SATU
ADAKAH manusia di dunia ini yang tidak
mempunyai cita-cita dalam hidupnya? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan
hati pilu.
“Tidak ada!” Jawabnya sendiri.
Kecuali
manusia yang tak mempunyai tujuan hidup dalam dirinya untuk dapat menjadikan
dirinya terkenang oleh orang-orang dengan cita-cita mulianya. Kupu-kupu ingin
terbang jauh ke ujung dunia dalam kebebasan. Manusia yang di karuniai dengan
akal pasti juga mempunyai keinginan atau cita-cita. Orang miskin mempunyai
cita-cita menjadi orang kaya, bahkan orang yang dianggap bodoh sekalipun yang
keberadaanya tak dihiraukan atau diakui
pun mempunyai cita-cita menjadi orang yang pandai, dikenal dan disukai
banyak orang. Tuhan menciptakan dan menakdirkan semua makhluk yang
diciptakannya untuk mempunyai tujuan hidup dan mampu untuk mewujudkannya dengan
selalu berusaha tanpa kenal akan kata putus asa dalam dirinya.
“Begitu pun dengan diriku” ucap Nisa.
Aku
mempuyai cita-cita yang sangat mulia. Bisa membuat ayah dan ibu tersenyum pun
aku sudah sangat bahagi, apalagi aku sampai bisa mewujudkan cita-citaku menjadi
seorang dokter, pastikan akan sangat membanggakan sekaligus membuat kedua orang
tua ku bahagia.
“Iya!!! Menjadi seorang dokter. Itu lah
cita-citaku.”
“lalu, apakah aku bisa mewujudkannya?”, Ia bertanya pada
dirinya sendiri.
Aku sadar
bahwa aku hanyalah orang biasa, aku adalah anak tunggal yang terlahir dari
pasangan suami istri yang sangat sederhana. Ayahku bernama pak Yusuf yang
bekerja sebagai petani di ladang milik orang kaya di desakuyang berbesar hati
mau mempekerjakan ayahku, sedangkan ibuku hanya membuka warung makan
kecil-kecilan di rumah. Untuk membantu perekonomian keluarga ibu tidak hanya
bekerja menjual makanan namun juga menjadi buruh di sawah, ibuku bagaikan
malaikatku, beliau bernama ibu Fatimah yang selalu merawat keluarga.
Melihat
kehangatan keluarganya malam ini, untuk memberitahu keinginannya pun ia tak
berani, apalagi bila ia sampai meminta izin kepada ayah dan ibunya jika ia
ingin sekali kuliah di Universitas ternama di daerahnya. Biaya yang tak sedikit
yang harus dikeluarkan ayah dan ibunya, ia merasa sama saja mematikan ayah dan
ibunya secara perlahan bila ia benar-benar masuk kuliah di Universitas
tersebut. Ia melihat perekonomian keluarganya yang sangat miris, untuk bisa
makan pun sudah bersyukur. Namun tekadnya sudah bulat sehingga ia memberanikan
diri untuk meminta izin kepada ayah dan ibunya, dengan gemetar dan perasaan
was-was, ia mengungkapkan keinginannya.
“Ayah, Ibu. Apakah Anisa boleh mengungkapkan keinginan
Anisa?”, ucapnya dengan suara gemetar.
“Iya nak, ada apa?. Bilang saja sama ayah dan ibu.” Jawab
ibunya dengan nada tenang.
“Begini bu. Anisa kan sudah lulus dari SMA, kalau boleh Nisa ingin meminta izin untuk
melanjutkan sekolah Keperguruan Tinggi yang ada di Lampung bu. Sudi kiranya
ayah dan ibu mengizinkan Nisa?” ucapnya dengan perasaan was-was dan takut.
“Kalau boleh ubu tahu, Nisa ingin masuk kefakultas apa
sayang?”. Pertanyaan ibu semakin membuat Nisa tak tega untuk mengatakannya,
namun hatinya terus mendorong utunk megatakannya.
“Begini Bu, Nisa dari kecil ingin menjadi seorang dokter dan
Nisa sangat ingin mewujudkan cita-cita Nisa, jadi Nisa ingin masuk fakultas Kedokteran
ya Bu?”
“Sayang.. ” Ucap ibu Fatimah dengan terkejut dan menatap
kedua bola mata anak kesayangannya. “apa kamu tidak salah ngomong, kamu tahu
kan itu Universitas ternama di Lampung, apalagi kamu ingin masuk fakultas
Kedokteran, ayah dan ibu tidak sanggup nak, itu terasa berat untuk ayah dan
ibu!” Sambung bu Fatimah dengan nada meyakinkan anaknya.
Anisa pun
membalas tatapan ayanh dan ibunya secara bergantian untuk meyakinkan kedua
orang tuanya atas ucapannya.
“Iya Bu, Yah!! Nisa ingin sekali bisa masuk Universitas ternama
itu. Izinkan Nisa ya Yah, Bu?” Ucapnya dengan penuh harap.
“Nisa. Putri ayah dan Ibu” Ucap bu Fatimah.
“Ayah dan Ibu sangat bangga dan akan bahagia jika Nisa bisa
melanjutkan pendidikan untuk mewujudkan cita-cita Nisa, tapi ...” Sambung bu
Fatimah dengan memotong pembicaraan yang menjadikan Anisa bertanya-tanya.
“Tapi apa Bu?” tanya Anisa kepada ibunya.
“Tapi Ayah dan Ibu minta maaf ya sayang, Ayah dan Ibu tidak
bisa membiayai kuliahmu. Ayah dan Ibu sudah tidak mampu.” Ucap bu Fatimah
dengan penuh penyesalan.
“Tapi Yah, Bu! Nisa ingin sekali mewujudkan cita-cita Nisa.”
Ucap Nisa.
“Nisa sayang, Nisa tahu sendiri bagaimana keadaan ekonomi
keluarga kita sayang? Untuk membiayai kehidupan kita sehari-hari saja sudah
susah apalagi jika ditambah dengan membiayai kuliah kamu sayang. Jadi Ayah dan Ibu
berharap kamu bisa mengerti keadaan keluarga kita sayang.” Lanjut Ibunya dengan
memberikan pengertian kepada Anisa.
Mendengar
jawaban ayah dan Ibunya, bahwa kedua orang tuanya tidak dapat membiayai ia
untuk masuk ke Universitas tersebut, dan berharap bahwa Anisa dapat mengerti
keadaan keluarganya. Air mata yang sedari tadi dibendung oleh Nisa kini
bercucuran membanjiri pipinya, ia tak dapat menahan rasa sedihnya. Padahal ia
berharap ayah dan Ibunya mau membiayai sekolahnya. Namun apa mau dikata,
perekonomian keluarganya masih sangat sulit, untuk makan sehari-hari pun ayah
dan ibunya harus bekerja keras, apalagi jika Nisa melanjutkan pendidikannya di
salah satu Universitas ternama di Lampung yang pastinya membutuhkan biaya yang
tak sedikit jumlahnya. Mungkin Ayah dan Ibunya harus bekerja lebih keras untuk
dapat mencari biaya sekolahnya.
Dengan
sesegukan dan air mata yang masih menetes, Nisa pun kembali menanyakan
kejelasan Ayah dan Ibunya.
“A..a..yah, I..i..bu, Anisa benar-benar ingin bisa masuk ke
Universitas itu Ibu, Nisa ingin sekali bisa mewujudkan cita-cita Nisa Bu,
menjadi seorang dokter. Bukankah dulu ayah dan Ibu pernah berpesan sewaktu Nisa
kecil, agar Nisa harus mengejar dan mewujudkan apa yang dicita-citakan Nisa?”
Seru Nisa dengan menyalahkan Ayah dan Ibunya.
Kemudian ia
mengenang kembali bagaimana ketika ia masih kecil saat Ayah dan Ibunya bertanya
tentang cita-citanya saat sudah besar nanti.
“sayang..” ucap Ibunya denga nada lemah lembut.
“iya Ibu, ada apa?” jawab anisa dengan manja kepada Ibunya.
“ibu boleh bertanya kepadamu?” Ucap Ibu Fatimah.
”Iya Ibu, boleh. Ibu mau bertanya apa padaNisa?” jawab Anisa
dengan nada hormat.
”Anisa kalau sudah besar nanti mau jadi apa?” ucap Ibu
Fatimah.
Mendengar
pertanyaan yang terucap oleh Ibunya Anisa pun memperlihatkan wajah kebingungan,
sebab ia belum memikirkan tentang cita-cita yang ingin diraihnya. Anisa yang
saat itu masih menjadi gadis kecil kesayangan Ayah dan Ibunya belum mempunyai
angan-angan akan cita-cita, karena Anisa merasa bahwa saat itu kasih sayang dan
cinta dari kedua orang tuanya sudah sangat cukup membuatnya bahagia.
Dengan
wajah polos dan diselimuti rasa kebingungan ia pun memandang wajah ibu Fatimah
dan menjawab pertanyaan nya.
“Nisa belum memikirkan tentang cita-cita ku Bu, Nisa sudah
merasa cukup dengan kasih sayang yang selalu diberikan Ayah dan Ibu utuk ku”
Jawabnya dengan tegas.
“Tidak boleh seperti itu anakku.” Ucap pak Yusuf ayahnya
sambil mendekati Anisa dan bu Fatimah. Pak Yusuf memberikan penjelasan dengan
bijaksana kepada putrinya yang sedang merasa kebingungan dengan pertanyaan yang
diajukan oleh Ibunya.
“Anisa putri kesayangan Ayah dan Ibu tidak boleh seperti itu,
Nisa harus mempuyai cita-cita untuk masa depan adek nanti, bukankah adek nanti
akan tumbuh menjadi seorang remaja dan dewasa. Karena tidak selamanya adek akan
selalu bersama Ayah dan Ibu .” Jelas pak Yusuf.
Mendengar
perkataan Ayahnya, Anisa pun langsung
menatap Ayahnya.
“Jadi Ayah dan Ibu tidak mau menjaga dan menyayangi Nisa lagi
jika Nisa nanti tumbuh remanja dan menjadi orang dewasa? Ayah dan Ibu tidak mau
Nisa selamanya ada di samping Ayah dan Ibu lagi? Ayah dan Ibu jahat...!!!” Ucap
anisa dengan nad marah.
Hingga tak
terasa air matanya menetes, ia menganggap bahwa kedua oran tuanya tak akan
selamnya menyayanginya. Tiba-tiba bu bFatimah memeluk Anisa dan menghapus air
mata yang keluar dari mata indah putri kecilnya.
“Maksud Ayah tidak seperti itu sayang.” Ucap Ibunya.
“Lalu apa Bu?” tanya Anisa.
“Ayah dan Ibu ingin Adek mempunyai cita-cita yang mulia
sebagai tujuan hidup adek. Semua orang pasti mempunyai cita-cita sebagai tujuan
hidupnya sayang. Termasuk Ayah dan Ibu dulu ketika seusiamu, Ibu bercita-cita
ingin menjadi seorang perawat, namun karena keterbatasan biaya yang saat itu
dialami kedua orang tua Ibu, akhirnya urung terwujud. Ibu mengerti keadaan
kedua orang tua Ibu sehingga ibu mengubur cita-cita Ibu untuk menjaaadi seorang
perawat. Maka dari itu, Ayah dan Ibu ingin tahu kamu mempunyai cita-cita ingin
menjadi apa, agar Ayah dan Ibu berusaha untuk dapat mewujudkan cita-cita Adek.”
Mendengar
cerita Ibunya, ia merasa senang karena ternyata Ayah dan Ibunya selalu
memikirkan masa depannya.
“Ayah, Ibu! Maafkan Nisa karena sudah menilai buruk tentang
Ayah dan Ibu?” Ucapnya dengan nada memelas.
“Iya putriku sayang, Ayah dan Ibu sudah memaafkan Adek,
bahkan sebelum Adek minta maaf sama Ayah dan Ibu!” Jawab pak Yusuf.
“Makasih ya Ayah, Ibu. O iya kemarin sewaktu Nisa kerumah
sakit menjenguk Nenek, Nisa melihat dokter yang cantik dan baik sekali sedang
memeriksa keadaan enek.” sambung Nisa
Setelah ia
mengingat kejadian tersebut, Ia merasa ingin menjadi ibu Dokter seperti ibu
Dokter yang merawat Nenek, lalu Ia mengungkapkan keinginannya.
“oh.. Jadi kemaren Adek melihat saat Nenek diperiksa oleh ibu
Dokter yang baik itu ya?” Ucap Ayahnya.
“Iya Yah, bu Dokter itu hebat sekali ya Yah, bisa
menyembuhkan orang sakit.” Jawab Anisa dengan penuh rasa ingin tahu nya.
“Sayang, pekerjaan seorang Dokter memang menyembuhkan orang
yang sedang sakit.” Ucap bu Fatimah menjelaskan kepada Anisa.
“Oh jadi begitu ya Bu?” jelas Nisa.
“Ayah, Ibu!” sambung Nisa.
“Iya sayang, ada apa?” Tanya Ibu dengan penuh kasih sayang.
“Nisa ingin menjadi seorang Dokter ya Yah, Bu! Nisa Ingin mewujudkan
cita-cita Nisa agar dapat menyembuhkan Ayah dan Ibu dikala sedang sakit, karena
Nisa tidak mau Ayah dan Ibu sakit!” Ucapnya dengan nada penuh harap.
Mendengar
perkataan dari putri kecilnya, bu Fatimah dan pak Yusuf merasa terharu
sekaligus senang. Putri kecil yang mereka bangga-banggakan mempunyai cita-cita
yang mulia, bahkan putrinya sangat menyayangi kedua orang tuanya.
“Subhanallah... Cita-cita kamu begitu mulia sayang.” Ucap
Ibunya.
“iya Ibu, do’akan semoga Nisa dapat mewujudkan cita-cita Nisa
menjadi seorang Dokterya Bu, Yah?” Ucap Anisa.
“Ayah dan Ibu akan selalu mendo’akan yang terbaik untukmu
sayang.” Ucap bu Fatimah.
“Anisa putri Ayah! Ayah dan Ibu berpesan padamu ya sayang.
Nisa harus dapat mewujudkan cita-cita Nisa, walaupun nanti pasti akan ada
halangan dan rintangan yang menghadang Nisa ketika akan mewujudkan cita-cita,
namun Nisa tidak boleh putus asa. Nisa harus semangat ya sayang, Ayah dan Ibu
akan selalu berada di sampingmu untuk menyemangatimu. Dan satu lagi Nisa...”
Ucap Ayahya.
“Satu lagi apa Yah?” tanya Anisa dengan bingung.
Sambil
memegang hidung Anisa pak Yusuf berpesan
“Sebelum Adek lulus kuliah, Adek tidak boleh pacaran dulu!”
jawab Ayah dengan tersenyum.
“OK Ayah...” Jawab Anisa.
“Nisa nanti kalau udah besar tidak mau pacaran dulu sebelum
bisa mewujudkan cita-cita Nisa menjadi seorang Dokter! Ayah, Ibu!” Sambil
memegang tangan Ayah dan Ibunya erat-erat.
“Nisa berjanji pada diri Nisa sendiri juga pada Ayah dan Ibu,
kalau Aku akan mewujudkan cita-cita Nisa. Nisa akan membuat Ayah dan Ibu bangga
terhadap putrimu ini.” Ucap Nisa dengan penuh keyakinan.
“Aamiin... sayang. Ayah dan Ibu Akan selalu mendo’akan supaya
Nisa dapat mewujudkannya.”Ucap bu Fatimah.
Setelah
Teringat akan peristiwa saat itu segera bu Fatimah merangkul putri tercintanya
lalu mencium keningnya, dengan perasaan sedih yang mendalam. Dihapuslah air
mata yang membasahi pipi Anisa oleh Ibunya.
“Sayang
memang benar dulu Ayah dan Ibu pernah berpesan kepadamu agar bisa mewujudkan
cita-cita Nisa, namun Ayah dan Ibu tidak bisa mewujudkan cita-cita Nisa. Ayah
dan Ibu minta maaf karena sekarang kami belum bisa membantumu mewujudkan
cita-cita kamu sayang..., perekonomian kita sulit sayang, Ayah dan Ibu mohon
agar kamu bisa mengerti keadaan keluarga kita sayang.”
Dengan
segera Anisa melepaskan pelukan Ibunya yang kemudian menatap wajah Ayah dan
Ibunya secara bergantian.
“Tapi Bu, Yah...!!” Ucap Anisa.
“Maafkan Ibu dan Ayah sayang, kami tak bisa mewujudkan
cita-citamu.” Ucap Ibunya dengan menyesal.
Taarrrrr....
Bagaikan petir yang menyambar dirinya, hatinya hancur berkeping-keping serasa
ia langsung kehilangan semangat untuk hidup. Bagaimana tidak? Cita-cita yang ia
impikan selama ini harus terkubur dalam-dalam. Padahal dari kecil hingga
sekarang Ia selalu membayangkan dapat menjadi seorang Dokter yang dapat
menyembuhkan pasiennya. Tapi apa mau dikata, keadaan keluargalah yang yang
menjadikan cita-citanya harus pupus.
Dengan rasa
sedih yang sangat luar biasa Ia langsung meninggalkan Ayah dan Ibunya, berlari
menuju ke kamarnya.
“Daaarrrrr!!!” Terdengar Nisa membanting pintu kamarnya, bu
Fatimah dengan segera mengejar Nisa, namun terlambat. Nisa sudah masuk kedalam
kemudian mengunci pintu kamarnya hingga bu Fatimah tidak bisa masuk ke kamar Anisa.
“Sayang, Ayah dan Ibu sayang Nisa. Tapi Ayah dan Ibu juga
minta maaf karena tidak bisa mewujudkan cita-citamu. Sekali lagi Ibu dan Ayah
minta maaf, Nisa harus ikhlas menerima semua ini ya sayang?” ucap Ibunya menenangkan
Nisa yang dilanda kesedihan dari balik pintu kamarnya.
Mendengar
tidak ada jawaban dari Anisa, bu Fatimah dengan besar hati meninggalkan Anisa
yang sedang dirundung kesedihan di dalam kamarnya sendirian.
***
DUA
Mentari
yang indah membangunkan dari nyenyaknya tidurku malam ini, doa-doa selalu
kupanjatkan dipagi yang masih gelap ini kepada sang pencipta. Berharap
hari-hariku selalu diselimuti rasa bahagia yang tak terkira. Indahnya menyambut
sang mentari pagi dengan sejuta semangat dan penuh harap yang selalu kutanamkan
dalam diriku.
Oh alangkah
indahnya ciptanmu Tuhan. Hanya bisa mengucapkan pujian atas ciptaanmu yang
menjadikan kekaguman bagi semua makhluk yang menyasikannya, bahkan Aku berharap
akan selalu dapat menyaksikan keindahan ciptaanmu yang maha indah. Aku
bersyukur hari ini Aku masih diberi kesempatan untuk menikmatinya. Dengan
segenggam semangat dipagi hari, ku langkahkan kaki ke sekolah tercinta ku.
Kulihat kebersamaan dan semangat teman-temanku menunggu suatu kado teristimewa
yang akan kami terima hari ini, iya! Hari ini adalah hari dimana kami akan
mendapatkan kado teristimewa. Dag dig dug, itulah yang Aku rasakan tak sabar rasanya mendengar
pengumuman kelulusan itu. Kini tiba saatnya aku membaca surat yang diberikan
oleh guruku.
“Nama : Anisa Sabila
Putri, Kelas : 3 IPA I, dinyatakan LULUS.”
Membaca
surat keputusan itu, Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, sujud syukur
kupersembahkan kepada Allah SWT, atas nikmat dan karunianya lah Aku bisa
mendapatkan kebahagian luar biasa. Bagaiaman aku tidak bahagia? Perjuanganku
selama 3 tahun di sekolah tercintaku membuahkan hasil yang manis, tidak hanya
dinyatakan lulus namun Aku dianugrahkan dari sekolahku sebagai siswi dengan
predikat terbaik. Semakin bertambahlah kebahagianku.
“Tak sabar rasanya untukuk memberi kabar baik ini kepada Ayah
dan Ibu ku di rumah. Hmmm, pasti mereka akan merasa bangga terhadapku” Ucapnya
dengan penuh semangat.
Dengan
sangat tergesa-gesa Ia berlari menggenggam piagam penghargaan dan juga tanda
kelulusannya, yang Ia rasakan bukanlah lelah karena berlari. Namun, Rasa
bahagialah yang menggebu-gebu pada dirinya, tak sabar menghampiri Ayah dan
Ibunya yang saat itu sedang berbincang-bincang di depan rumah. Namun, Ayah dan
Ibunya merasa heran sekaligus khawatir dengan putrinya yang dilihat dari jauh
terasa ada yang berbeda, namun Ia tak menghiraukan tatapan aneh yang dipasang
Ayah dan Ibunya, dengan segera Ia memeluk Ayah dan Ibunya dengan erat.
“Ada apa Nisa? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu berlari
tergesa-gesa seperti ini?” Tanya Ibu sambil menenangkan Anisa.
“Ibu, Ayah, Nisa punya kabar bahagia! Anisa dinyatakan lulus
Yah, Bu!” Ujarnya sambil memandang Ayah dan Ibunya.
“Alhamdulillah sayang, Ibu dan Ayah bahagia mendengarnya.”
Ucap Ayah dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak hanya itu saja Yah, Nisa diberikan pengharggan sebagai
siswi terpandai di sekolah Nisa.” Ujar Anisa dengan penuh rasa bangga
menggenggam tangan Ayah dan Ibunya.
“Selamat ya Sayang atas kelulusannya, Ibu dan Ayah turut
bahagia mendengarkannya.” Ucap ibu Fatimah dengan mata berkaca-kaca.
Sebagai
ungkapan rasa syukur, pak Yusuf, bu Fatimah dan Anisa pun bergegas mengambil
air wudhu, kemudian melaksanakan ibadah sholat sunah. Memanjatkan do’a sekaligus
bersyukur mengucapkan rasa syukurnya kepada sang maha pencipta.
**
Kriiing...kriiing,
jam weker kelinciku menjerit-jerit memecah kesunyian pagi. Aku mengerang sambil
membalikan badan, tanganku meraba-raba ditengah kegelapan mencari benda berisik
itu, sudah kutemukan. Kupencet hidung merahnya menyuruhnya segera diam. Sesaat
aku teringat akan kebahagiaan yang kudapatkan kemarin siang. Segera kutengok
wekerku yang sudah menunjukan pukul 05.00 pagi.
Dengan
segera kulemparkan selimutku dengan bergegas kekamar mandi untuk
segeramengambil air wudhu dan segera kembali ke kamarku untuk melakukan
kewawjiban sebagai hamba Allah yaitu sholat subuh, dalam sholatku kuselipkan
ucapan rasa syukur atas nikmat dan kebahagiaan yang tercurah kepadaku, hingga
tak terasa air mataku menetes membasahi pipi ini.
Dari
jendela kamar, berkas-berkas cahaya sinar mentari pagi berkilau emas menembus
masuk kedalam kamarku, dengan penuh semangat kulangkahkan kaki ku keluar dari
kamar tercintaku. Pandangku kuarahkan keseluruh ruangan untuk mencari
keberadaan Ayah dan Ibuku, kemudian pandanganku terarah ke suatu sudut ruangan
di mana Ayah dan Ibu berada, dengan penuh semangat Aku hampiri Beliu berdua.
“Selamat pagi ayah, selamat pagi Ibu!” Anisa membuka
percakapan dan suasana pagi pun menjadi lebih bersemangat seketika itu juga.
“Pagi juga sayang, kamu sudah bangun toh?” sahut Ibu dengan
nada bertanya sambil mencium kening anak kesayangannya, dan pak Yusuf hanya
tersenyum manis menyaksikan semangat anaknya dipagi itu.
“Udah dong Bu, Nisa sudah bangun dari tadi subuh kok Bu! Oh
ya Bu, Bolehkah Nisa mengutarakan keinginan Nisa pada Ayah dan Ibu?” Ujarku
sambil menatap wajah Ayah dan Ibu.
“Iya sayang, tentu saja boleh. Memangnya Nisa mempunyai
keinginan apa?” Ujar Ibunya dengan nada lembut.
Namun
seketika Ia tak berani untuk mengungkapkan keinginannya tersebut,
dipandangnya lagi wajah kedua orang
tuanya dengan lekat-lekat, Ia melihat gurata-guratan rasa lelah dari mata
keduanya.
“Apakah Aku sanggup menyampaikan keinginanku? Apakah aku
sanggup melihat Ayah dan Ibuku bekerja lebih keras lagi? Apakah aku sanggup mendengar
jawaban apa yang akan terlontar dari keduanya setelah Aku mengutarakan
keinginanku?” Ia bertanya pada dirinya denga hati pilu. Namun Ia tetap
membulatkan tekadnya untuk berani menyampaikan keinginannya untuk dapat masuk
kesalah satu Universitas Negeri ternama di Lampung. Dengan rasa gemetar Ia
beranikan diri untuk menyampaikan keinginnya kepada Ayah dan Ibuya.
“Ayah, Ibu. Nisa ingin minta izin kepada ayah dan ibu, Nisa
ingin melanjutkan sekolah kesalah satu Universitas yang ada di Lampung! Nisa
ingin mewujudkan cita-cita Nisa. Nisa tahu ini berat bagi ayah dan Ibu, tapi
Nisa ingin sekali mewujudkan cita-cita Nisa menjadi seorang Dokter. Tolong
izinkan Nisa ya Yah, Bu!” Ucapnya dengan suara gemetardan mata berkaca-kaca
mencari kepastian dari Ayah dan Ibunya.
“Nisa, Ibu dan Ayah bukannya melarangmu untuk dapat
mewujudkan cita-citamu, tapi Nisa kan sudah tahu bagaimana keadaan ekonomi
keluarga kita. Ayahmu hanya bekerja sebagai buruh tani, sedangkan Ibu hanya
berjualan makanan. penghasilan Ayah dan Ibu hanya cukup” bu Fatimah dengan jiwa
keibuannya memeluk Anisa dan memberi penjelasan kepadanya.
Mendengarkan
jawaban dari Ibunya Anisa sudah memahami dan mengerti akan arah pembincaraan
selanjutnya, namun Anisa lebih memilih diam dan tak melanjutkannya.
***
TIGA
Kriiing...kriiing...!!!
Seperti biasanya jam weker kelinci kesayangan Anisa berbunyi tepat pukul 05.00
pagi dan membangunkan nyenyak tidurnya. Dengan rasa malas yang menyelimuti, Ia
berjalan ke kamar mandi dengan mata masih setengah tertutup.
Duggg... “Awww!!!” Jerit Nisa merasakan sakit di kepalanya.
Seketika itu juga Ia membuka matanya lebar-lebar, ternyata kepalanya menabarak
tembok yang ada di depannya.
“aduh sialan ini tembok, kepala ku jadi benjol begini” ucap
ku dengan nada kesal.
Dengan
segera Ia kembali berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dengan
tetap memegangi kepalanya yang benjol.
Hari ini
Aku harus semangat, semangat mewujudkan cita-citaku, walau pun Ayah dan Ibu
tidak mengizinkan untuk kesalah satu Universitas ternama di Lampung. Namun Aku
harus tetap semangat, apa pun caranya akan aku lakukan demi mewujudkan
cita-citaku, sekalipun Aku harus merendahkan gengsiku. Jika ada niat pasti
semua bisa dicapai asalkan aku berusaha sungguh-sungguh. Aku tidak boleh
mengatakan aku tidak bisa, sebelum aku mencobanya. Pasti nanti jika Aku sudah
mencobanya Aku pasti bisa.
Dengan
penuh semangat Ia pun bergegas menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk
mendaftar di Universitas impiannya itu. Hanya dengan bermodalkan uang seadanya
Ia memberanikan diri mendaftar di Unuversitas yang ada di Lampung tanpa
sepengetahuan kedua orang tuanya. Ia mengendap-endap pergi dari rumah menuju
tempat pendaftaran yang bisa dibilang jaraknya jauh dari kediaman orang tuanya.
Selang lima
hari berlalu Ia mendapatkan kabar bahwa Ia diterima di Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Alangkah bahagianya Ia ketika mengetahui berita tersebut.
Sujud syukur langsung Ia lakukan, bagaikan kejatuhan ribuan mawar cantik dari
langit yang memberikan keindahan dalam hidupnya. Alangkah beruntungnya Ia bisa
diterima di Universitas tersebut, walu kedua orang tuanya tidak merestui. Dengan
tekad yang bulat Ia langkahkan kakinya untuk mewujudkan cita-citanya yang sudah
di depan mata untuk dapat diraihnya.
Oh Tuhan
terima kasih untuk segala kebahagiaan yang telah engkau berikan kepada hamba mu
ini, tiada henti Aku mengumandangkan pujian agung untukmu Tuhan, aku bagaikan
wanita yangpaling beruntung diantara berbagai wanita yang hanya bisa
menghabiskan waktunya untuk bekerja serabutan, tapi aku beruntung masih bisa
melanjutkan sekolah dan meraih cita-citaku sebagai seorang dokter nantinya, bisa
menyembuhkan pasien-pasienku yang membutuhkan bantuanku itulah keinginanku. Oh
Aku bagaikan malaikat yang akan dicari-cari semua orang yang membutuhkan Aku,
Bu Dokter Anisa, nantilah gelar ku.
Namun Ia
langsung terbangun dari lamunan manisnya tersebut, Ia teringat tentang ucapan
ayah dan Ibunya jika Ayah dan Ibunya tidak mampu membiayai sekolahnya, dengan
rasa kebimbangannya Ia memutar otak apakah Ia tetap membulatkan tekad untuk
tetap mewujudkan cita-citanya? Apakah Ia akan melepaskan cita-citanya yang selama
ini Ia inginkan! Pertanyaan itu mengisi penuh fikirannya, merajam-rajam isi
kepalanya, rasa sakit dan bimbang yang Ia rasakan saat ini
”Aku ingin sekali bisa mewujudkan cita-citaku menjadi seorang
Dokter, tapi orang tuaku tak mempunyai biaya, lalu bagaimana Aku bisa memenuhi
biaya Kuliahku?” Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan kebimbangan.
Kemudian ia
meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia pasti bisa untuk mewujudkan cita-cita nya
walaupun tanpa restu orang tua nya. Dengan motivasi yang ada dalam dirinya
muncunlah pemikiran bahwa bagaimanapun caranya Ia harus dapat membiayai
kuliahnya sendiri tanpa bantuan orang tua dan Ia akan membuktikan kepada Ayah
dan Ibunya bahwa Ia bisa mewujudkan cita-citanya.
**
Sinar
mentari pagi yang menyambutku dihari pertama ku membuatku bersemangat untuk
melangkahkan kaki ku di tempat dimana Aku
akan menimba ilmu dan meraih cita-citaku, ini lah Universitas yang Aku
Impikan sejak lama. “Selamat datang kepada Mahasiswa baru Fakultas Kedokteran”,
itu lah kata sambutan yang Aku terima ketika memasuki Fakultas Kedokteran. Rasa
haru sekaligus bangga yang Aku rasakan.
Namun
ketika Ia mengekspresikan rasa bahagianya dengan berputar ria hingga Ia
tersadar saat tubuhnya menabrak tubuh seseorang hingga Ia terjatuh.
“Bruuukkk..!!!”
“Awww...Sakit tauk” Teriaknya kepada orang yang ditabraknya.
Tanpa ada
satu kata pun yang terucap dari mulut lelaki yang ditabraknya, namun ada tangan
yang menjulur kepadanya untuk membantunya berdiri. Dengan rasa kesal Anisa pun
menolak untuk ditolong dengan menepis tangan tersebut. Melihat keangkuhan Anisa
yang tak mau ditolong, lelaki tersebut
melangkahkan kaki beranjak pergi meninggalkannya. Anisa pun tak terima
dan berteriak kepada lelaki tersebut
“woy!!!”
“Kamu ini udah nabrak Aku, bukannya minta maaf malah langsung
pergi!!” Ucapnya dengan nada Amarah.
Namun
lelaki tersebut berpura-pura tak mendengar teriakan Anisa, Anisa yang geram
kemudian mengejar lelaki tersebut. Dengan paksa Ia memberhentikan langkah
lelaki itu dengan berdiri di depannya.
“Kamu tuli apa? Aku tu dari tadi ngomong malah nggak
didengerin sama kamu.”
“Hah? lo ngomong sama
gua?”
“Ya iya lah sama kamu. Emang kira kamu aku ngomong sama
tembok ”
“Oh... Ada apa ya?”
“Hah , kamu masih nanya ada apa?. Kamu sadar nggak, tadi kamu
tuh sudah nabrak Aku sampai jatuh, malah nggak mau minta maaf.”
“Bukannya elo yang nabrak gua, kok malah gua yang harus minta
maaf? Harusnya elo yang minta maaf sama gua! Dan bukanya tadi gua udah berniat
baik nolongin elo, tapi lo nya sendiri nggak mau gua tolongin, ya gua pergi.”
“orang tadi kamu Cuma ngulurin tangan doang, mana tau kamunya
mau nolongin aku.”
“Oh ya udah, gua minta maaf, soalnya tadi gua buru-buru, jadi
gua lupa buat minta maaf.”
“hah Cuma minta maaf aja? Emang kata maaf bisa nyembuhin luka
aku apa” ucapnya dengan menunjukan luka di tangan kanannya yang mengeluarkan
darah.
“Aduh gua bener-bener minta maaf ya, gua nggak tauk. Ya udah
sini gua bersihin luka lukanya biar nggak infeksi.” Ucap lelaki tersebut dengan
perasaan bersalah.
Kemudian mereka
berdua berjalan bersama mencari ruang kesehatan yang ada di Fakultas tersebut.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya mereka pun sampai di ruang kesehatan.
Lelaki tersebut pun dengan sigap mengobati luka di tangan Anisa. Ketika lelaki
itu sedang membersihkan luka Anisa,
“Terima kasih ya..?” ucap Anisa kepada lelaki itu.
“Iya sama-sama” Jawab lelaki tersebut.
“Oh iya, kita belum saling berkenalan, namaku Azam.”
Sambungnya dengan mengulurkan tangan kepada Anisa.
“Anisa” Jawab Anisa dengan singkat sambil tersenyum.
“Oh, Anisa. Nama yang cantik secantik orangnya.”puji Azam
kepada Anisa.
“Hmm, Makasih.” Ucap Anisa.
“lo masuk fakultas apa Nis?” tanya Azam kepada Anisa
“Aku masuk Fakultas kedokteran kok zam. Kamu?” sambung Anisa
“Sama dong, gua juga masuk Fakultas kedokteran kok.” Jawab
Azam.
Namun
seketika Azam teringat bahwa ia ada janji dengan temennya, dengan tergesa-gesa
Ia meninggalkan Anisa di ruang kesehatan.
**
Waktu yang
ditunggu-tunggu disaat hari pertama mulai masuk mata kuliah di ruang II A, matanya
bergantian melihat temansatu kelasnya. Satu persatu di pandangi dan seketika
itu jua tatapannya terhenti saat melihat sosok lelaki yang tadi pagi di
menabraknya di depan gedung Fakultas Kedokteran.
“Oh, Azam! Ternyata kita satu kelas ya?” tanya Anisa tanpa
rasa canggung terhadap Azam.
“Hmmz, Anisa ya?” ucap Azam dengan raut kebingungan.
“Anisa yang gua tabrak tadi pagi ya?” lanjutnya.
“Iya Zam, ini aku, Anisa!” Jawab Anisa sambil tersenyum.
“Ya ampun, jadi kita satu kelas ya? Hmzz... jadi enak donk,
kamu jadi teman pertama ku di kampus ini” lajut Anisa
“hahaha, iya Nis!” ucap Azam.
Dua jam
berlalu mata kuliah pertama pun usai, Anisa dan Azam pun berbincang-bincang di
taman yang ada di kampus.
“Oh ya Nis, rumah kamu di mana?” tanya Azam dengan penuh penasaran.
“hmm, rumahku di Pringsewu Zam, Aku di sini ngekos” jawab
Anisa dengan raut muka sedih.
“Loh, kok raut mukamu sedih seperti itu, kamu ada masalhah
ya?” tanya Azam dengan penuh perhatian.
“Hemm..” jawab Anisa sambil garuk-garuk kepala.
“Ya udah, sini cerita aja sama Aku, kan kita udah jadi teman!
Siapa tau aku bisa bantu kamu. Tapi kalo kamu nggak mau cerita, ya udah nggak
papa. Itu sih terserah kamu!!” Ucap Azam dengan nada ketus sekaligus penasaran.
“Hmmm, begini Zam, Aku lagi banyak masalah. Orang tuaku tak
mengizinkan Aku kuliah di Fakultas Kedokteran ini. Alasannya karena
perekonomian keluarga sangat minim. Ayahku hanya seorang Petan yang menggarap
kebun orang, dan Ibuku bekerja sebagai buruh cuci dan hasil orang tuaku bekerja
hanya cukup untuk makan sehari-hari. Makanya itu, Aku nekat untuk tetap kuliah
di Universitas ini. Aku pengen ngewujudin cita-citaku sebagai seorang Dokter,
dan sekarang Aku bingung bagaiamana Aku bisa mendapatkan uang yang tak sedikit
jumlahnya dalam waktu yang singkat, padahal hari terakhir daftar ulang
mahasiswa baru dan aku bingung banget Zam. Apa aku harus membatalkan niatku
untuk mewujudkan cita-citaku?” Ucapnya dengan nada sedih dan kebingungan.
“Jadi seperti itu ya, saran Aku kamu tidak boleh membatalkan niatmu
untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Nis, kamu tidak boleh mengecewakan kedua
orang tuamu, harusnya kamu dapat membuktikan bahwa kamu wanita yang tangguh,
yang bisa hidup mandiri untuk mewujudkan cita-citamu Nis!” Ucap Azam memotivasi
Anisa.
“Tapi gimana caranya Zam aku bisa dapetin uang begitu banyak
sedangkan waktunya terakhir besok!” Ucap Anisa dengan kebingungan yang luar
biasa.
“Hmm... gini aja Nis, Alhamdulillah Aku masih ada tabungan.
Kamu minjem sama Aku aja dulu buat daftar ulang besok!” Ucap Azam dengan penuh
iba melihat Anisa.
“Beneran Zam? Tapi kamu nggak takut apa kalo Aku nggak
balikin uang kamu?” Tanya Anisa
“Itu sih urusan kamu sama yang di atas, tapi aku percaya kok
sama kamu kalo kamu orangnya bisa bertanggung jawab walau kita baru bertemu
tadi pagi” Ucap Azam dengan penuh kebijaksanaan.
“Ya ampu, makasih banyak ya Zam, kamu udah mau bantuin Aku!
Sekali lagi terima kasih banyak ya Zam, kamu udah mau bantuin Aku.” Lanjut Nisa
“Iya, sama-sama Nis. Selagi Aku ada dan bisa, Aku pasti akan
menolongmu Nis!” Ucap Azam.
“Iya Zam, sekali lagi terima kasih banyak ya Zam kamu udah
mau bantuin Aku.” Ucapnya dengan penuh haru.
“Oh ya Nis, Papa ku punya restoran di daerah Bandar Lampung,
kalo kamu mau nanti aku ngomong sama papaku biar kamu dapat bekerja di sana.”
“Beneran Zam, ya ampun aku bener-bener butuh banget pekerjaan
Zam. Aku harap Papamu Mau mempekerjakan
Aku di sana ya Zam?” Ucap Anisa dengan memelas.
“Iya Nis, Aku nanti usahain ya!!” Jawab Azam.
Aktifitas
hari pertama Nisa masuk kuliah pun
berjalan lancar dan berkat bantuan Azam yang berbaik hatimau meminjamkan uang
padanya hingga dapat masuk Fakultas Kedokteran. Rasa bahagia pun Ia rasakan
saat ini, namun Ia tersadar saat Handphone nya berbunyi.
“Assalamuallaikum Nis!” Ucap Azam
“WallaikumsalamNis! Ada apa?” tanya Nisa.
“Ada kabar gembira Nis, tadi gua udah bilang sama papa gua, dan
lo mau tau,? Lo diterima kerja di restoran papa gua Nis. Sealamat ya.”
“Allah huakbar, beneran Zam. Makasih banyak ya Zam, kamu udah
baik banget sama Aku.
“Iya, Nis, sama-sama” Jawab Azam
“Nis, kata papaku, besok lo udah bisa mulai kerja. Dan tenang
aja lo bisa masuk kerja setelah jam kuliah berakhir, jadi nggak akan ganggu jam
kuliah lo Nis.“
“Ya udah, makasih atas infonya ya Zam,”
“Iya Nis, Ya udah Kamu besok siap-siap masuk kerja ya.”
“OK, siap ZamSekali lagi makasih banyak ya Zam, kamu udah banyak
banget bantu aku. Maaf ya Aku belum bisa membalas semua kebaikan kamu.”
Ucapnya.
“Iya Nisa, ya udah. Assalamualaikum Nis.”
“Walaikumsalam Zam”
Mendengar
berita tersebut Anisa pun merasa sangat bahagia, karena yang pertama Ia bisa
masuk Fakultas Kedokteran dan yang kedua Ia mendapatkan pekerjaan untuk membiayai
kuliahnya sendiri. Dengan sigap Ia memberi kabar gembira tersebut kepada Ayah
dan Ibunya.
“Assalamualaikum Bu”
“wallaikumSalam Nak”
“Gimana kabar Ayah dan Ibu di rumah, Anisa kangen banget sama
Ayah dan Ibu. Maaf ya Bu, Anisa baru ngasih kabar.” Ucapnya dengan rasa sedih
serta rindu.
“Alhamdulillah ibu dan ayah baik-baik saja nak, anisa sndiri
bagaimana kabarnya? Baik-baik saja kan nak” tanya ibu nya dengan penuh
kerinduan pula.
“Alhamdulillah Anisa juga baik kok bu, ibu dan ayah tidak
usah khawatir ya! ” sambung Anisa
“Syukurlah jika kamu baik-baik saja Nak, ibu dan ayah senang
mendengarnya!” ucap ibu dengan nada yang mulai terlihat menangis.
“ Kamu kapan pulang Nak ayah dan ibu sudah begitu merindukan
mu? Apa kau tak merghindukan ayah dan ibu juga apa?” sambungnya
“Anisa juga begitu merindukan ayah dan ibu, rindu sekali bu!
Tapi maaf untuk sekarang Anisa belum bisa pulang kerumah bu!!” ucap Anisa
dengan penuh rasa penyesalan.
“Kenapa sayang? ” tanya ibu nya
“Emang Anisa ada urusan apa loh di Bandar Lampung!! kok lama
bangett nggak selesai-selesai juga ”
sambung ibu penasaran.
“Aa... aa... anu Bu” jawab Anisa gemetar karena takut Ayah
dan Ibunya Khawatir akan Kondisinya.
“Anu apa sayang, kamu baik-baik saja kan? Sebenarnay ada apa,
cerita sama Ibu sayang.” Ucap Ibu Fatimah
“Sebenarnya... eee...”
“Tapi sebelum Nisa cerita Ibu janji ya jangan marah atau pun
menganggap Nisa tidak menghormati Ayah dan Ibu” sambung nya dengan suara
gemetar.
“Iya sayang, tapi sebenarnya ada apa sayang? Jangan buat Ayah
dan Ibu khawatir.” Tanya Ibu semakin penasaran.
“Sebenarnya Anisa pergi ke Bandar Lampung itu untuk mendaftar
kuliah di Fakultas Kedokteran, ternyata Anisa lolos seleksi dan di terima di
Universitas ini.” Ucapnya.
“Kenapa Kamu tidak memberitahu Ibu dan ayah sayang, padahal
kamu izin Cuma pergi beberapa hari karena ada urusan, bukan untuk mendaftar
kuliah.” Ucap Bu Fatimah dengan nada yang terkejut.
“Maaf Bu.” Ucap Anisa
“Anisa tidak bermaksud untuk berbohong kepada Ibu dan Ayah,
Anisa hanya Ingin bisa mewujudkan cita-citaku tanpa harus membebani Ayah dan
Ibu. Anisa Mohon Ayah dan Ibu bisa mengerti dan merestui Nisa untuk
mewujudkannya” Sambungnya
“La terus sayang bisa memenuhi kebutuhan sayang dan juga
biaya kuliah di sana bagaimana, Ayah dan Ibu tidak bisa membantumu Nak?” Tanya
Ibu.
“Alhamdulillah Bu, Allah memberikan Jalan. Anisa di sini
sudah mendapatkan pekerjaan tetap walau pun hanya bekerja sebagai pelayan di
restoran. Tapi insyaallah, ini cukup untuk membiayai kuliah Nisa. Jadi Ayah dan
Ibu tidak usah khawatir memikirkan Nisa dan juga biaya kuliah.” Ucapnya
meyakinkan Ibunya.
“Ya udah, jika memang Nisa mampu dan Itu yang terbaik untuk
Nisa, Ibu dan Ayah hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk Nisa.” Jawab Ibu
dengan bijaksana.
“Terima kasih Ibu ku tersayang. Insyaallah Nisa akan
baik-baik saja dan Nisa janji akan mewujudkan cita-cita Nisa serta membuat Ayah
dan Ibu bahagia dan bangga terhadap Nisa.”
“Iya sayang!” jawab Ibu Fatimah.
Percakapan
mereka pun berakhir ketika Adzan Maghrib berkumandang yang menandakan waktunya
sholat maghrib telah tiba.
***
EMPAT
Empat tahun
telah berlalu, Semua rasa telah dirasakan Anisa dalam menjalani kehidupan
sebagai seorang Mahasiswi di Fakultas Kedokteran. Dan satu yang membuat Anisa
tetap tegar dalam menjalaninya, semua itu karena ada sosok Azam yang selalu
menemani dan membantunya dikala susah maupun senang. Dia lah sosok lelaki yang
selalu berusaha membuat Anisa tersenyum hingga membuat Anisa lebih bersemangat
untuk menggapai cita-citanya. Dan selama itu pula Azam memendam perasaan cinta
kepada Anisa, begitu pun Anisa yang juga menaruh hati kepada Azam. Namun Anisa
masih teringat akan janjinya kepada Ayah dan Ibunya dahulu untuk tidak
berpacaran sebelum Ia bisa mewujudkan cita-citanya. Namun kebersamaan keduanya
lah yang menjadikan Azam tak sanggup lagi untuk memendam perasaan cinta itu.
Pada suatu
ketika Azam mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya kepada
Anisa.
“Hai Nisa!”
“Hai juga Zam”
“Kamu ngapain Nis di taman ini sendirian?”
“lagi duduk aja kok, pengen nyari udara segar. Kamu sendiri
ngapain Zam kesini?”
“Nggak, Aku sengaja nyariin kamu kok!”
“Emang kamu ada perlu apa sama Aku, kangen ya, hayo ngaku...?
hehe.”
“Ah kamu ini ada-ada aja. Oh ya aku boleh duduk di samping
kamu?”
“Ya udah si santai aja, orang duduk tinggal duduk aja kok.
Sini, kita duduk bareng”
Seketika
Azam duduk di samping Anisa dan menatapnya dengan penuh keseriusan namun dengan
jantung yang berdebar-debar. Ia masih ragu dengan apa yang akan Ia utarakan
kepada Anisa, namun karena besarnya rasa cinta yang ia miliki kepada Anisa
memaksanya untuk segera jujur tentang perasaannya.
“Anisa...”
“Iya Zam, ada apa?”
“Aku mau ngomong jujur sama kamu.”
“Lah emang selama ini kamu bohong kalo ngomong sama Aku?
Hehehe.”
“Bukan begitu, Aku serius Nisa.”
“Iya maaf si. Ya udah deh aku dengerin.”
“Sebenarnya, Aku udah lama suka sama kamu Nis! Tapi aku nggak
ada keberanian buat ngomong sama kamu, dan baru sekarang aku berani buat
ngomong sama kamu kalo aku cinta kamu Nis!”
Namun Anisa hanya diam seribu bahasa, Tak satu kata pun
terucap dari mulut nya karena ia tak tahu apa yang ia rasakan sekarang.
“Dan Sudah sejak lama pula aku memendam perasaan ini sama
kamu, Apakah kamu mau menjadi pendamping hidup ku? Menjadi ibu dari anak-anak
kita nanti?”
“hmmm.. Terimakasih Zam kamu udah mau jujur sama Aku tentang
perasaanmu, dan aku sangat menghargai akan hal itu. Tapi maaf Zam, untuk saat
ini Aku belum bisa memberikan jawaban atas pertanyaanmu. Karena Aku pernah
berjanji kepada kedua orang tuaku untuk mewujudkan cita-cita ku terlebih
dahulu, jika engkau sabar menanti aku akan menjawab pertanyaanmu tepat disaat Aku
diwisuda nanti.”
“Jika itu keputusanmu, Insyaallah Aku akan sabar menantinya.”
“Sekali lagi maaf ya Zam? ”
“Iya Nisa, nggak papa kok”
Percakapan
antara Anisa dan Azam pun berakhir, tetapi anisa belum memberi kepastiaan
kepada Azam tentang perasaannya.
**
Sedih,
kecewa, marah, kesal, lelah, letih, bosan dan bahagia itu lah yang Aku rasakan
selama 4 tahun aku menimba ilmu di Fakulkas Kedokteran. Banyak ilmu yang telah
ku dapatkan selama aku belajar disini, bukan saja ilmu yang aku dapatkan akan
tetapi teman, sahabat, dosen dan orang yang menyayangiku dan kini tiba lah saatnya dimana aku akan memakai baju yang
diimpikan oleh semua Mahasiswa selama ini. Yupzz benar sekali, baju toga lah yang
aku maksud. Yang dahulu aku hanya dapat bermimpi bisa memakainya, namun sekarang
aku akan benar-benar memakai baju tersebut. Alangkah bahagianya diriku dengan
gelar yang akan kusandang nntinya.
Dengan
segera ia tersadar bahwa ia belum memberi tahu kabar bahagia itu kepada ayah
dan ibunya, dengan sigap Ia meraih
handpone yang ada ditasnya yang kemudian Ia memberi kabar kepada ayah dan
ibunya.
“Assalamuallaikum Bu.”
“Waallaikumsalam Sayang.”
“Ada apa sayang?”
“Ayah, Ibu,Anisa akan memberi tahu kabar bahagia ini untuk
Ayah dan Ibu.”
“Kabar apa itu sayang.? Ibu penasaran nih.!!”
“Alhamdulillah besok Anisa akan diwisuda menjadi seorang
dokter yah, bu!!”
“Beneran sayangg”
“Iya bu beneran!!”
“Alhamdulillah sayang ayah dan ibu sangat bahagia sekali mendengarnya!”
“Iya bu. Anisa juga begitu bahagia sekali bu.”
“Oh iya bu, besok Anisa berharap ibu dan ayah berkenan hadir
dihari Anisa diwisuda ya yah bu!” sambungnya.
“Iya sayang, Insyaallah besok ayah dan ibu akan hadir dihari
wisudamu.”
“Terimakasih ya yah bu!”
“Iya sayanggg!” jawab ibu Fatimah dengan rasa bahagia
“Ya udah, besok jam 07.00 pagi ayah dan ibu akan dijemput
sama teman Nisa ya! jadi ibu dan ayah harus tampil cantik dan gagah dihari
wisuda nisa ya!”
“Oke!! siap tuan putri!”jawab ibu fatimah dengN penuh
semangat.
“Hehehe ibu ini ada-ada aja loh.”
“Ya udah Anisa mau mempersiapkan semuanya untuk besok ya
bu!!”
“Iya sayang, ya udah sana gih!”
“Iya bu”
“Ya udah Assalamuallaikum bu”
“Waallaikum sallam sayang”
Percakapan
antara Anisa dan Ibunya pun berakhir. Dengan segera Ia pun pergi kesebuah butik dengan ditemani oleh Azam
untuk mencari sebuah kebaya yang akan digunakannya besok dihari wisudanya.
“zam ini bagus nggak?” tanya Anisa kepada Azam untuk mencari
kepastian.
“Bagus kok Nis.Eemang dasar orangnya udah cantik ditambah
kebaya seperti itu kamu semakin cantik Nis” puji Azam yang membuat muka Anisa
merah.
“Hehe bisa aja kamu ini Zam”
Setelah
menetapkan pilihan pada kebaya yang berwarna merah muda, Anisa dan Azam pun
langsung bergegas pulang ke rumah menyiapkan tenaga untuk besok bersenang ria.
**
Udara segar
yang masuk lewat cela-cela kamarku membangunkanku secara perlahan. Rasa malas
menghinggapiku, namun dengan segera ku usir rasa itu . Ku berjalan
menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dengan segera ku tunaikan ibadah
sholat subuh. Kuselipkan rasa syukur ku atas nikmat dan kebahagian yang telah
Allah berikan kepadaku, tak lupa aku berdoa untuk kelancaran kegiatanku hari
ini.
Dengan
penuh semangat ku persiapkan dengan matang hari ini, hari yang ku ingin-ingingkan
pun telah tiba. Kini saatnya aku diwisuda menjadi sarjana muda oleh rektor
Universitas tempatku menimba ilmu. dr.Anisa,
itulah sekrang gelar yang ku terima dan yang akan ku pakai.
Prosesi
wisuda pun telah berakhir dengan gelar baru yg di trimanya sebagai Dr.
Anisa. Dengan segera Ia berlari menghampiri
Ayah dan Ibunya yang telah sedari tadi menunggunya di luar gedung dengan
berlinang air mata di pipinya. Anisa pun langsung memeluk Ayah dan Ibunya
dengan penuh rasa bahagia yang tak terkira. Air mata kebahagian pun diteteskan
oleh pak Yusuf dan bu Fatimah.
“selamat ya
sayang untuk kelulusan dan gelar baru mu” ucap bu Fatimah dengan berlinang air
mata.
“Ayah dan Ibu
ikut bahagia melihat kesusksesanmu sayang.”sambung bu Fatimah.
“I. i. i
.ya bu... Terimakasih untuk semuanya. Anisa sangat bahagia memiliki Ayah dan Ibu
yang begitu menyayangi Anisa dengan sepenuh hati Ayah dan Ibu! Berkat doa dan kasih sayang Ayah dan Ibulah yang
menjadikan Anisa dapat mewujudkan cita-citaAnisa” ucap Anisa dengan rasa haru.
“Iya
sayang. Ibu dan Ayah juga bahagia memiliki putri yang mandiri dan penuh
semangat seperti Anisa” ucap bu Fatimah.
“Sayang,Ayah
juga ikut bahagia melihat Nisa dapat mewujudkan cita-citamu!”ucap pak Yusuf.
“Iya yah. Terimakasih
untuk pengorbanan Ayah kepada keluarga kecil kita.” jawab Anisa.
“Ayah, ibu.
Sekarang Anisa bisa mewujudkan cita-citaNisa sebagai Dokter, dan sekarang Anisa
persembahkan semua ini untuk Ayah dan Ibu.” ucap Anisa kepada pak Yusuf dan bu
Fatimah dengan menyerahkan piagam kelulusan dan gelarnya sebagai Dokter.
Dengan
berlinang air mata pak Yusuf, bu Fatimah dan Anisa pun berpelukan dengan penuh
kehangatan. Terlihat sinar kebahagiaan dimata malaikatku. Malaikat yang selama
ini menjaga dan mencintaiku sepenuh hati, hingga Aku dapat mewujudkan cita-citaku
sebagai Dokter. Dia lah Ayahku, pak Yusuf dan Ibuku, bu Fatimah.Sujud syukurlah yang
kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat yang telah Allah berikan. Terlalu
lama kelurga tersebut berpelukan dengan penuh kasih sayang hingga mereka tak
sadarkan keberadaan Azam yang sedari tadi melihat adegan yang sangat
mengharukan itu terjadi. Dengan perlahan Anisa menghampiri Azam dan langsung
memeluknya.
“Zam,terimakasih
untuk semuanya. Kamu selalu ada disaat aku membutuhkan mu.” ucap Anisa dengan
penuh haru.
“Iya Nis
sama-sama. Aku juga senang bisa membantu mu dan karna aku sayang kamu Nis”
jawab Azam dengan senyum yang mengembang di bibir manisnya.
“Iya Zam sekali
lagi makasih ya Zam!” ucap Anisa.
“Zam...”Sambungnya.
“Iya Nis
ada apa?” tanya Azam.
“Kamaren Kamu
bilang kalo kamu cinta sama Aku dan Aku berjanji akan menjawab pertanyaanmusesudah
Aku diwisuda.” ucap Anisa.
“Iya Nis. Lalu
bagaimana jawaban mu Nis? Apakah Kamu mau menjadi pendamping hidupku Nis?”
tanya azam mencari kepastian.
“Iya Zam Aku
mau menjadi pendamping hidupmu Zam.” jawab Anisa dengan senyum mengembamg di
bibir manisnya.
Azam yang
mndengar jawaban Anisa yang mau menjadi pendamping hidupnya merasa sangat
bahagia. Dengan spontan Ia memeluk Anisa untuk mengungkapkan rasa bahagianya.
Pak Yusuf
dan bu Fatimah ikut senang melihat kebahagian Anisa dan Azam. Semakin
lengkaplah kebahagiaan Anisa di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar