Minggu, 25 Maret 2018

Penggunaan arti dalam puisi, penyimpangan arti dalam puisi dan penciptaan arti dalam puisi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo,2009:210) ketidaklangsungan pernyataan puisi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metomini Riffaterre (dalam Pradopo,2009:212). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti seaungguhnya).

Menurut Riffaterre (dalam Pradopo ,2009:213) penyimpangan terjadi apa bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan.

Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir. Sering juga membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelas kasih terhadap sesuatu yang menyedihkan.Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistic tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata.

B.     Rumusan Masalah
Oleh sebab itu, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai:
1.      Mendeskripsikan penggunaan arti dalam puisi?
2.      Menjelaskan penyimpangan arti dalam puisi?
3.      Menjelaskan penciptaan arti dalam puisi?


BAB II
PEMBAHASAN

Menurut Riffaterre (dalam Pradopo,2009:210) ketidaklangsungan pernyataan puisi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).

A.    Penggantian Arti
Pada umumnya kata-kata kiasan mengganti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metomini Riffaterre (dalam Pradopo,2009:212). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya). Misalnya dalam sajak Chairil ini.

SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir luka
Antara kita mati datang tidak membela

Dihitam matamu kembang mawar dan melati. Mawar dan melati adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain: sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi, dalam mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang menggairahkan dan murni seperti keindahan bunga mawar (yang merah) dan melati (putih) yang mekar. Metafora itu bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Altenbernd (dalam Pradopo, 2009:212). Secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti perbandingan, personafikasi, sinekdoki, dan metonimi itu bisa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan yang lain, mempunyai sifat sendiri. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.

B.     Penyimpangan Arti
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo,2009:213) penyimpangan terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
1.      Ambiguitas
Dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Sebuah contoh sajak Sutardji Calzoum Bachri.

TAPI
Aku bawakan bunga padamu
Tapi kau bilang masih
Aku bawakan resahku padamu
Tapi kau bilang hanya
Aku bawakan darahku padamu
Tapi kau bilang cuma
Aku bawakan mimpiku padamu
Tapi kau bilang meski
Aku bawakan dukaku padamu
Tapi kau bilang tapi
Aku bawakan mayatku padamu
Tapi kau bilang hampir
Aku bawakan arwahku padamu
Tapi kau bilang kalau
Tanpa apa aku datang padamu
Wah !

Dengan ambiguitas seperti itu puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberi arti sesuai dengan asosiasinya. Dengan demikian, setiap kali sajak ini dibaca selalu memberi arti baru. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Julia Kristeva (tokoh semiotic terkenal) (Preminger dkk, 1974:982) bahwa dalam puisi arti tidak terletak "di balik" penanda (tanda bahasa: kata), seperti sesuatu yang "dipikirkan" oleh pengarang, melainkan tanda itu (kata-kata itu) menjanjikan sebuah arti (arti-arti) yang harus diusahakan diproduksi oleh pembaca.

2.      Kontradiksi
Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir. Sering juga membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi indonesia, penyair Subagio Sastrowardojo sering menulis ironi, misalnya yang terkenal "Afrika Selatan", yang lain ,"Bulan Ruwah","katcchisasi","Nyanyian Ladang".
NYANYIAN LADANG
Kau akan cukup punya istrahat
Di hari siang, setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis
Kau akan cukup punya sandang
Buat nikah, jangan nangis.
Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang, setelah selesai pergi kondangan
Pak tani, jangan menangis
Kau akan cukup punya lading
Buat sawah, setelah selesai mendirikan kandang
Pak tani, jangan menangis
(Daerah Perbatasan, 1970: 19)

Dalam sajak tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah bukup bagi pak tani :akan cukup istirahat, cukup punya kerja di sawah, cukup sandang, punya sandang setelah lunas sandang, cukup punya pangan sesudah kondangan (kenduri), cukup punya ladang buat sawah.

Kehidupan petani sungguhnya sangat sederhana, dan sengsara, semua serba:akan! Pak tani jangan menangis-itu sungguhnya malah: pak tani harus menangis dalam keadaan yang menderita itu, dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, hanya punya makan pun sehabis pergi kondangan, dan sawahnya hanya lading, dalam arti tak cukup baik untuk menanam padi.

3.       Nonsense
Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistic tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata, misalnya penggabungan dua jata atau lebih (sepisaupi, sepisaupa) menjadi bentuk baru, pengulangan suku kata dalam satu kata: tekekehkekeh-kehkehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Misalnya sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri banyak mengandung nonsense  demikian itu. Misalnya dalam sajak "pot" (1981: 30) potapa potitu potkaukah potaku?, dalam "Herman" tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisa...., dalam "kakekkakek & bocahbocah" dan bocah-bocah tertawa terkekehkekehkehkehkeh. Dalam sajak "Sepisaupi" (1981:87) sebagai berikut.

SEPISAUPI
Sepisau luka sepisau duri
Sepikul dosa sepukau sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisapanya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi
Sepikul diri keranjang duri
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sampai pisaunya kedalam nyanyian

Sutardji menggabungkan kata sepi dan pisau dan sapa menjadi sepisau, sepisaupi, dan sepisaupa, sepisapanya, maka sapanya dalaw sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga terjadi makna sepi seperti pisau yang menusuk. Juga, sepi digabungkan dengan pikul, menjadi sepikul dosa: rasanya dosa itu betapa berat dan sepi mencekam. Dalam sajak terkandung makna: dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau damw membuat sepi terasing.

C.      Penciptaan Arti
Terjadi penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dan hal-hal ketatabahasaan yang sungguhnya secara linguistic tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjebement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Dalam puisi seriwmg terdapat keseimbangan (simitri) berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Homologues (persamaan posisi) itu misalnya tanpa dalam sajak pantun atau yang semacam pantun. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejejasan yang diciptakan oleh ulang bunya dan parlelisme misalnya bait sajak Rendra ini.

Elang yang gugur tergeletak
Elang yang tergugur terebah
satu harapku pada anak
Ingatkan pulang pabila petang

Dalam bait sajak itu ada persejajaran bentuk menimbulkan persejajaran arti: bahwa bagaimanapun hebatnya elang, sekali-kali ia gugur tergeletak dan terebah, begitu juga si anak akan lelah juga dan ingatlah akan pulang. Di bawah ini sajak Sutardji (1981: 25) yang penuh persejajaran bentuk dan arti. Oleh ulang yang berturut-turut terjadilah orkestrasi (bunyi masak) dan irama. Orkestra ini menyebabkan liris dan konsentrasi.














BAB III

A.    Kesimpulan
Dalam penggantian arti suatu kata atau kiasan berarti tidak menurut arti yang sesungguhnya. Penyimpangan terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, atau pun nonsense. Bila ruang teks (spasi teks) berlaku  sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda yang keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secaara linguistic tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjebemen atau makna semantic yang berada diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait.

B.     Saran
Sebaiknya kita memahami tentang teori dan apresiasi puisi, pemahaman bahan ajar ini akan membantu kita dalam menentukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan pendidikan sehingga akan tercapai hasil belajar yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA


Pradopo, Rachmat Djoko.2009.Pengkajian puisi.Gajah Mada.Yogyakarta.


 

Tidak ada komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda