Cerpen "Kadis" Moh Diponegoro:
Keseimbangan Dunia-Akhirat
Tirto Suwondo
Jika kita mau membuka dan membaca
Kitab Suci Alquran, kita pasti akan menjumpai sebuah ayat yang berbunyi:
“orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan senantiasa mendapatkan pahala
yang terus-menerus (falahun ajrun ghairu mamnun)’. Ayat ini boleh jadi,
dapat kita tafsirkan sebagai janji Tuhan (Allah) kepada umat manusia. Agar kita
senantiasa berada dalam lindungan dan selalu dilimpahi rahmat-Nya, kita harus
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengerjakan apa yang dianjurkan
untuk dikerjakan. Itulah sebabnya,sebagai makhluk Tuhan, kita diwajibkan untuk
melaksanakan apa yang telah tertuang dalam Rukun Iman dan Rukun Islam.
Namun, sebagai makhluk yang selalu
diliputi oleh kekurangan dan kelebihan kita sering salah menafsirkan janji
Tuhan seperti yang tersirat dalam ayat itu. Baru saja kita rajin beribadah,
sembahyang dan puasa misalnya, sering kita sudah merasa pasti bahwa kelak akan
mendapatkan pahala melimpah dari Tuhan dan juga masuk surga. Padahal, apa yang
kita lakukan itu belum cukup, karena belum mencerminkan adanya suatu harmoni,
suatu keseimbangan. Sedangkan ayat Tuhan tadi mengisyaratkan atau mengharuskan
kita agar kita senantiasa berada dalam titik keseimbangan. Sebagai
contoh kongret, kita harus menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat,
kepentingan saat ini dan nanti, kepentingan hidup dan mati, dan seterusnya. Di
sinilah kita sering melakukan kesalahan karena salah menafsirkan ayat Tuhan di
atas.
Kesalahan
serupa itulah yang juga melanda diri tokoh Kadir dalam cerpen “Kadis” karya
Mohammad Diponegoro. Di satu sisi, apa yang dilakukan Kadis sehari-hari memang
tidak salah, bahkan dianjurkan, yaitu rajin beribadah, sembahyang, mengaji,
menghadiri pengajian, fasih mengucapkan ayat-ayat Alquran, selalu
bersilaturahmi, dan sebagainya. Namun, di sisi lain, Kadis telah melakukan
kesalahan besar, karena telah melupakan kewajibannya sebagai seorang kepala
rumah tangga (suami) yang harus bekerja keras mencari nafkah untuk menghidupi
keluarga. Memang selama berumah tangga Kadis selalu bisa mencukupi kebutuhan
keluarga –walaupun pas-pasan--, tetapi hanya caranya saja yang tida pada tempatnya:
selalu menghadiri pengajian dan bersilaturahmi tetapi itu semua hanya sebagai
kedok untuk minta-minta.
Kesalahan
Kadis dalam cerpen itu agaknya bukanlah tanpa sebab. Sebabnya ialah karena ia
–selain tak berpendirikan sehingga ia merasa tidak memiliki keterampilan
apa-apa—salah menafsirkan sepotong kalimat yang pernah diajarkan oleh Kiai
Dofir. Dalam suatu pengajian, Kiai Dofir memang pernah mengatakan bahwa
“silaturahmi ialah salah satu kuncu rejeki”. Dan sepotong kalimat itu rupanya
telah membius keyakinan Kadis sehingga ia tidak berniat untuk bekerja mencari
nafkah. Sebab, sebagaimana telah ia buktikan berkali-kali, dirinya merasa bahwa
kebutuhannya bisa tercukupo hanya dengan cara bersilaturahmi. Padahal, kita
tahuu bahwa sepotong kalimat Kiai Dofir itu seharusnya tidak ditafsirkan
demikian, tetapi harus ditafsirkan sebagai sebuah sikat atau interaksi sosial
yang harus dipertahankan. Hanya dengan penafsiran seperti itulah harmoni bisa
terjadi, keseimbangan bisa tercipta.
Melalui
karya fiksi yang bertema sosial-religius ini, narator (pengarang?) agaknya
menghendaki agar pembaca (kita) tergugah kesadarannya seperti kesadaran Kadis
di bagian sebelum paragraf terakhir cerpen. Kutipan dialog Kiai Dofir dan Kadis
berikur inilah yang mengungkapkan kesadaran itu.
“Mulai
sekarang, Kadis,” ... “kau aku larang untuk mengaji di sini. Juga kau kularang
ngaji di tempat Kiai Humam atau Kiai Sobron.”
“Tapi apa salah saya, Kiai? ....
“Karena kau tidak belajar apa-apa
dari pengajian itu!” ... “Kau pergi mengaji hanya untuk alasan, untuk dalih yang dicari-cari,
supaya kau tidak usah bekerja untuk memberi nafkah pada anak istrimu.”
“Tapi, Kiai, selama ini saya selalu
memberi nafkah ...”
“Ya, memang kau memberi nafkah,” ...
“tapi nafkah itu kau dapat dari hasil meminta-minta pada orang lain. Betul
tidak, Kadis?”
Kadis mengangguk.
“Nah, aku tidak pernah mengajarkan
begitu kepadamu,” ... “Kau tahu, Kadis, anafkah yang kau dapat dari keringatmu
sendiri, meskipun kecil, lebih besar nilai dan pahalanya dari hasil meminta-minta.
Mengerti?”
“Mengerti, Kiai,” suara Kadis sudah
sangat lembek kedengarannya ... dan menangis terguguk.
Setelah
menyadari kekeliruannya, Kadis akhirnya berubah menjadi seorang pekerja keras,
yaitu menjadi tukang menyembelih ternak di pembantaian. Dengan munculnya
kesadaran itu, berarti Kadis boleh dikata telah mampu menempatkan dirinya pada
titik keseimbangan: selain rajin beribadah, juga rajin bekerja. Ada suatu
harmoni antara kepentingan dunia dan akhirat.
Begitulah
inti, isi, dan pesan utama cerpen “Kadis”, cerpen yang menjadi pemenang pertama
dalam sayembara mengarang cerpen majalah Kartini tahun 1980. Membaca
cerpen ini, kita kemudian ingat pada cerpen “Robohnya Surau Kami” (1955)
karangan A.A. Navis. Di sisi tertentu, “Kadis” dan “Robohnya Surau kami”
memiliki kesamaan, yaitu dalam hal tema dan amanatnya. Hanya bedanya, “Kadis”
diakhiri dengan kesadaran tokoh yang membuat pembaca senang karena terpuasi
keinginannya; sedangkan “Robohnya Surau Kami” diakhiri dengan kematian (bunuh
diri) tokoh, Kakek Garin, seorang penjaga surau yang taat beribadah, akibatnya
terpengaruh oleh cerita Ajo Sidi.
Dilihat
dari sisi struktur dan cara penceritaannya, boleh jadi cerpen “Kadis” sangat
konvensional. Bahasanya mengalir sederhana dan mudah dipahami, tanpa psikologi
yang dakik-dakik, dan agaknya mudah pula dinikmati oleh semua kalangan. Hal ini
barangkali wajar karena memang semula cerpen “Kadis” ditulis untuk (sayembara)
majalah wanita Kartini. Dan kita tahu, majalah Kartini adalah majalah populer
untuk konsumsi kelurga yang cenderung menyajikan hal-hal yang ringan dan
menyegarkan. Kendati demikian, cerpen “Kadis” tidak kehilangan nuansa
sastranya; dan hal ini membuktikan bahwa pengarangnya. Mohammad Diponegoro,
sungguh pintar bercerita. Didalamnya tida ada unsur “berkhotbah” dan
“menggurui” meskipun pembaca banyak memperoleh pelajaran darinya.
Hanya
saja, cerpen yang dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga ini –narator
berada di luar kisah, tidak terlibat dalam peristiwa cerita, tetapi mampu
melihat dan menceritakan apa saja yang dilakukan oleh Kadis, Dalijah, dan Kiai
Dofir—mudah ditebak bagaimana akhir ceritanya. Dan ini menjadi salah satu ciri
bahwa cerita semacam itu kehilangan estetika, karena kita (pembaca) tidak
disodori oleh berbagai pertanyaan yang harus dicarikan jawabnya secara
terus-menerus. Jadi, disini suspense dan foreshadowing-nya tidak
begitu tampak.
Namun,
ada satu hal yang menarik, yaitu ketika kita sampai pada kisah kepergian Kadis
naik sepeda menuju ke rumah Kiai Dofir. Di sana muncul semacam gerak balik (black
tracking), melalui pikiran masa lalu Kadis, dan gerak balik ini berfungsi
menegaskan perilaku Kadis sebagai orang yang sangat percaya bahwa Tuhan akan
senantiasa menyodorkan rejeki kepadanya tanpa diminta. Perilaku demikian inilah
yang kelak menegaskan pula identitas Kadis sebagai orang yang ditempatkan dalam
posisi “salah” oleh narator. dan narator memang berkehendak demikian, yaitu
agar Kadis, dan juga kita semua (pembaca), menyadari kesalaha yang pada
gilirannya diharapkan mampu menempatkan diri pada titik harmoni: selain
taat beribadah, kita harus juga kerja keras. Lebih jelasnya kita harus
menyeimbangkan antara kepentingan duniawi dan akhirati.
Satu
hal lagi, cerpen ini mungkin akan lebih menarik dan menantang jika tidak ditutup
dengan kisah keberhasilan Kadis seperti pada para paragraf terakhir itu. Atau,
barangkali akan lebih pas jika paragraf terakhir itu dihilangkan. Mengapa?
Karena dengan cara demikian pembaca diberi kesempatan untuk berpikir,
menentukan alternatif sendiri-sendiri, dan berusaha menjari jawaban secara
terus-menerus. Apakah kelak jawaban itu akan diperoleh? Biarkanlah pembacara
merenung dan mencari jawaban itu di dalam dirinya. ***
Dimuat di HORISON_KAKILANGIT, April 1999, dan
atas kebijakan redaksi
dimuat ulang di HORISON_ KAKILANGIT, September
2009.
Aliran Idealisme dalam Karya Sastra
Aliran Idealisme adalah aliran dalam kesusastraan yang
mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya penuh perasaan dan cita-cita.
Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk suatu perubahan sosial ke arah
yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya pengarang idealis,
diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca dari yang kurang
baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang malas menjadi
rajin, dan seterusnya.
Contoh : “Habis Gelap Terbitlah Terang“ karya R.A. Kartini;
“Layar Terkembang“ karya Sutan Takdir Alisjahbana
“Kemarau“ karya A.A. Navis, cerpen “Kadis“ karya Muhammad Diponegoro.
Cerpen “Sisifus” karya Muhammad Fudoli Zaini
Berikut ini adalah contoh Analisis Aliran Idealisme dalam
Cerpen Laki-laki Sejati Karya Putu Wijaya
Nama : Khoridatun
Nim : 2101414092
Prodi/rombel : PBSI/4
Analisis aliran idealisme dalam cerpen “Laki-laki Sejati’
karya Putu Wijaya.
a. Pendahuluan
Inti dari cerita tersebut adalah seorang ibu yang menjawab pertanyaan dari
anaknya yang sudah beranjak dewasa tentang apa itu laki-laki sejati. Tokoh ibu
menjelaskan dengan penuh kesabaran dan pengertian kepada anak gadisnya. Kata
tokoh ibu laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat,
mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas
dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu
dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup
yang sepantasnya dijadikan kehidupan. Kemudian saat tokoh anaknya ibu bertanya
apakah laki-laki sejati seperti itu masih ada di dunia ?
Tokoh ibu menjawab sudah tidak ada lagi, namun ia berpesan memberikan motivasi
pada anaknya. Cobalah anaknya untuk melihat dunia luar, dunia yang ada dalam
masyarakat bahwa banyak laki-laki dan pilihlah salah satu asalkan laki-laki
tersebut benar-benar mencintainya dan anaknya pun sungguh-sungguh mencintai
laki-laki tersebut. Karena menurut ibu cinta dapat mengubah segala-galanya. Dan
pesan ibu yang paling berkesan dan tidak kalah penting untuk anaknya adalah
karena seorang perempuan, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia,
setiap perempuan dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun
dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan
dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati.
b. Pembahasan
Cerpen laki-laki sejati karya Putu Wijaya ini menggunakan aliran idealisme.
Aliran idealisme adalah suatu aliran yang melukiskan hal-hal utuh tentang
gagasan, cita-cita atau pendirian pengarang. Gagasan atau pendirian pengarang
mengenai emansipasi wanita ini terlihat jelas pada bagian akhir cerita cerpen
tersebut saat tokoh ibu berpesan pada anaknya bahwa seorang perempuan dapat
membuat lelaki menjadi seorang lelaki sejati, seperti dalam kutipan berikut :
Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu
anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena
seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia,
setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa
pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun
kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang
laki-laki yang sejati
Penjelesan mengenai Inti dari gagasan pengarang tentang emansipasi wanita, juga
telah dijelaskan dibagian tengah cerita yakni kesempatan perempuan untuk
memilih laki-laki sejatinya bukan perempuan yang dipilih. Seperti dalam kutipan
cerpen tersebut : Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi
suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu
giliran dipilih?
Putu wijaya menggunkan tokoh gadis yang baru menginjak dewasa, seakan memberi
kesan yang kuat. Karena pada masa-masa ini biasanya tingkat keingin tahuan
seseorang benar-benar meningkat. Dan seorang ibu adalah orang yang sangat tepat
dimunculkan. Ibu disini diposisikan sebagai seorang teman, karena sang gadis
disini adalah sosok yang jarang bergaul dengan teman-temannya diluar rumah.
c. Penutup
Kesimpulan :
Cerpen laki-laki sejati karya putu wijaya menggunakan aliran idealisme yaitu
alian yang melukiskan hal-hal utuh tentang gagasan atau cita-cita pengarang.
Dalam cerpen ini terlihat gagasan dan cita-cita pengarang akan emansipasi
terhadap wanita, kesempatan bagi wanita untuk memilih laki-laki sejatinya dan
peran sesungguhnya bahwa wanitalah yang dapat membuat seorang laki-laki dapat
menjadi laki-laki sejati.
Saran :
Cerpen tersebut sangat menarik untuk dibaca namun alangkah baiknya jika tokoh
ibu dan anak gadisnya diberi nama sehingga pembaca dengan mudah mengenali
tokoh. Menariknya dari cerpen ini adalah pembaca harus benar-benar merenungkan
apa maksud dari cerpen tersebut karena setelah dibaca ternyata judul dari
cerpen tersebut adalah negasi dari isi cerita tersebut bahwa laki-laki sejati
hanya ada dalam angan-angan yang ada hanyalah wanita yang dapat membuat seorang
laki-laki menjadi laki-laki sejati
AKU
Kalau sampai
waktukuKu mau tak seorang kan merayuTidak juga kau Tak peluru menembus
kulitkuAku tetap meradang menerjang Luka dan bias kubawa
berlariBerlarihingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduliAku
mau hidup seribu tahun lagi
(chairil
anwar)
LAKI-LAKI SEJATI
Cerpen Putu Wijaya
Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?
Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah
menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya
baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing.
Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil
pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan
cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh,
nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami
dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan
ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu
perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun
dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung
menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup
siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak
hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu.
Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau
sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa
ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah
mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari
buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu
akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu
tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya
zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga
sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran
walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang
meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi
harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan
antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi
yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata.
Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti
sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah
kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita
bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus
kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana
laki-laki sejati itu.
Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang
berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak
melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan
ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong,
karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki
sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat
laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam
kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!
Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki
sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan
laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh
gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa.
Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang
lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting,
karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan
sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi
pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman,
menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah
hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan
toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau
punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau
jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan
seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki
sejati!
Kalau begitu apa dong?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat,
mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas
dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu
dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup
yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan
perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.
Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh!
Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh
sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia
menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya
terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta
kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki
seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu,
Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan.
Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan
malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi
bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi
tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku
kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan
ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak.
Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk
merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan
merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama
berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang
tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal
dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya.
Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak
laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja,
tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku.
Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus
anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah
dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni,
mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi
ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih
merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan
mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada
harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja.
Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu
itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada
bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk
seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang
diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah
mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara!
Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat
banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil
Gibran!
Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat
hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada
kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia
terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik
R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi
itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang
indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut
menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi
melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati,
bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja,
sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya,
bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli
seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai
oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!
Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu
memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang
terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga
sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah
segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.
Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu
anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena
seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia,
setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa
pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun
kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang
laki-laki yang sejati! ***
Denpasar, akhir 2004