Selasa, 20 Maret 2018

Cerpenku di STKIP


SATU

ADAKAH manusia di dunia ini yang tidak mempunyai cita-cita dalam hidupnya? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu.
     “Tidak ada!” Jawabnya sendiri.
Kecuali manusia yang tak mempunyai tujuan hidup dalam dirinya untuk dapat menjadikan dirinya terkenang oleh orang-orang dengan cita-cita mulianya. Kupu-kupu ingin terbang jauh ke ujung dunia dalam kebebasan. Manusia yang di karuniai dengan akal pasti juga mempunyai keinginan atau cita-cita. Orang miskin mempunyai cita-cita menjadi orang kaya, bahkan orang yang dianggap bodoh sekalipun yang keberadaanya tak dihiraukan atau diakui  pun mempunyai cita-cita menjadi orang yang pandai, dikenal dan disukai banyak orang. Tuhan menciptakan dan menakdirkan semua makhluk yang diciptakannya untuk mempunyai tujuan hidup dan mampu untuk mewujudkannya dengan selalu berusaha tanpa kenal akan kata putus asa dalam dirinya.
     “Begitu pun dengan diriku” ucap Nisa.
Aku mempuyai cita-cita yang sangat mulia. Bisa membuat ayah dan ibu tersenyum pun aku sudah sangat bahagi, apalagi aku sampai bisa mewujudkan cita-citaku menjadi seorang dokter, pastikan akan sangat membanggakan sekaligus membuat kedua orang tua ku bahagia.
     “Iya!!! Menjadi seorang dokter. Itu lah cita-citaku.”
“lalu, apakah aku bisa mewujudkannya?”, Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Aku sadar bahwa aku hanyalah orang biasa, aku adalah anak tunggal yang terlahir dari pasangan suami istri yang sangat sederhana. Ayahku bernama pak Yusuf yang bekerja sebagai petani di ladang milik orang kaya di desakuyang berbesar hati mau mempekerjakan ayahku, sedangkan ibuku hanya membuka warung makan kecil-kecilan di rumah. Untuk membantu perekonomian keluarga ibu tidak hanya bekerja menjual makanan namun juga menjadi buruh di sawah, ibuku bagaikan malaikatku, beliau bernama ibu Fatimah yang selalu merawat keluarga.
Melihat kehangatan keluarganya malam ini, untuk memberitahu keinginannya pun ia tak berani, apalagi bila ia sampai meminta izin kepada ayah dan ibunya jika ia ingin sekali kuliah di Universitas ternama di daerahnya. Biaya yang tak sedikit yang harus dikeluarkan ayah dan ibunya, ia merasa sama saja mematikan ayah dan ibunya secara perlahan bila ia benar-benar masuk kuliah di Universitas tersebut. Ia melihat perekonomian keluarganya yang sangat miris, untuk bisa makan pun sudah bersyukur. Namun tekadnya sudah bulat sehingga ia memberanikan diri untuk meminta izin kepada ayah dan ibunya, dengan gemetar dan perasaan was-was, ia mengungkapkan keinginannya.
“Ayah, Ibu. Apakah Anisa boleh mengungkapkan keinginan Anisa?”, ucapnya dengan suara gemetar.
“Iya nak, ada apa?. Bilang saja sama ayah dan ibu.” Jawab ibunya dengan nada tenang.
“Begini bu. Anisa kan sudah lulus dari SMA, kalau  boleh Nisa ingin meminta izin untuk melanjutkan sekolah Keperguruan Tinggi yang ada di Lampung bu. Sudi kiranya ayah dan ibu mengizinkan Nisa?” ucapnya dengan perasaan was-was dan takut.
“Kalau boleh ubu tahu, Nisa ingin masuk kefakultas apa sayang?”. Pertanyaan ibu semakin membuat Nisa tak tega untuk mengatakannya, namun hatinya terus mendorong utunk megatakannya.
“Begini Bu, Nisa dari kecil ingin menjadi seorang dokter dan Nisa sangat ingin mewujudkan cita-cita Nisa, jadi Nisa ingin masuk fakultas Kedokteran ya Bu?”
“Sayang.. ” Ucap ibu Fatimah dengan terkejut dan menatap kedua bola mata anak kesayangannya. “apa kamu tidak salah ngomong, kamu tahu kan itu Universitas ternama di Lampung, apalagi kamu ingin masuk fakultas Kedokteran, ayah dan ibu tidak sanggup nak, itu terasa berat untuk ayah dan ibu!” Sambung bu Fatimah dengan nada meyakinkan anaknya.
Anisa pun membalas tatapan ayanh dan ibunya secara bergantian untuk meyakinkan kedua orang tuanya atas ucapannya.
“Iya Bu, Yah!! Nisa ingin sekali bisa masuk Universitas ternama itu. Izinkan Nisa ya Yah, Bu?” Ucapnya dengan penuh harap.
“Nisa. Putri ayah dan Ibu” Ucap bu Fatimah.
“Ayah dan Ibu sangat bangga dan akan bahagia jika Nisa bisa melanjutkan pendidikan untuk mewujudkan cita-cita Nisa, tapi ...” Sambung bu Fatimah dengan memotong pembicaraan yang menjadikan Anisa bertanya-tanya.
“Tapi apa Bu?” tanya Anisa kepada ibunya.
“Tapi Ayah dan Ibu minta maaf ya sayang, Ayah dan Ibu tidak bisa membiayai kuliahmu. Ayah dan Ibu sudah tidak mampu.” Ucap bu Fatimah dengan penuh penyesalan.
“Tapi Yah, Bu! Nisa ingin sekali mewujudkan cita-cita Nisa.” Ucap Nisa.
“Nisa sayang, Nisa tahu sendiri bagaimana keadaan ekonomi keluarga kita sayang? Untuk membiayai kehidupan kita sehari-hari saja sudah susah apalagi jika ditambah dengan membiayai kuliah kamu sayang. Jadi Ayah dan Ibu berharap kamu bisa mengerti keadaan keluarga kita sayang.” Lanjut Ibunya dengan memberikan pengertian kepada Anisa.
Mendengar jawaban ayah dan Ibunya, bahwa kedua orang tuanya tidak dapat membiayai ia untuk masuk ke Universitas tersebut, dan berharap bahwa Anisa dapat mengerti keadaan keluarganya. Air mata yang sedari tadi dibendung oleh Nisa kini bercucuran membanjiri pipinya, ia tak dapat menahan rasa sedihnya. Padahal ia berharap ayah dan Ibunya mau membiayai sekolahnya. Namun apa mau dikata, perekonomian keluarganya masih sangat sulit, untuk makan sehari-hari pun ayah dan ibunya harus bekerja keras, apalagi jika Nisa melanjutkan pendidikannya di salah satu Universitas ternama di Lampung yang pastinya membutuhkan biaya yang tak sedikit jumlahnya. Mungkin Ayah dan Ibunya harus bekerja lebih keras untuk dapat mencari biaya sekolahnya.
Dengan sesegukan dan air mata yang masih menetes, Nisa pun kembali menanyakan kejelasan Ayah dan Ibunya.
“A..a..yah, I..i..bu, Anisa benar-benar ingin bisa masuk ke Universitas itu Ibu, Nisa ingin sekali bisa mewujudkan cita-cita Nisa Bu, menjadi seorang dokter. Bukankah dulu ayah dan Ibu pernah berpesan sewaktu Nisa kecil, agar Nisa harus mengejar dan mewujudkan apa yang dicita-citakan Nisa?” Seru Nisa dengan menyalahkan Ayah dan Ibunya.
Kemudian ia mengenang kembali bagaimana ketika ia masih kecil saat Ayah dan Ibunya bertanya tentang cita-citanya saat sudah besar nanti.
“sayang..” ucap Ibunya denga nada lemah lembut.
“iya Ibu, ada apa?” jawab anisa dengan manja kepada Ibunya.
“ibu boleh bertanya kepadamu?” Ucap Ibu Fatimah.
”Iya Ibu, boleh. Ibu mau bertanya apa padaNisa?” jawab Anisa dengan nada hormat.
”Anisa kalau sudah besar nanti mau jadi apa?” ucap Ibu Fatimah.
Mendengar pertanyaan yang terucap oleh Ibunya Anisa pun memperlihatkan wajah kebingungan, sebab ia belum memikirkan tentang cita-cita yang ingin diraihnya. Anisa yang saat itu masih menjadi gadis kecil kesayangan Ayah dan Ibunya belum mempunyai angan-angan akan cita-cita, karena Anisa merasa bahwa saat itu kasih sayang dan cinta dari kedua orang tuanya sudah sangat cukup membuatnya bahagia.
Dengan wajah polos dan diselimuti rasa kebingungan ia pun memandang wajah ibu Fatimah dan menjawab pertanyaan nya.
“Nisa belum memikirkan tentang cita-cita ku Bu, Nisa sudah merasa cukup dengan kasih sayang yang selalu diberikan Ayah dan Ibu utuk ku” Jawabnya dengan tegas.
“Tidak boleh seperti itu anakku.” Ucap pak Yusuf ayahnya sambil mendekati Anisa dan bu Fatimah. Pak Yusuf memberikan penjelasan dengan bijaksana kepada putrinya yang sedang merasa kebingungan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Ibunya.
“Anisa putri kesayangan Ayah dan Ibu tidak boleh seperti itu, Nisa harus mempuyai cita-cita untuk masa depan adek nanti, bukankah adek nanti akan tumbuh menjadi seorang remaja dan dewasa. Karena tidak selamanya adek akan selalu bersama Ayah dan Ibu .” Jelas pak Yusuf.
Mendengar perkataan Ayahnya, Anisa pun  langsung menatap Ayahnya.
“Jadi Ayah dan Ibu tidak mau menjaga dan menyayangi Nisa lagi jika Nisa nanti tumbuh remanja dan menjadi orang dewasa? Ayah dan Ibu tidak mau Nisa selamanya ada di samping Ayah dan Ibu lagi? Ayah dan Ibu jahat...!!!” Ucap anisa dengan nad marah.
Hingga tak terasa air matanya menetes, ia menganggap bahwa kedua oran tuanya tak akan selamnya menyayanginya. Tiba-tiba bu bFatimah memeluk Anisa dan menghapus air mata yang keluar dari mata indah putri kecilnya.
“Maksud Ayah tidak seperti itu sayang.” Ucap Ibunya.
“Lalu apa Bu?” tanya Anisa.
“Ayah dan Ibu ingin Adek mempunyai cita-cita yang mulia sebagai tujuan hidup adek. Semua orang pasti mempunyai cita-cita sebagai tujuan hidupnya sayang. Termasuk Ayah dan Ibu dulu ketika seusiamu, Ibu bercita-cita ingin menjadi seorang perawat, namun karena keterbatasan biaya yang saat itu dialami kedua orang tua Ibu, akhirnya urung terwujud. Ibu mengerti keadaan kedua orang tua Ibu sehingga ibu mengubur cita-cita Ibu untuk menjaaadi seorang perawat. Maka dari itu, Ayah dan Ibu ingin tahu kamu mempunyai cita-cita ingin menjadi apa, agar Ayah dan Ibu berusaha untuk dapat mewujudkan cita-cita Adek.”
Mendengar cerita Ibunya, ia merasa senang karena ternyata Ayah dan Ibunya selalu memikirkan masa depannya.
“Ayah, Ibu! Maafkan Nisa karena sudah menilai buruk tentang Ayah dan Ibu?” Ucapnya dengan nada memelas.
“Iya putriku sayang, Ayah dan Ibu sudah memaafkan Adek, bahkan sebelum Adek minta maaf sama Ayah dan Ibu!” Jawab pak Yusuf.
“Makasih ya Ayah, Ibu. O iya kemarin sewaktu Nisa kerumah sakit menjenguk Nenek, Nisa melihat dokter yang cantik dan baik sekali sedang memeriksa keadaan enek.” sambung Nisa
Setelah ia mengingat kejadian tersebut, Ia merasa ingin menjadi ibu Dokter seperti ibu Dokter yang merawat Nenek, lalu Ia mengungkapkan keinginannya.
“oh.. Jadi kemaren Adek melihat saat Nenek diperiksa oleh ibu Dokter yang baik itu ya?” Ucap Ayahnya.
“Iya Yah, bu Dokter itu hebat sekali ya Yah, bisa menyembuhkan orang sakit.” Jawab Anisa dengan penuh rasa ingin tahu nya.
“Sayang, pekerjaan seorang Dokter memang menyembuhkan orang yang sedang sakit.” Ucap bu Fatimah menjelaskan kepada Anisa.
“Oh jadi begitu ya Bu?” jelas Nisa.
“Ayah, Ibu!” sambung Nisa.
“Iya sayang, ada apa?” Tanya Ibu dengan penuh kasih sayang.
“Nisa ingin menjadi seorang Dokter ya Yah, Bu! Nisa Ingin mewujudkan cita-cita Nisa agar dapat menyembuhkan Ayah dan Ibu dikala sedang sakit, karena Nisa tidak mau Ayah dan Ibu sakit!” Ucapnya dengan nada penuh harap.
Mendengar perkataan dari putri kecilnya, bu Fatimah dan pak Yusuf merasa terharu sekaligus senang. Putri kecil yang mereka bangga-banggakan mempunyai cita-cita yang mulia, bahkan putrinya sangat menyayangi kedua orang tuanya.
“Subhanallah... Cita-cita kamu begitu mulia sayang.” Ucap Ibunya.
“iya Ibu, do’akan semoga Nisa dapat mewujudkan cita-cita Nisa menjadi seorang Dokterya Bu, Yah?” Ucap Anisa.
“Ayah dan Ibu akan selalu mendo’akan yang terbaik untukmu sayang.” Ucap bu Fatimah.
“Anisa putri Ayah! Ayah dan Ibu berpesan padamu ya sayang. Nisa harus dapat mewujudkan cita-cita Nisa, walaupun nanti pasti akan ada halangan dan rintangan yang menghadang Nisa ketika akan mewujudkan cita-cita, namun Nisa tidak boleh putus asa. Nisa harus semangat ya sayang, Ayah dan Ibu akan selalu berada di sampingmu untuk menyemangatimu. Dan satu lagi Nisa...” Ucap Ayahya.
“Satu lagi apa Yah?” tanya Anisa dengan bingung.
Sambil memegang hidung Anisa pak Yusuf berpesan
“Sebelum Adek lulus kuliah, Adek tidak boleh pacaran dulu!” jawab Ayah dengan tersenyum.
“OK Ayah...” Jawab Anisa.
“Nisa nanti kalau udah besar tidak mau pacaran dulu sebelum bisa mewujudkan cita-cita Nisa menjadi seorang Dokter! Ayah, Ibu!” Sambil memegang tangan Ayah dan Ibunya erat-erat.
“Nisa berjanji pada diri Nisa sendiri juga pada Ayah dan Ibu, kalau Aku akan mewujudkan cita-cita Nisa. Nisa akan membuat Ayah dan Ibu bangga terhadap putrimu ini.” Ucap Nisa dengan penuh keyakinan.
“Aamiin... sayang. Ayah dan Ibu Akan selalu mendo’akan supaya Nisa dapat mewujudkannya.”Ucap bu Fatimah.
Setelah Teringat akan peristiwa saat itu segera bu Fatimah merangkul putri tercintanya lalu mencium keningnya, dengan perasaan sedih yang mendalam. Dihapuslah air mata yang membasahi pipi Anisa oleh Ibunya.
     “Sayang memang benar dulu Ayah dan Ibu pernah berpesan kepadamu agar bisa mewujudkan cita-cita Nisa, namun Ayah dan Ibu tidak bisa mewujudkan cita-cita Nisa. Ayah dan Ibu minta maaf karena sekarang kami belum bisa membantumu mewujudkan cita-cita kamu sayang..., perekonomian kita sulit sayang, Ayah dan Ibu mohon agar kamu bisa mengerti keadaan keluarga kita sayang.”
Dengan segera Anisa melepaskan pelukan Ibunya yang kemudian menatap wajah Ayah dan Ibunya secara bergantian.
“Tapi Bu, Yah...!!” Ucap Anisa.
“Maafkan Ibu dan Ayah sayang, kami tak bisa mewujudkan cita-citamu.” Ucap Ibunya dengan menyesal.
Taarrrrr.... Bagaikan petir yang menyambar dirinya, hatinya hancur berkeping-keping serasa ia langsung kehilangan semangat untuk hidup. Bagaimana tidak? Cita-cita yang ia impikan selama ini harus terkubur dalam-dalam. Padahal dari kecil hingga sekarang Ia selalu membayangkan dapat menjadi seorang Dokter yang dapat menyembuhkan pasiennya. Tapi apa mau dikata, keadaan keluargalah yang yang menjadikan cita-citanya harus pupus.
Dengan rasa sedih yang sangat luar biasa Ia langsung meninggalkan Ayah dan Ibunya, berlari menuju ke kamarnya.
“Daaarrrrr!!!” Terdengar Nisa membanting pintu kamarnya, bu Fatimah dengan segera mengejar Nisa, namun terlambat. Nisa sudah masuk kedalam kemudian mengunci pintu kamarnya hingga bu Fatimah  tidak bisa masuk ke kamar Anisa.
“Sayang, Ayah dan Ibu sayang Nisa. Tapi Ayah dan Ibu juga minta maaf karena tidak bisa mewujudkan cita-citamu. Sekali lagi Ibu dan Ayah minta maaf, Nisa harus ikhlas menerima semua ini ya sayang?” ucap Ibunya menenangkan Nisa yang dilanda kesedihan dari balik pintu kamarnya.
Mendengar tidak ada jawaban dari Anisa, bu Fatimah dengan besar hati meninggalkan Anisa yang sedang dirundung kesedihan di dalam kamarnya sendirian.
***

DUA

Mentari yang indah membangunkan dari nyenyaknya tidurku malam ini, doa-doa selalu kupanjatkan dipagi yang masih gelap ini kepada sang pencipta. Berharap hari-hariku selalu diselimuti rasa bahagia yang tak terkira. Indahnya menyambut sang mentari pagi dengan sejuta semangat dan penuh harap yang selalu kutanamkan dalam diriku.
Oh alangkah indahnya ciptanmu Tuhan. Hanya bisa mengucapkan pujian atas ciptaanmu yang menjadikan kekaguman bagi semua makhluk yang menyasikannya, bahkan Aku berharap akan selalu dapat menyaksikan keindahan ciptaanmu yang maha indah. Aku bersyukur hari ini Aku masih diberi kesempatan untuk menikmatinya. Dengan segenggam semangat dipagi hari, ku langkahkan kaki ke sekolah tercinta ku. Kulihat kebersamaan dan semangat teman-temanku menunggu suatu kado teristimewa yang akan kami terima hari ini, iya! Hari ini adalah hari dimana kami akan mendapatkan kado teristimewa. Dag dig dug, itulah  yang Aku rasakan tak sabar rasanya mendengar pengumuman kelulusan itu. Kini tiba saatnya aku membaca surat yang diberikan oleh guruku.
“Nama  : Anisa Sabila Putri, Kelas : 3 IPA I, dinyatakan LULUS.”
Membaca surat keputusan itu, Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, sujud syukur kupersembahkan kepada Allah SWT, atas nikmat dan karunianya lah Aku bisa mendapatkan kebahagian luar biasa. Bagaiaman aku tidak bahagia? Perjuanganku selama 3 tahun di sekolah tercintaku membuahkan hasil yang manis, tidak hanya dinyatakan lulus namun Aku dianugrahkan dari sekolahku sebagai siswi dengan predikat terbaik. Semakin bertambahlah kebahagianku.
“Tak sabar rasanya untukuk memberi kabar baik ini kepada Ayah dan Ibu ku di rumah. Hmmm, pasti mereka akan merasa bangga terhadapku” Ucapnya dengan penuh semangat.
Dengan sangat tergesa-gesa Ia berlari menggenggam piagam penghargaan dan juga tanda kelulusannya, yang Ia rasakan bukanlah lelah karena berlari. Namun, Rasa bahagialah yang menggebu-gebu pada dirinya, tak sabar menghampiri Ayah dan Ibunya yang saat itu sedang berbincang-bincang di depan rumah. Namun, Ayah dan Ibunya merasa heran sekaligus khawatir dengan putrinya yang dilihat dari jauh terasa ada yang berbeda, namun Ia tak menghiraukan tatapan aneh yang dipasang Ayah dan Ibunya, dengan segera Ia memeluk Ayah dan Ibunya dengan erat.
“Ada apa Nisa? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu berlari tergesa-gesa seperti ini?” Tanya Ibu sambil menenangkan Anisa.
“Ibu, Ayah, Nisa punya kabar bahagia! Anisa dinyatakan lulus Yah, Bu!” Ujarnya sambil memandang Ayah dan Ibunya.
“Alhamdulillah sayang, Ibu dan Ayah bahagia mendengarnya.” Ucap Ayah dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak hanya itu saja Yah, Nisa diberikan pengharggan sebagai siswi terpandai di sekolah Nisa.” Ujar Anisa dengan penuh rasa bangga menggenggam tangan Ayah dan Ibunya.
“Selamat ya Sayang atas kelulusannya, Ibu dan Ayah turut bahagia mendengarkannya.” Ucap ibu Fatimah dengan mata berkaca-kaca.
Sebagai ungkapan rasa syukur, pak Yusuf, bu Fatimah dan Anisa pun bergegas mengambil air wudhu, kemudian melaksanakan ibadah sholat sunah. Memanjatkan do’a sekaligus bersyukur mengucapkan rasa syukurnya kepada sang maha pencipta.

**
Kriiing...kriiing, jam weker kelinciku menjerit-jerit memecah kesunyian pagi. Aku mengerang sambil membalikan badan, tanganku meraba-raba ditengah kegelapan mencari benda berisik itu, sudah kutemukan. Kupencet hidung merahnya menyuruhnya segera diam. Sesaat aku teringat akan kebahagiaan yang kudapatkan kemarin siang. Segera kutengok wekerku yang sudah menunjukan pukul 05.00 pagi.
Dengan segera kulemparkan selimutku dengan bergegas kekamar mandi untuk segeramengambil air wudhu dan segera kembali ke kamarku untuk melakukan kewawjiban sebagai hamba Allah yaitu sholat subuh, dalam sholatku kuselipkan ucapan rasa syukur atas nikmat dan kebahagiaan yang tercurah kepadaku, hingga tak terasa air mataku menetes membasahi pipi ini.
Dari jendela kamar, berkas-berkas cahaya sinar mentari pagi berkilau emas menembus masuk kedalam kamarku, dengan penuh semangat kulangkahkan kaki ku keluar dari kamar tercintaku. Pandangku kuarahkan keseluruh ruangan untuk mencari keberadaan Ayah dan Ibuku, kemudian pandanganku terarah ke suatu sudut ruangan di mana Ayah dan Ibu berada, dengan penuh semangat Aku hampiri Beliu berdua.
“Selamat pagi ayah, selamat pagi Ibu!” Anisa membuka percakapan dan suasana pagi pun menjadi lebih bersemangat seketika itu juga.
“Pagi juga sayang, kamu sudah bangun toh?” sahut Ibu dengan nada bertanya sambil mencium kening anak kesayangannya, dan pak Yusuf hanya tersenyum manis menyaksikan semangat anaknya dipagi itu.
“Udah dong Bu, Nisa sudah bangun dari tadi subuh kok Bu! Oh ya Bu, Bolehkah Nisa mengutarakan keinginan Nisa pada Ayah dan Ibu?” Ujarku sambil menatap wajah Ayah dan Ibu.
“Iya sayang, tentu saja boleh. Memangnya Nisa mempunyai keinginan apa?” Ujar Ibunya dengan nada lembut.
Namun seketika Ia tak berani untuk mengungkapkan keinginannya tersebut, dipandangnya  lagi wajah kedua orang tuanya dengan lekat-lekat, Ia melihat gurata-guratan rasa lelah dari mata keduanya.
“Apakah Aku sanggup menyampaikan keinginanku? Apakah aku sanggup melihat Ayah dan Ibuku bekerja lebih keras lagi? Apakah aku sanggup mendengar jawaban apa yang akan terlontar dari keduanya setelah Aku mengutarakan keinginanku?” Ia bertanya pada dirinya denga hati pilu. Namun Ia tetap membulatkan tekadnya untuk berani menyampaikan keinginannya untuk dapat masuk kesalah satu Universitas Negeri ternama di Lampung. Dengan rasa gemetar Ia beranikan diri untuk menyampaikan keinginnya kepada Ayah dan Ibuya.
“Ayah, Ibu. Nisa ingin minta izin kepada ayah dan ibu, Nisa ingin melanjutkan sekolah kesalah satu Universitas yang ada di Lampung! Nisa ingin mewujudkan cita-cita Nisa. Nisa tahu ini berat bagi ayah dan Ibu, tapi Nisa ingin sekali mewujudkan cita-cita Nisa menjadi seorang Dokter. Tolong izinkan Nisa ya Yah, Bu!” Ucapnya dengan suara gemetardan mata berkaca-kaca mencari kepastian dari Ayah dan Ibunya.
“Nisa, Ibu dan Ayah bukannya melarangmu untuk dapat mewujudkan cita-citamu, tapi Nisa kan sudah tahu bagaimana keadaan ekonomi keluarga kita. Ayahmu hanya bekerja sebagai buruh tani, sedangkan Ibu hanya berjualan makanan. penghasilan Ayah dan Ibu hanya cukup” bu Fatimah dengan jiwa keibuannya memeluk Anisa dan memberi penjelasan kepadanya.
Mendengarkan jawaban dari Ibunya Anisa sudah memahami dan mengerti akan arah pembincaraan selanjutnya, namun Anisa lebih memilih diam dan tak melanjutkannya.
***





TIGA
Kriiing...kriiing...!!! Seperti biasanya jam weker kelinci kesayangan Anisa berbunyi tepat pukul 05.00 pagi dan membangunkan nyenyak tidurnya. Dengan rasa malas yang menyelimuti, Ia berjalan ke kamar mandi dengan mata masih setengah tertutup.
Duggg... “Awww!!!” Jerit Nisa merasakan sakit di kepalanya. Seketika itu juga Ia membuka matanya lebar-lebar, ternyata kepalanya menabarak tembok yang ada di depannya.
“aduh sialan ini tembok, kepala ku jadi benjol begini” ucap ku dengan nada kesal.
Dengan segera Ia kembali berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dengan tetap memegangi kepalanya yang benjol.
Hari ini Aku harus semangat, semangat mewujudkan cita-citaku, walau pun Ayah dan Ibu tidak mengizinkan untuk kesalah satu Universitas ternama di Lampung. Namun Aku harus tetap semangat, apa pun caranya akan aku lakukan demi mewujudkan cita-citaku, sekalipun Aku harus merendahkan gengsiku. Jika ada niat pasti semua bisa dicapai asalkan aku berusaha sungguh-sungguh. Aku tidak boleh mengatakan aku tidak bisa, sebelum aku mencobanya. Pasti nanti jika Aku sudah mencobanya Aku pasti bisa.
Dengan penuh semangat Ia pun bergegas menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk mendaftar di Universitas impiannya itu. Hanya dengan bermodalkan uang seadanya Ia memberanikan diri mendaftar di Unuversitas yang ada di Lampung tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Ia mengendap-endap pergi dari rumah menuju tempat pendaftaran yang bisa dibilang jaraknya jauh dari kediaman orang tuanya.
Selang lima hari berlalu Ia mendapatkan kabar bahwa Ia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Alangkah bahagianya Ia ketika mengetahui berita tersebut. Sujud syukur langsung Ia lakukan, bagaikan kejatuhan ribuan mawar cantik dari langit yang memberikan keindahan dalam hidupnya. Alangkah beruntungnya Ia bisa diterima di Universitas tersebut, walu kedua orang tuanya tidak merestui. Dengan tekad yang bulat Ia langkahkan kakinya untuk mewujudkan cita-citanya yang sudah di depan mata untuk dapat diraihnya.
Oh Tuhan terima kasih untuk segala kebahagiaan yang telah engkau berikan kepada hamba mu ini, tiada henti Aku mengumandangkan pujian agung untukmu Tuhan, aku bagaikan wanita yangpaling beruntung diantara berbagai wanita yang hanya bisa menghabiskan waktunya untuk bekerja serabutan, tapi aku beruntung masih bisa melanjutkan sekolah dan meraih cita-citaku sebagai seorang dokter nantinya, bisa menyembuhkan pasien-pasienku yang membutuhkan bantuanku itulah keinginanku. Oh Aku bagaikan malaikat yang akan dicari-cari semua orang yang membutuhkan Aku, Bu Dokter Anisa, nantilah gelar ku.
Namun Ia langsung terbangun dari lamunan manisnya tersebut, Ia teringat tentang ucapan ayah dan Ibunya jika Ayah dan Ibunya tidak mampu membiayai sekolahnya, dengan rasa kebimbangannya Ia memutar otak apakah Ia tetap membulatkan tekad untuk tetap mewujudkan cita-citanya? Apakah Ia akan melepaskan cita-citanya yang selama ini Ia inginkan! Pertanyaan itu mengisi penuh fikirannya, merajam-rajam isi kepalanya, rasa sakit dan bimbang yang Ia rasakan saat ini
”Aku ingin sekali bisa mewujudkan cita-citaku menjadi seorang Dokter, tapi orang tuaku tak mempunyai biaya, lalu bagaimana Aku bisa memenuhi biaya Kuliahku?” Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan kebimbangan.
Kemudian ia meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia pasti bisa untuk mewujudkan cita-cita nya walaupun tanpa restu orang tua nya. Dengan motivasi yang ada dalam dirinya muncunlah pemikiran bahwa bagaimanapun caranya Ia harus dapat membiayai kuliahnya sendiri tanpa bantuan orang tua dan Ia akan membuktikan kepada Ayah dan Ibunya bahwa Ia bisa mewujudkan cita-citanya.
**
Sinar mentari pagi yang menyambutku dihari pertama ku membuatku bersemangat untuk melangkahkan kaki ku di tempat dimana Aku  akan menimba ilmu dan meraih cita-citaku, ini lah Universitas yang Aku Impikan sejak lama. “Selamat datang kepada Mahasiswa baru Fakultas Kedokteran”, itu lah kata sambutan yang Aku terima ketika memasuki Fakultas Kedokteran. Rasa haru sekaligus bangga yang Aku rasakan.
Namun ketika Ia mengekspresikan rasa bahagianya dengan berputar ria hingga Ia tersadar saat tubuhnya menabrak tubuh seseorang hingga Ia terjatuh.
“Bruuukkk..!!!”
“Awww...Sakit tauk” Teriaknya kepada orang yang ditabraknya.
Tanpa ada satu kata pun yang terucap dari mulut lelaki yang ditabraknya, namun ada tangan yang menjulur kepadanya untuk membantunya berdiri. Dengan rasa kesal Anisa pun menolak untuk ditolong dengan menepis tangan tersebut. Melihat keangkuhan Anisa yang tak mau ditolong, lelaki tersebut  melangkahkan kaki beranjak pergi meninggalkannya. Anisa pun tak terima dan berteriak kepada lelaki tersebut
“woy!!!”
“Kamu ini udah nabrak Aku, bukannya minta maaf malah langsung pergi!!” Ucapnya dengan nada Amarah.
Namun lelaki tersebut berpura-pura tak mendengar teriakan Anisa, Anisa yang geram kemudian mengejar lelaki tersebut. Dengan paksa Ia memberhentikan langkah lelaki itu dengan berdiri di depannya.
“Kamu tuli apa? Aku tu dari tadi ngomong malah nggak didengerin sama kamu.”
“Hah?  lo ngomong sama gua?”
“Ya iya lah sama kamu. Emang kira kamu aku ngomong sama tembok ”
“Oh... Ada apa ya?”
“Hah , kamu masih nanya ada apa?. Kamu sadar nggak, tadi kamu tuh sudah nabrak Aku sampai jatuh, malah nggak mau minta maaf.”
“Bukannya elo yang nabrak gua, kok malah gua yang harus minta maaf? Harusnya elo yang minta maaf sama gua! Dan bukanya tadi gua udah berniat baik nolongin elo, tapi lo nya sendiri nggak mau gua tolongin, ya gua pergi.”
“orang tadi kamu Cuma ngulurin tangan doang, mana tau kamunya mau nolongin aku.”
“Oh ya udah, gua minta maaf, soalnya tadi gua buru-buru, jadi gua lupa buat minta maaf.”
“hah Cuma minta maaf aja? Emang kata maaf bisa nyembuhin luka aku apa” ucapnya dengan menunjukan luka di tangan kanannya yang mengeluarkan darah.
“Aduh gua bener-bener minta maaf ya, gua nggak tauk. Ya udah sini gua bersihin luka lukanya biar nggak infeksi.” Ucap lelaki tersebut dengan perasaan bersalah.
Kemudian mereka berdua berjalan bersama mencari ruang kesehatan yang ada di Fakultas tersebut. Setelah sekian lama mencari, akhirnya mereka pun sampai di ruang kesehatan. Lelaki tersebut pun dengan sigap mengobati luka di tangan Anisa. Ketika lelaki itu sedang membersihkan  luka Anisa,
“Terima kasih ya..?” ucap Anisa kepada lelaki itu.
“Iya sama-sama” Jawab lelaki tersebut.
“Oh iya, kita belum saling berkenalan, namaku Azam.” Sambungnya dengan mengulurkan tangan kepada Anisa.
“Anisa” Jawab Anisa dengan singkat sambil tersenyum.
“Oh, Anisa. Nama yang cantik secantik orangnya.”puji Azam kepada Anisa.
“Hmm, Makasih.” Ucap Anisa.
“lo masuk fakultas apa Nis?” tanya Azam kepada Anisa
“Aku masuk Fakultas kedokteran kok zam. Kamu?” sambung Anisa
“Sama dong, gua juga masuk Fakultas kedokteran kok.” Jawab Azam.
Namun seketika Azam teringat bahwa ia ada janji dengan temennya, dengan tergesa-gesa Ia meninggalkan Anisa di ruang kesehatan.
**

Waktu yang ditunggu-tunggu disaat hari pertama mulai masuk mata kuliah di ruang II A, matanya bergantian melihat temansatu kelasnya. Satu persatu di pandangi dan seketika itu jua tatapannya terhenti saat melihat sosok lelaki yang tadi pagi di menabraknya di depan gedung Fakultas Kedokteran.
“Oh, Azam! Ternyata kita satu kelas ya?” tanya Anisa tanpa rasa canggung terhadap Azam.
“Hmmz, Anisa ya?” ucap Azam dengan raut kebingungan.
“Anisa yang gua tabrak tadi pagi ya?” lanjutnya.
“Iya Zam, ini aku, Anisa!” Jawab Anisa sambil tersenyum.
“Ya ampun, jadi kita satu kelas ya? Hmzz... jadi enak donk, kamu jadi teman pertama ku di kampus ini” lajut Anisa
“hahaha, iya Nis!” ucap Azam.
Dua jam berlalu mata kuliah pertama pun usai, Anisa dan Azam pun berbincang-bincang di taman yang ada di kampus.
“Oh ya Nis, rumah kamu di mana?” tanya Azam dengan penuh penasaran.
“hmm, rumahku di Pringsewu Zam, Aku di sini ngekos” jawab Anisa dengan raut muka sedih.
“Loh, kok raut mukamu sedih seperti itu, kamu ada masalhah ya?” tanya Azam dengan penuh perhatian.
“Hemm..” jawab Anisa sambil garuk-garuk kepala.
“Ya udah, sini cerita aja sama Aku, kan kita udah jadi teman! Siapa tau aku bisa bantu kamu. Tapi kalo kamu nggak mau cerita, ya udah nggak papa. Itu sih terserah kamu!!” Ucap Azam dengan nada ketus sekaligus penasaran.
“Hmmm, begini Zam, Aku lagi banyak masalah. Orang tuaku tak mengizinkan Aku kuliah di Fakultas Kedokteran ini. Alasannya karena perekonomian keluarga sangat minim. Ayahku hanya seorang Petan yang menggarap kebun orang, dan Ibuku bekerja sebagai buruh cuci dan hasil orang tuaku bekerja hanya cukup untuk makan sehari-hari. Makanya itu, Aku nekat untuk tetap kuliah di Universitas ini. Aku pengen ngewujudin cita-citaku sebagai seorang Dokter, dan sekarang Aku bingung bagaiamana Aku bisa mendapatkan uang yang tak sedikit jumlahnya dalam waktu yang singkat, padahal hari terakhir daftar ulang mahasiswa baru dan aku bingung banget Zam. Apa aku harus membatalkan niatku untuk mewujudkan cita-citaku?” Ucapnya dengan nada sedih dan kebingungan.
“Jadi seperti itu ya, saran Aku kamu tidak boleh membatalkan niatmu untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Nis, kamu tidak boleh mengecewakan kedua orang tuamu, harusnya kamu dapat membuktikan bahwa kamu wanita yang tangguh, yang bisa hidup mandiri untuk mewujudkan cita-citamu Nis!” Ucap Azam memotivasi Anisa.
“Tapi gimana caranya Zam aku bisa dapetin uang begitu banyak sedangkan waktunya terakhir besok!” Ucap Anisa dengan kebingungan yang luar biasa.
“Hmm... gini aja Nis, Alhamdulillah Aku masih ada tabungan. Kamu minjem sama Aku aja dulu buat daftar ulang besok!” Ucap Azam dengan penuh iba melihat Anisa.
“Beneran Zam? Tapi kamu nggak takut apa kalo Aku nggak balikin uang kamu?” Tanya Anisa
“Itu sih urusan kamu sama yang di atas, tapi aku percaya kok sama kamu kalo kamu orangnya bisa bertanggung jawab walau kita baru bertemu tadi pagi” Ucap Azam dengan penuh kebijaksanaan.
“Ya ampu, makasih banyak ya Zam, kamu udah mau bantuin Aku! Sekali lagi terima kasih banyak ya Zam, kamu udah mau bantuin Aku.” Lanjut Nisa
“Iya, sama-sama Nis. Selagi Aku ada dan bisa, Aku pasti akan menolongmu Nis!” Ucap Azam.
“Iya Zam, sekali lagi terima kasih banyak ya Zam kamu udah mau bantuin Aku.” Ucapnya dengan penuh haru.
“Oh ya Nis, Papa ku punya restoran di daerah Bandar Lampung, kalo kamu mau nanti aku ngomong sama papaku biar kamu dapat bekerja di sana.”
“Beneran Zam, ya ampun aku bener-bener butuh banget pekerjaan Zam. Aku harap  Papamu Mau mempekerjakan Aku di sana ya Zam?” Ucap Anisa dengan memelas.
“Iya Nis, Aku nanti usahain ya!!” Jawab Azam.
Aktifitas hari pertama  Nisa masuk kuliah pun berjalan lancar dan berkat bantuan Azam yang berbaik hatimau meminjamkan uang padanya hingga dapat masuk Fakultas Kedokteran. Rasa bahagia pun Ia rasakan saat ini, namun Ia tersadar saat Handphone nya berbunyi.
“Assalamuallaikum Nis!” Ucap Azam
“WallaikumsalamNis! Ada apa?” tanya Nisa.
“Ada kabar gembira Nis, tadi gua udah bilang sama papa gua, dan lo mau tau,? Lo diterima kerja di restoran papa gua Nis. Sealamat ya.”
“Allah huakbar, beneran Zam. Makasih banyak ya Zam, kamu udah baik banget sama Aku.
“Iya, Nis, sama-sama” Jawab Azam
“Nis, kata papaku, besok lo udah bisa mulai kerja. Dan tenang aja lo bisa masuk kerja setelah jam kuliah berakhir, jadi nggak akan ganggu jam kuliah lo Nis.“
“Ya udah, makasih atas infonya ya Zam,”
“Iya Nis, Ya udah Kamu besok siap-siap masuk kerja ya.”
“OK, siap ZamSekali lagi makasih banyak ya Zam, kamu udah banyak banget bantu aku. Maaf ya Aku belum bisa membalas semua kebaikan kamu.” Ucapnya.
“Iya Nisa, ya udah. Assalamualaikum Nis.”
“Walaikumsalam Zam”
Mendengar berita tersebut Anisa pun merasa sangat bahagia, karena yang pertama Ia bisa masuk Fakultas Kedokteran dan yang kedua Ia mendapatkan pekerjaan untuk membiayai kuliahnya sendiri. Dengan sigap Ia memberi kabar gembira tersebut kepada Ayah dan Ibunya.
“Assalamualaikum Bu”
“wallaikumSalam Nak”
“Gimana kabar Ayah dan Ibu di rumah, Anisa kangen banget sama Ayah dan Ibu. Maaf ya Bu, Anisa baru ngasih kabar.” Ucapnya dengan rasa sedih serta rindu.
“Alhamdulillah ibu dan ayah baik-baik saja nak, anisa sndiri bagaimana kabarnya? Baik-baik saja kan nak” tanya ibu nya dengan penuh kerinduan pula.
“Alhamdulillah Anisa juga baik kok bu, ibu dan ayah tidak usah khawatir ya! ” sambung Anisa
“Syukurlah jika kamu baik-baik saja Nak, ibu dan ayah senang mendengarnya!” ucap ibu dengan nada yang mulai terlihat menangis.
“ Kamu kapan pulang Nak ayah dan ibu sudah begitu merindukan mu? Apa kau tak merghindukan ayah dan ibu juga apa?” sambungnya
“Anisa juga begitu merindukan ayah dan ibu, rindu sekali bu! Tapi maaf untuk sekarang Anisa belum bisa pulang kerumah bu!!” ucap Anisa dengan penuh rasa penyesalan.
“Kenapa sayang? ” tanya ibu nya
“Emang Anisa ada urusan apa loh di Bandar Lampung!! kok lama bangett nggak selesai-selesai juga  ” sambung ibu penasaran.
“Aa... aa... anu Bu” jawab Anisa gemetar karena takut Ayah dan Ibunya Khawatir akan Kondisinya.
“Anu apa sayang, kamu baik-baik saja kan? Sebenarnay ada apa, cerita sama Ibu sayang.” Ucap Ibu Fatimah
“Sebenarnya... eee...”
“Tapi sebelum Nisa cerita Ibu janji ya jangan marah atau pun menganggap Nisa tidak menghormati Ayah dan Ibu” sambung nya dengan suara gemetar.
“Iya sayang, tapi sebenarnya ada apa sayang? Jangan buat Ayah dan Ibu khawatir.” Tanya Ibu semakin penasaran.
“Sebenarnya Anisa pergi ke Bandar Lampung itu untuk mendaftar kuliah di Fakultas Kedokteran, ternyata Anisa lolos seleksi dan di terima di Universitas ini.” Ucapnya.
“Kenapa Kamu tidak memberitahu Ibu dan ayah sayang, padahal kamu izin Cuma pergi beberapa hari karena ada urusan, bukan untuk mendaftar kuliah.” Ucap Bu Fatimah dengan nada yang terkejut.
“Maaf Bu.” Ucap Anisa
“Anisa tidak bermaksud untuk berbohong kepada Ibu dan Ayah, Anisa hanya Ingin bisa mewujudkan cita-citaku tanpa harus membebani Ayah dan Ibu. Anisa Mohon Ayah dan Ibu bisa mengerti dan merestui Nisa untuk mewujudkannya” Sambungnya
“La terus sayang bisa memenuhi kebutuhan sayang dan juga biaya kuliah di sana bagaimana, Ayah dan Ibu tidak bisa membantumu Nak?” Tanya Ibu.
“Alhamdulillah Bu, Allah memberikan Jalan. Anisa di sini sudah mendapatkan pekerjaan tetap walau pun hanya bekerja sebagai pelayan di restoran. Tapi insyaallah, ini cukup untuk membiayai kuliah Nisa. Jadi Ayah dan Ibu tidak usah khawatir memikirkan Nisa dan juga biaya kuliah.” Ucapnya meyakinkan Ibunya.
“Ya udah, jika memang Nisa mampu dan Itu yang terbaik untuk Nisa, Ibu dan Ayah hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk Nisa.” Jawab Ibu dengan bijaksana.
“Terima kasih Ibu ku tersayang. Insyaallah Nisa akan baik-baik saja dan Nisa janji akan mewujudkan cita-cita Nisa serta membuat Ayah dan Ibu bahagia dan bangga terhadap Nisa.”
“Iya sayang!” jawab Ibu Fatimah.
Percakapan mereka pun berakhir ketika Adzan Maghrib berkumandang yang menandakan waktunya sholat maghrib telah tiba.
***





EMPAT
Empat tahun telah berlalu, Semua rasa telah dirasakan Anisa dalam menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswi di Fakultas Kedokteran. Dan satu yang membuat Anisa tetap tegar dalam menjalaninya, semua itu karena ada sosok Azam yang selalu menemani dan membantunya dikala susah maupun senang. Dia lah sosok lelaki yang selalu berusaha membuat Anisa tersenyum hingga membuat Anisa lebih bersemangat untuk menggapai cita-citanya. Dan selama itu pula Azam memendam perasaan cinta kepada Anisa, begitu pun Anisa yang juga menaruh hati kepada Azam. Namun Anisa masih teringat akan janjinya kepada Ayah dan Ibunya dahulu untuk tidak berpacaran sebelum Ia bisa mewujudkan cita-citanya. Namun kebersamaan keduanya lah yang menjadikan Azam tak sanggup lagi untuk memendam perasaan cinta itu.
Pada suatu ketika Azam mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Anisa.
“Hai Nisa!”
“Hai juga Zam”
“Kamu ngapain Nis di taman ini sendirian?”
“lagi duduk aja kok, pengen nyari udara segar. Kamu sendiri ngapain Zam kesini?”
“Nggak, Aku sengaja nyariin kamu kok!”
“Emang kamu ada perlu apa sama Aku, kangen ya, hayo ngaku...? hehe.”
“Ah kamu ini ada-ada aja. Oh ya aku boleh duduk di samping kamu?”
“Ya udah si santai aja, orang duduk tinggal duduk aja kok. Sini, kita duduk bareng”
Seketika Azam duduk di samping Anisa dan menatapnya dengan penuh keseriusan namun dengan jantung yang berdebar-debar. Ia masih ragu dengan apa yang akan Ia utarakan kepada Anisa, namun karena besarnya rasa cinta yang ia miliki kepada Anisa memaksanya untuk segera jujur tentang perasaannya.
“Anisa...”
“Iya Zam, ada apa?”
“Aku mau ngomong jujur sama kamu.”
“Lah emang selama ini kamu bohong kalo ngomong sama Aku? Hehehe.”
“Bukan begitu, Aku serius Nisa.”
“Iya maaf si. Ya udah deh aku dengerin.”
“Sebenarnya, Aku udah lama suka sama kamu Nis! Tapi aku nggak ada keberanian buat ngomong sama kamu, dan baru sekarang aku berani buat ngomong sama kamu kalo aku cinta kamu Nis!”
Namun Anisa hanya diam seribu bahasa, Tak satu kata pun terucap dari mulut nya karena ia tak tahu apa yang ia rasakan sekarang.
“Dan Sudah sejak lama pula aku memendam perasaan ini sama kamu, Apakah kamu mau menjadi pendamping hidup ku? Menjadi ibu dari anak-anak kita nanti?”
“hmmm.. Terimakasih Zam kamu udah mau jujur sama Aku tentang perasaanmu, dan aku sangat menghargai akan hal itu. Tapi maaf Zam, untuk saat ini Aku belum bisa memberikan jawaban atas pertanyaanmu. Karena Aku pernah berjanji kepada kedua orang tuaku untuk mewujudkan cita-cita ku terlebih dahulu, jika engkau sabar menanti aku akan menjawab pertanyaanmu tepat disaat Aku diwisuda nanti.”
“Jika itu keputusanmu, Insyaallah Aku akan sabar menantinya.”
“Sekali lagi maaf ya Zam? ”
“Iya Nisa, nggak papa kok”
Percakapan antara Anisa dan Azam pun berakhir, tetapi anisa belum memberi kepastiaan kepada Azam tentang perasaannya.
**
Sedih, kecewa, marah, kesal, lelah, letih, bosan dan bahagia itu lah yang Aku rasakan selama 4 tahun aku menimba ilmu di Fakulkas Kedokteran. Banyak ilmu yang telah ku dapatkan selama aku belajar disini, bukan saja ilmu yang aku dapatkan akan tetapi teman, sahabat, dosen dan orang yang menyayangiku dan kini tiba lah  saatnya dimana aku akan memakai baju yang diimpikan oleh semua Mahasiswa selama ini. Yupzz benar sekali, baju toga lah yang aku maksud. Yang dahulu aku hanya dapat bermimpi bisa memakainya, namun sekarang aku akan benar-benar memakai baju tersebut. Alangkah bahagianya diriku dengan gelar yang akan kusandang nntinya.
Dengan segera ia tersadar bahwa ia belum memberi tahu kabar bahagia itu kepada ayah dan ibunya,  dengan sigap Ia meraih handpone yang ada ditasnya yang kemudian Ia memberi kabar kepada ayah dan ibunya.
“Assalamuallaikum Bu.”
“Waallaikumsalam Sayang.”
“Ada apa sayang?”
“Ayah, Ibu,Anisa akan memberi tahu kabar bahagia ini untuk Ayah dan Ibu.”
“Kabar apa itu sayang.? Ibu penasaran nih.!!”
“Alhamdulillah besok Anisa akan diwisuda menjadi seorang dokter yah, bu!!”
“Beneran sayangg”
“Iya bu beneran!!”
“Alhamdulillah sayang ayah dan ibu sangat bahagia sekali mendengarnya!”
“Iya bu. Anisa juga begitu bahagia sekali bu.”
“Oh iya bu, besok Anisa berharap ibu dan ayah berkenan hadir dihari Anisa diwisuda ya yah bu!” sambungnya.
“Iya sayang, Insyaallah besok ayah dan ibu akan hadir dihari wisudamu.”
“Terimakasih ya yah bu!”
“Iya sayanggg!” jawab ibu Fatimah dengan rasa bahagia
“Ya udah, besok jam 07.00 pagi ayah dan ibu akan dijemput sama teman Nisa ya! jadi ibu dan ayah harus tampil cantik dan gagah dihari wisuda nisa ya!”
“Oke!! siap tuan putri!”jawab ibu fatimah dengN penuh semangat.
“Hehehe ibu ini ada-ada aja loh.”
“Ya udah Anisa mau mempersiapkan semuanya untuk besok ya bu!!”
“Iya sayang, ya udah sana gih!”
“Iya bu”
“Ya udah Assalamuallaikum bu”
“Waallaikum sallam sayang”
Percakapan antara Anisa dan Ibunya pun berakhir. Dengan segera Ia pun pergi  kesebuah butik dengan ditemani oleh Azam untuk mencari sebuah kebaya yang akan digunakannya besok dihari wisudanya.
“zam ini bagus nggak?” tanya Anisa kepada Azam untuk mencari kepastian.
“Bagus kok Nis.Eemang dasar orangnya udah cantik ditambah kebaya seperti itu kamu semakin cantik Nis” puji Azam yang membuat muka Anisa merah.
“Hehe bisa aja kamu ini Zam”
Setelah menetapkan pilihan pada kebaya yang berwarna merah muda, Anisa dan Azam pun langsung bergegas pulang ke rumah menyiapkan tenaga untuk besok bersenang ria.
**
Udara segar yang masuk lewat cela-cela kamarku membangunkanku secara perlahan. Rasa malas menghinggapiku, namun dengan segera ku usir rasa itu . Ku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dengan segera ku tunaikan ibadah sholat subuh. Kuselipkan rasa syukur ku atas nikmat dan kebahagian yang telah Allah berikan kepadaku, tak lupa aku berdoa untuk kelancaran kegiatanku hari ini.
Dengan penuh semangat ku persiapkan dengan matang hari ini, hari yang ku ingin-ingingkan pun telah tiba. Kini saatnya aku diwisuda menjadi sarjana muda oleh rektor Universitas tempatku menimba ilmu. dr.Anisa,  itulah sekrang gelar yang ku terima dan yang akan ku pakai.
Prosesi wisuda pun telah berakhir dengan gelar baru yg di trimanya sebagai Dr. Anisa.   Dengan segera Ia berlari menghampiri Ayah dan Ibunya yang telah sedari tadi menunggunya di luar gedung dengan berlinang air mata di pipinya. Anisa pun langsung memeluk Ayah dan Ibunya dengan penuh rasa bahagia yang tak terkira. Air mata kebahagian pun diteteskan oleh pak Yusuf dan bu Fatimah.
“selamat ya sayang untuk kelulusan dan gelar baru mu” ucap bu Fatimah dengan berlinang air mata.
“Ayah dan Ibu ikut bahagia melihat kesusksesanmu sayang.”sambung bu Fatimah.
“I. i. i .ya bu... Terimakasih untuk semuanya. Anisa sangat bahagia memiliki Ayah dan Ibu yang begitu menyayangi Anisa dengan sepenuh hati Ayah dan Ibu!  Berkat doa dan kasih sayang Ayah dan Ibulah yang menjadikan Anisa dapat mewujudkan cita-citaAnisa” ucap Anisa dengan rasa haru.
“Iya sayang. Ibu dan Ayah juga bahagia memiliki putri yang mandiri dan penuh semangat seperti Anisa” ucap bu Fatimah.
“Sayang,Ayah juga ikut bahagia melihat Nisa dapat mewujudkan cita-citamu!”ucap pak Yusuf.
“Iya yah. Terimakasih untuk pengorbanan Ayah kepada keluarga kecil kita.” jawab Anisa.
“Ayah, ibu. Sekarang Anisa bisa mewujudkan cita-citaNisa sebagai Dokter, dan sekarang Anisa persembahkan semua ini untuk Ayah dan Ibu.” ucap Anisa kepada pak Yusuf dan bu Fatimah dengan menyerahkan piagam kelulusan dan gelarnya sebagai Dokter.
Dengan berlinang air mata pak Yusuf, bu Fatimah dan Anisa pun berpelukan dengan penuh kehangatan. Terlihat sinar kebahagiaan dimata malaikatku. Malaikat yang selama ini menjaga dan mencintaiku sepenuh hati, hingga Aku dapat mewujudkan cita-citaku sebagai Dokter. Dia lah Ayahku, pak Yusuf  dan Ibuku, bu Fatimah.Sujud syukurlah yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat yang telah Allah berikan. Terlalu lama kelurga tersebut berpelukan dengan penuh kasih sayang hingga mereka tak sadarkan keberadaan Azam yang sedari tadi melihat adegan yang sangat mengharukan itu terjadi. Dengan perlahan Anisa menghampiri Azam dan langsung memeluknya.
“Zam,terimakasih untuk semuanya. Kamu selalu ada disaat aku membutuhkan mu.” ucap Anisa dengan penuh haru.
“Iya Nis sama-sama. Aku juga senang bisa membantu mu dan karna aku sayang kamu Nis” jawab Azam dengan senyum yang mengembang di bibir manisnya.
“Iya Zam sekali lagi makasih ya Zam!” ucap Anisa.
“Zam...”Sambungnya.
“Iya Nis ada apa?” tanya Azam.
“Kamaren Kamu bilang kalo kamu cinta sama Aku dan Aku berjanji akan menjawab pertanyaanmusesudah Aku diwisuda.” ucap Anisa.
“Iya Nis. Lalu bagaimana jawaban mu Nis? Apakah Kamu mau menjadi pendamping hidupku Nis?” tanya azam mencari kepastian.
“Iya Zam Aku mau menjadi pendamping hidupmu Zam.” jawab Anisa dengan senyum mengembamg di bibir manisnya.
Azam yang mndengar jawaban Anisa yang mau menjadi pendamping hidupnya merasa sangat bahagia. Dengan spontan Ia memeluk Anisa untuk mengungkapkan rasa bahagianya.
Pak Yusuf dan bu Fatimah ikut senang melihat kebahagian Anisa dan Azam. Semakin lengkaplah kebahagiaan Anisa di dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda