estetik”. Pada bab terakhir ini, Teeuw memaparkan tentang tentang sastra sebagai seni. Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra dapat didekati dengan dua pendekatan, yakni bahasa dan seni. Pada praktek penelitiaannya bahawa ilmu bahasa juga berperan penting dalam kaitannya dengan seni. Sedangkan estetik sendiri pun lebih mencurahkan perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung, seni ukir dan sebagainya). Sebagaimana diketahui bahwa estetik Barat sama tuanya dengan filsafat, khususnya filsafat Plato. Karena itu, ide-ide tentang esteik banyak tercermin dari gagasan dan ide-ide Plato. Pada bagian berikutnya, Teeuw menjelaskan tentang estetik terlepas dari norma agama dan etik.


Tidak ada komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda