Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Juli 2020

Sejarah Berdirinya Desa Payung Rejo

Sejarah Berdirinya Desa Payung Rejo

Pada tahun 1959 rombongan dari Banyuwangi Jawa Timur datang ke desa Negeri Kepayungan yang kelurahannya Susukan dengan di ketuai oleh mbah Kasmiran untuk memperbaiki kehidupan mereka. Dan pada waktu itu lurahnya yaitu Penimbang Asal meski beliau suku asli beliau sangat bijaksana. Dan mengijinkan rombongan mbah Kasmiran tersebut mendirikan bangunan dan mengelola lahan di Negeri Kepayungan. Lalu pada tahun 1961 terjadi masa sulit (hambatan) yaitu paceklik panjang yang mengakibatkan banyak orang kelaparan. Tahun 1963 terjadi bencana penyakit yang tidak selayaknya yaitu kegebluk (pagi sakit sore mati) yang mengakibatkan banyak orang panik dan ketakutan. Tahun 1964 terjadi wabah tikus yang luar biasa sehingga mengakibatkan tanaman dan manusia yang jadi korbannya. Di tambah lagi bencana angin puting beliung yang banyak merusak rumah warga dan tanaman warga pada waktu itu. Tahun 1965 saat mbah kasmiran di angkat menjadi kepala desa Payung Rejo (walaupun hanya sebagai wakil dari Negeri Ratu belum resmi berdiri sendiri) waktu itu membuat pasar untuk keperluan perdagangan karena Payung Rejo mempunyai letak yang paling aman dan strategis untuk didirikannya pasar. Belum genap satu tahun kepemimpinan mbah Kasmiran beliau di jemput sang kuasa karena sudah cukup tua. Dan di angkatlah bapak Sukri pubian oleh ayahnya untuk menjadi kepala desa di desa Payung Rejo karena ayahnya adalah seorang camat dan mutlak menjadikan Payung Rejo menjadi desa yang mutlak bukan wakil dan di beri wewenang mengelola sendiri tidak ada ikut campur Negeri Kepayungan. Lalu tahun 1965 meletusnya G30SPKI. Tahun 1967 mengalami paceklik panjang kembali (bersamaan meletusnya gunung Agung di Jawa). Kemudian tahun 1971 terjadi paceklik lagi untuk yang kesekian kalinya sejak berdiri desa Payung Rejo. Lalu tahun 1999 terjadi kerusuhan di pasar sehingga memicu perang suku antara suku asli dan jawa yang mengakibatkan banyak anak dan keluarga suku asli mati dan kelaparan karena tidak adanya pasokan bahan makanan dari manapun untuk suku asli dan untuk orang jawa hanya sedikit yang meninggal karena terkena senjata saat perang, sehingga waktu itu suku asli mundur dan mengajak berdamai karena mereka sudah kalah. Dan dengan mutlak terjadilah pembangunan secara besar besaran sampai sekarang sehingga ramai.  

Narasumber : Bapak Karbun (Tokoh Masyarakat)

Selasa, 25 Juni 2019

Kumpulan Karya Sastra Aliran Idealis


Cerpen "Kadis" Moh Diponegoro:
Keseimbangan Dunia-Akhirat
Tirto Suwondo
Jika kita mau membuka dan membaca Kitab Suci Alquran, kita pasti akan menjumpai sebuah ayat yang berbunyi: “orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan senantiasa mendapatkan pahala yang terus-menerus (falahun ajrun ghairu mamnun)’. Ayat ini boleh jadi, dapat kita tafsirkan sebagai janji Tuhan (Allah) kepada umat manusia. Agar kita senantiasa berada dalam lindungan dan selalu dilimpahi rahmat-Nya, kita harus menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengerjakan apa yang dianjurkan untuk dikerjakan. Itulah sebabnya,sebagai makhluk Tuhan, kita diwajibkan untuk melaksanakan apa yang telah tertuang dalam Rukun Iman dan Rukun Islam.
            Namun, sebagai makhluk yang selalu diliputi oleh kekurangan dan kelebihan kita sering salah menafsirkan janji Tuhan seperti yang tersirat dalam ayat itu. Baru saja kita rajin beribadah, sembahyang dan puasa misalnya, sering kita sudah merasa pasti bahwa kelak akan mendapatkan pahala melimpah dari Tuhan dan juga masuk surga. Padahal, apa yang kita lakukan itu belum cukup, karena belum mencerminkan adanya suatu harmoni, suatu keseimbangan. Sedangkan ayat Tuhan tadi mengisyaratkan atau mengharuskan kita agar kita senantiasa berada dalam titik keseimbangan. Sebagai contoh kongret, kita harus menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan saat ini dan nanti, kepentingan hidup dan mati, dan seterusnya. Di sinilah kita sering melakukan kesalahan karena salah menafsirkan ayat Tuhan di atas.
            Kesalahan serupa itulah yang juga melanda diri tokoh Kadir dalam cerpen “Kadis” karya Mohammad Diponegoro. Di satu sisi, apa yang dilakukan Kadis sehari-hari memang tidak salah, bahkan dianjurkan, yaitu rajin beribadah, sembahyang, mengaji, menghadiri pengajian, fasih mengucapkan ayat-ayat Alquran, selalu bersilaturahmi, dan sebagainya. Namun, di sisi lain, Kadis telah melakukan kesalahan besar, karena telah melupakan kewajibannya sebagai seorang kepala rumah tangga (suami) yang harus bekerja keras mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Memang selama berumah tangga Kadis selalu bisa mencukupi kebutuhan keluarga –walaupun pas-pasan--, tetapi hanya caranya saja yang tida pada tempatnya: selalu menghadiri pengajian dan bersilaturahmi tetapi itu semua hanya sebagai kedok untuk minta-minta.
            Kesalahan Kadis dalam cerpen itu agaknya bukanlah tanpa sebab. Sebabnya ialah karena ia –selain tak berpendirikan sehingga ia merasa tidak memiliki keterampilan apa-apa—salah menafsirkan sepotong kalimat yang pernah diajarkan oleh Kiai Dofir. Dalam suatu pengajian, Kiai Dofir memang pernah mengatakan bahwa “silaturahmi ialah salah satu kuncu rejeki”. Dan sepotong kalimat itu rupanya telah membius keyakinan Kadis sehingga ia tidak berniat untuk bekerja mencari nafkah. Sebab, sebagaimana telah ia buktikan berkali-kali, dirinya merasa bahwa kebutuhannya bisa tercukupo hanya dengan cara bersilaturahmi. Padahal, kita tahuu bahwa sepotong kalimat Kiai Dofir itu seharusnya tidak ditafsirkan demikian, tetapi harus ditafsirkan sebagai sebuah sikat atau interaksi sosial yang harus dipertahankan. Hanya dengan penafsiran seperti itulah harmoni bisa terjadi, keseimbangan bisa tercipta.
            Melalui karya fiksi yang bertema sosial-religius ini, narator (pengarang?) agaknya menghendaki agar pembaca (kita) tergugah kesadarannya seperti kesadaran Kadis di bagian sebelum paragraf terakhir cerpen. Kutipan dialog Kiai Dofir dan Kadis berikur inilah yang mengungkapkan kesadaran itu.

            Mulai sekarang, Kadis,” ... “kau aku larang untuk mengaji di sini. Juga kau kularang ngaji di tempat Kiai Humam atau Kiai Sobron.”
            “Tapi apa salah saya, Kiai? ....
            “Karena kau tidak belajar apa-apa dari pengajian itu!” ... “Kau pergi mengaji hanya  untuk alasan, untuk dalih yang dicari-cari, supaya kau tidak usah bekerja untuk memberi nafkah pada anak istrimu.”
            “Tapi, Kiai, selama ini saya selalu memberi nafkah ...”
            “Ya, memang kau memberi nafkah,” ... “tapi nafkah itu kau dapat dari hasil meminta-minta pada orang lain. Betul tidak, Kadis?”
            Kadis mengangguk.
            “Nah, aku tidak pernah mengajarkan begitu kepadamu,” ... “Kau tahu, Kadis, anafkah yang kau dapat dari keringatmu sendiri, meskipun kecil, lebih besar nilai dan pahalanya dari hasil meminta-minta. Mengerti?”
            “Mengerti, Kiai,” suara Kadis sudah sangat lembek kedengarannya ... dan menangis terguguk.

            Setelah menyadari kekeliruannya, Kadis akhirnya berubah menjadi seorang pekerja keras, yaitu menjadi tukang menyembelih ternak di pembantaian. Dengan munculnya kesadaran itu, berarti Kadis boleh dikata telah mampu menempatkan dirinya pada titik keseimbangan: selain rajin beribadah, juga rajin bekerja. Ada suatu harmoni antara kepentingan dunia dan akhirat.
            Begitulah inti, isi, dan pesan utama cerpen “Kadis”, cerpen yang menjadi pemenang pertama dalam sayembara mengarang cerpen majalah Kartini tahun 1980. Membaca cerpen ini, kita kemudian ingat pada cerpen “Robohnya Surau Kami” (1955) karangan A.A. Navis. Di sisi tertentu, “Kadis” dan “Robohnya Surau kami” memiliki kesamaan, yaitu dalam hal tema dan amanatnya. Hanya bedanya, “Kadis” diakhiri dengan kesadaran tokoh yang membuat pembaca senang karena terpuasi keinginannya; sedangkan “Robohnya Surau Kami” diakhiri dengan kematian (bunuh diri) tokoh, Kakek Garin, seorang penjaga surau yang taat beribadah, akibatnya terpengaruh oleh cerita Ajo Sidi.
            Dilihat dari sisi struktur dan cara penceritaannya, boleh jadi cerpen “Kadis” sangat konvensional. Bahasanya mengalir sederhana dan mudah dipahami, tanpa psikologi yang dakik-dakik, dan agaknya mudah pula dinikmati oleh semua kalangan. Hal ini barangkali wajar karena memang semula cerpen “Kadis” ditulis untuk (sayembara) majalah wanita Kartini. Dan kita tahu, majalah Kartini adalah majalah populer untuk konsumsi kelurga yang cenderung menyajikan hal-hal yang ringan dan menyegarkan. Kendati demikian, cerpen “Kadis” tidak kehilangan nuansa sastranya; dan hal ini membuktikan bahwa pengarangnya. Mohammad Diponegoro, sungguh pintar bercerita. Didalamnya tida ada unsur “berkhotbah” dan “menggurui” meskipun pembaca banyak memperoleh pelajaran darinya.
            Hanya saja, cerpen yang dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga ini –narator berada di luar kisah, tidak terlibat dalam peristiwa cerita, tetapi mampu melihat dan menceritakan apa saja yang dilakukan oleh Kadis, Dalijah, dan Kiai Dofir—mudah ditebak bagaimana akhir ceritanya. Dan ini menjadi salah satu ciri bahwa cerita semacam itu kehilangan estetika, karena kita (pembaca) tidak disodori oleh berbagai pertanyaan yang harus dicarikan jawabnya secara terus-menerus. Jadi, disini suspense dan foreshadowing-nya tidak begitu tampak.
            Namun, ada satu hal yang menarik, yaitu ketika kita sampai pada kisah kepergian Kadis naik sepeda menuju ke rumah Kiai Dofir. Di sana muncul semacam gerak balik (black tracking), melalui pikiran masa lalu Kadis, dan gerak balik ini berfungsi menegaskan perilaku Kadis sebagai orang yang sangat percaya bahwa Tuhan akan senantiasa menyodorkan rejeki kepadanya tanpa diminta. Perilaku demikian inilah yang kelak menegaskan pula identitas Kadis sebagai orang yang ditempatkan dalam posisi “salah” oleh narator. dan narator memang berkehendak demikian, yaitu agar Kadis, dan juga kita semua (pembaca), menyadari kesalaha yang pada gilirannya diharapkan mampu menempatkan diri pada titik harmoni: selain taat beribadah, kita harus juga kerja keras. Lebih jelasnya kita harus menyeimbangkan antara kepentingan duniawi dan akhirati.
            Satu hal lagi, cerpen ini mungkin akan lebih menarik dan menantang jika tidak ditutup dengan kisah keberhasilan Kadis seperti pada para paragraf terakhir itu. Atau, barangkali akan lebih pas jika paragraf terakhir itu dihilangkan. Mengapa? Karena dengan cara demikian pembaca diberi kesempatan untuk berpikir, menentukan alternatif sendiri-sendiri, dan berusaha menjari jawaban secara terus-menerus. Apakah kelak jawaban itu akan diperoleh? Biarkanlah pembacara merenung dan mencari jawaban itu di dalam dirinya. ***
Dimuat di HORISON_KAKILANGIT, April 1999, dan atas kebijakan redaksi 
dimuat ulang di HORISON_ KAKILANGIT, September 2009.

Aliran Idealisme dalam Karya Sastra

Aliran Idealisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya penuh perasaan dan cita-cita. Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk suatu perubahan sosial ke arah yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya pengarang idealis, diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang malas menjadi rajin, dan seterusnya.
Contoh : “Habis Gelap Terbitlah Terang“ karya R.A. Kartini;
“Layar Terkembang“ karya Sutan Takdir Alisjahbana
“Kemarau“ karya A.A. Navis, cerpen “Kadis“ karya Muhammad Diponegoro.
Cerpen “Sisifus” karya Muhammad Fudoli Zaini

Berikut ini adalah contoh Analisis Aliran Idealisme dalam Cerpen Laki-laki Sejati  Karya Putu Wijaya
Nama : Khoridatun
Nim : 2101414092
Prodi/rombel : PBSI/4

Analisis aliran idealisme dalam cerpen “Laki-laki Sejati’ karya Putu Wijaya.
a. Pendahuluan
Inti dari cerita tersebut adalah seorang ibu yang menjawab pertanyaan dari anaknya yang sudah beranjak dewasa tentang apa itu laki-laki sejati. Tokoh ibu menjelaskan dengan penuh kesabaran dan pengertian kepada anak gadisnya. Kata tokoh ibu laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan. Kemudian saat tokoh anaknya ibu bertanya apakah laki-laki sejati seperti itu masih ada di dunia ?
Tokoh ibu menjawab sudah tidak ada lagi, namun ia berpesan memberikan motivasi pada anaknya. Cobalah anaknya untuk melihat dunia luar, dunia yang ada dalam masyarakat bahwa banyak laki-laki dan pilihlah salah satu asalkan laki-laki tersebut benar-benar mencintainya dan anaknya pun sungguh-sungguh mencintai laki-laki tersebut. Karena menurut ibu cinta dapat mengubah segala-galanya. Dan pesan ibu yang paling berkesan dan tidak kalah penting untuk anaknya adalah karena seorang perempuan, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati.
b. Pembahasan
Cerpen laki-laki sejati karya Putu Wijaya ini menggunakan aliran idealisme. Aliran idealisme adalah suatu aliran yang melukiskan hal-hal utuh tentang gagasan, cita-cita atau pendirian pengarang. Gagasan atau pendirian pengarang mengenai emansipasi wanita ini terlihat jelas pada bagian akhir cerita cerpen tersebut saat tokoh ibu berpesan pada anaknya bahwa seorang perempuan dapat membuat lelaki menjadi seorang lelaki sejati, seperti dalam kutipan berikut :
Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati
Penjelesan mengenai Inti dari gagasan pengarang tentang emansipasi wanita, juga telah dijelaskan dibagian tengah cerita yakni kesempatan perempuan untuk memilih laki-laki sejatinya bukan perempuan yang dipilih. Seperti dalam kutipan cerpen tersebut : Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Putu wijaya menggunkan tokoh gadis yang baru menginjak dewasa, seakan memberi kesan yang kuat. Karena pada masa-masa ini biasanya tingkat keingin tahuan seseorang benar-benar meningkat. Dan seorang ibu adalah orang yang sangat tepat dimunculkan. Ibu disini diposisikan sebagai seorang teman, karena sang gadis disini adalah sosok yang jarang bergaul dengan teman-temannya diluar rumah.
c. Penutup
Kesimpulan :
Cerpen laki-laki sejati karya putu wijaya menggunakan aliran idealisme yaitu alian yang melukiskan hal-hal utuh tentang gagasan atau cita-cita pengarang. Dalam cerpen ini terlihat gagasan dan cita-cita pengarang akan emansipasi terhadap wanita, kesempatan bagi wanita untuk memilih laki-laki sejatinya dan peran sesungguhnya bahwa wanitalah yang dapat membuat seorang laki-laki dapat menjadi laki-laki sejati.
Saran :
Cerpen tersebut sangat menarik untuk dibaca namun alangkah baiknya jika tokoh ibu dan anak gadisnya diberi nama sehingga pembaca dengan mudah mengenali tokoh. Menariknya dari cerpen ini adalah pembaca harus benar-benar merenungkan apa maksud dari cerpen tersebut karena setelah dibaca ternyata judul dari cerpen tersebut adalah negasi dari isi cerita tersebut bahwa laki-laki sejati hanya ada dalam angan-angan yang ada hanyalah wanita yang dapat membuat seorang laki-laki menjadi laki-laki sejati


AKU

Kalau sampai waktukuKu mau tak seorang kan merayuTidak juga kau Tak peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang Luka dan bias kubawa berlariBerlarihingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduliAku mau hidup seribu tahun lagi

 

                                                                                                        (chairil anwar)









LAKI-LAKI SEJATI
Cerpen Putu Wijaya

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?

Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?

Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.

Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.

Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.

Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!

Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?

Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.

Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?

Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?

Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.

Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.

Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!

Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.

Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?

Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***

Denpasar, akhir 2004

Kamis, 13 Juni 2019

Lawakan Koplak Kopi gila


Kopi gila


SURONO             : Sim, Sim, Sim, Kosim. Dimana anak ini! 
KOSIM                  : Iya pak  sebentar kosim keluar
SURONO             : lama sekali dipanggil egk jawab jawab , ngapain kamu ngamar saja?
KOSIM                  : ngerjain tugas pak
SURONO             :  lo lo lo lo lo loh kenapa wajahmu lebam lebam semua?
KOSIM                  : biasa pak tadi kosim habis belajar akting sama temen2 kosim
SURONO             :  jangan bohong sama bapak, bapak tau kalau kamu bohong! Pasti kamu habis                berantem ya?
KOSIM                  : egk pak beneran kosim egk berantem
SURONO             :  la, itu kenapa mukamu kok babak bunyak gitu , lok egk berantem lagi
KOSIM                  : beneran pak kosim egk berantem lagi , ini kosim babak bunyak karena habis di               pukulin
SURONO             :  O o kamu habis maling
KOSIM                  : astaga gak mungkinlah pak lok kosim maling ini babak bunyak karena habis                   nyiyum cewek pak
SURONO             :  nyiyum cewek kok babak bunyak,?
KOSIM                  : ya jadi ceritanya begini pak, ternyata cewek yang kosim cium cowonya lihat dan           kosim langsung dipukulin.
SURONO             :  oalah kamu ini sim sim seneng amat buat gara-gara, lain kali jangan seperti                  itu,itu tidak baik
KOSIM                  : iya pak maaf kosim hilaf
SURONO             :  o o o dasar kamu ini !  udah cepet bikinin bapak kopi.
KOSIM                  : iya pak, kopinya mau kopi bubuk biasa apa kopi sashet?
SURONO             :  kopi sashet kayaknya siang-siang gini enak sim. Cepet buatin bapak kopi sashet            saja sim
KOSIM                  : mau yang rasa mocca , capucino apa susu pak?
SURONO             :  ooo lok gitu cepat bapak bikinin kopi torabika capucino saja, sim
KOSIM                  :waduh pak kayangnya tinggal bungkusnya saja
SURONO             :  alah-alah gmana si sim kamu ini yang rasa susu?
KOSIM                  : wahkebetulan  itu juga habis kayaknya pak lom beli lagi!
SURONO             :  kamu ini maunya apa si sem kok  yang kamu tawarkan egk ada yang bener!                   Terus adanya apa?
KOSIM                  : kayaknya adanya yang sashetan gede pak hanya satu satunya saja
SURONO             :  yaudah lok gitu buatin bapak sekarang juga! Memang rasanya tinggal yang rasa             apa yang tersisa?
KOSIM                  :tinggal satu sashet kopi klangenan pak
SURONO             :  itu kan kopi warung sim kenapa dari tadi kamu egk bilang malah buat rumit                 percakapan saja. Berarti itu kan kopi bubuk biasa sim-sim. Yaudah cepat kamu             buat sana
KOSIM                  : iya pak bentar. Ini pak kopinya silahkan diminum
SURONO             :  yaudah kamu duduk samping bapak saja egk usah kemana-mana.

selesai

Postingan Lama Beranda