BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut Riffaterre (dalam
Pradopo,2009:210) ketidaklangsungan pernyataan puisi itu disebabkan oleh tiga
hal, yaitu: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Pada
umumnya kata-kata kiasan menggantikan sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora
dan metomini Riffaterre (dalam Pradopo,2009:212). Dalam penggantian arti ini
suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti seaungguhnya).
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo
,2009:213) penyimpangan terjadi apa bila dalam sajak ada ambiguitas,
kontradiksi, ataupun nonsense. Dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering
mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Dalam sajak modern
banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau
kebalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan.
Ironi ini menarik perhatian dengan cara
membuat pembaca berpikir. Sering juga membuat orang tersenyum atau membuat
orang berbelas kasih terhadap sesuatu yang menyedihkan.Nonsense merupakan
bentuk kata-kata yang secara linguistic tidak mempunyai arti sebab tidak
terdapat dalam kosakata.
B.
Rumusan
Masalah
Oleh sebab itu, maka dalam makalah ini
akan dibahas mengenai:
1. Mendeskripsikan
penggunaan arti dalam puisi?
2. Menjelaskan
penyimpangan arti dalam puisi?
3. Menjelaskan
penciptaan arti dalam puisi?
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut
Riffaterre (dalam Pradopo,2009:210) ketidaklangsungan pernyataan puisi itu
disebabkan oleh tiga hal, yaitu: penggantian arti (displacing of meaning),
penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of
meaning).
A.
Penggantian
Arti
Pada
umumnya kata-kata kiasan mengganti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan
metomini Riffaterre (dalam Pradopo,2009:212). Dalam penggantian arti ini suatu
kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya).
Misalnya dalam sajak Chairil ini.
SAJAK
PUTIH
Bersandar
pada tari warna pelangi
Kau
depanku bertudung sutra senja
Di
hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum
rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi
menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak
muka air kolam jiwa
Dan
dalam dadaku memerdu lagu
Menarik
menari seluruh aku
Hidup
dari hidupku, pintu terbuka
Selama
matamu bagiku menengadah
Selama
kau darah mengalir luka
Antara
kita mati datang tidak membela
Dihitam
matamu kembang mawar dan melati. Mawar dan melati adalah metafora dalam baris
ini, berarti yang lain: sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi, dalam
mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang
menggairahkan dan murni seperti keindahan bunga mawar (yang merah) dan melati
(putih) yang mekar. Metafora itu bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu seharga
dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Altenbernd (dalam Pradopo,
2009:212). Secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti
perbandingan, personafikasi, sinekdoki, dan metonimi itu bisa disebut saja
dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan yang
lain, mempunyai sifat sendiri. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan
hal atau benda lain.
B.
Penyimpangan
Arti
Menurut Riffaterre (dalam
Pradopo,2009:213) penyimpangan terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas,
kontradiksi, ataupun nonsense.
1. Ambiguitas
Dalam puisi kata-kata, frase, dan
kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu.
Sebuah contoh sajak Sutardji Calzoum Bachri.
TAPI
Aku bawakan bunga padamu
Tapi kau bilang masih
Aku bawakan resahku padamu
Tapi kau bilang hanya
Aku bawakan darahku padamu
Tapi kau bilang cuma
Aku bawakan mimpiku padamu
Tapi kau bilang meski
Aku bawakan dukaku padamu
Tapi kau bilang tapi
Aku bawakan mayatku padamu
Tapi kau bilang hampir
Aku bawakan arwahku padamu
Tapi kau bilang kalau
Tanpa apa aku datang padamu
Wah !
Dengan ambiguitas seperti itu puisi
memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberi arti sesuai dengan asosiasinya.
Dengan demikian, setiap kali sajak ini dibaca selalu memberi arti baru. Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh Julia Kristeva (tokoh semiotic terkenal)
(Preminger dkk, 1974:982) bahwa dalam puisi arti tidak terletak "di
balik" penanda (tanda bahasa: kata), seperti sesuatu yang
"dipikirkan" oleh pengarang, melainkan tanda itu (kata-kata itu)
menjanjikan sebuah arti (arti-arti) yang harus diusahakan diproduksi oleh
pembaca.
2. Kontradiksi
Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu
salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikan. Ironi ini
biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian
dengan cara membuat pembaca berpikir. Sering juga membuat orang tersenyum atau
membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi
indonesia, penyair Subagio Sastrowardojo sering menulis ironi, misalnya yang terkenal
"Afrika Selatan", yang lain ,"Bulan
Ruwah","katcchisasi","Nyanyian Ladang".
NYANYIAN LADANG
Kau akan cukup punya istrahat
Di hari siang, setelah selesai
mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis
Kau akan cukup punya sandang
Buat nikah, jangan nangis.
Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang, setelah selesai pergi
kondangan
Pak tani, jangan menangis
Kau akan cukup punya lading
Buat sawah, setelah selesai mendirikan
kandang
Pak tani, jangan menangis
(Daerah Perbatasan, 1970: 19)
Dalam sajak tersebut si
penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba kecukupan, tetapi
sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah
bukup bagi pak tani :akan cukup istirahat, cukup punya kerja di sawah, cukup
sandang, punya sandang setelah lunas sandang, cukup punya pangan sesudah
kondangan (kenduri), cukup punya ladang buat sawah.
Kehidupan petani sungguhnya sangat
sederhana, dan sengsara, semua serba:akan! Pak tani jangan menangis-itu
sungguhnya malah: pak tani harus menangis dalam keadaan yang menderita itu,
dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, hanya punya makan pun sehabis pergi
kondangan, dan sawahnya hanya lading, dalam arti tak cukup baik untuk menanam
padi.
3.
Nonsense
Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang
secara linguistic tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata,
misalnya penggabungan dua jata atau lebih (sepisaupi, sepisaupa) menjadi bentuk
baru, pengulangan suku kata dalam satu kata: tekekehkekeh-kehkehkeh. Nonsense
ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi,
menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Misalnya
sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri banyak mengandung nonsense demikian itu. Misalnya dalam sajak "pot"
(1981: 30) potapa potitu potkaukah potaku?, dalam "Herman" tak bisa
pegang di tangan takbisatakbisatakbisa...., dalam "kakekkakek &
bocahbocah" dan bocah-bocah tertawa terkekehkekehkehkehkeh. Dalam sajak
"Sepisaupi" (1981:87) sebagai berikut.
SEPISAUPI
Sepisau luka sepisau duri
Sepikul dosa sepukau sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisapanya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi
Sepikul diri keranjang duri
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sampai pisaunya kedalam nyanyian
Sutardji menggabungkan kata sepi dan
pisau dan sapa menjadi sepisau, sepisaupi, dan sepisaupa, sepisapanya, maka
sapanya dalaw sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau
digabungkan hingga terjadi makna sepi seperti pisau yang menusuk. Juga, sepi
digabungkan dengan pikul, menjadi sepikul dosa: rasanya dosa itu betapa berat
dan sepi mencekam. Dalam sajak terkandung makna: dosa itu menimbulkan derita
seperti tusukan duri dan pisau damw membuat sepi terasing.
C. Penciptaan Arti
Terjadi penciptaan arti (Riffaterre,
1978:2) bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian
untuk membuat tanda-tanda keluar dan hal-hal ketatabahasaan yang sungguhnya
secara linguistic tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjebement, atau
ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi
dalam bait (homologues). Dalam puisi seriwmg terdapat keseimbangan (simitri)
berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait.
Homologues (persamaan posisi) itu misalnya tanpa dalam sajak pantun atau yang
semacam pantun. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar
arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejejasan
yang diciptakan oleh ulang bunya dan parlelisme misalnya bait sajak Rendra ini.
Elang yang gugur tergeletak
Elang yang tergugur terebah
satu harapku pada anak
Ingatkan pulang pabila petang
Dalam bait sajak itu ada persejajaran
bentuk menimbulkan persejajaran arti: bahwa bagaimanapun hebatnya elang, sekali-kali
ia gugur tergeletak dan terebah, begitu juga si anak akan lelah juga dan
ingatlah akan pulang. Di bawah ini sajak Sutardji (1981: 25) yang penuh
persejajaran bentuk dan arti. Oleh ulang yang berturut-turut terjadilah
orkestrasi (bunyi masak) dan irama. Orkestra ini menyebabkan liris dan
konsentrasi.
BAB III
A.
Kesimpulan
Dalam
penggantian arti suatu kata atau kiasan berarti tidak menurut arti yang
sesungguhnya. Penyimpangan terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas,
kontradiksi, atau pun nonsense. Bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk
membuat tanda-tanda yang keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya
secaara linguistic tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjebemen atau
makna semantic yang berada diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait.
B.
Saran
Sebaiknya
kita memahami tentang teori dan apresiasi puisi, pemahaman bahan ajar ini akan
membantu kita dalam menentukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan
perkembangan pendidikan sehingga akan tercapai hasil belajar yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko.2009.Pengkajian puisi.Gajah
Mada.Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar