Minggu, 25 Maret 2018

Anologi PBSI


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menjelaskan suatu hal yang baru kita terkadang kesulitan untuk mencari kata yang tepat yang dapat membuat orang yang kita ajak bicara paham akan apa yang sedang kita jelaskan, untuk itu kita perlu padanan kata yang sudah ada untuk membuat sesuatu yang baru itu mudah dipahami. Metode menyamakan satu hal dengan hal yang lain inilah yang disebut dengan analogi.

Jika dalam penyimpulan generalisasi kita bertolak dari sejumlah peristiwa pada penyimpulan, maka pada analogi kita bertolak dari satu atau sejumlah peristiwa menuju kepada satu peristiwa lain yang sejenis.

Apa yang terdapat pada fenomena peristiwa pertama, disimpulkan terdapat juga pada fenomena peristiwa yang lain karena keduanya mempunyai persamaan prinsipal. Berdasarkan persamaan prinsipal pada keduanya itulah maka mereka akan sama pula dalam aspek-aspek lain yang mengikutinya.

B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan arahan dalam pembahasan makalah ini, maka permasalahan yang akan   dibahas dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan analogi?
2.      Apa saja macam-macam analogi?
3.      Bagaimana cara menilai analogi?

C. Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah yaitu untuk mengetahui
1.      Apa itu analogi
2.      Apa saja macam-macam analogi
3.      Bagaimana cara menilai analogi




BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ANALOGI
Dalam penyimpulan generalisasi kita bertolak dari sejumlah peristiwa pada penyimpulan analogi kita bertolak dari satu atau sejumlh peristiwa menuju kepada satu peristiwa lain yang sejenis. Apa yang terdapat pada fenomena peristiwa pertama, disimpulkan terdapat juga pada fenomena peristiwa yang lain karena keduanya mempunyai persamaan prinsipal. Berdasarkan persamaan prinsipal pada keduanya itulah maka mereka akan sama pula dalam aspek-aspek yang mengikutinya.
Analogi kadang-kadang disebut juga analogi induktif yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain; demikian pengertian analogi jika kita hendak memformulasikan dalam suatu batasan. Dengan demikian dalam setiap tindakan penyimpulan analogik terdapat tiga unsur yaitu: peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi,persamaan prinsipal yang menjadi pengikat dan ketiga fenomena yang hendak kita analogikan.
Sebagian besar pengetahuan kita disamping didapat dengan generalisasi didapat dengan penalaran analogi. Jika kita membeli sepasang sepatu (peristiwa) dan kita berkeyakinan bahwa sepatu itu akan enak dan awet dipakai (fenomena yang dianalogikan), karena sepatu yang dulu dibeli di toko yang sama (persamaan prinsip) awet dan enak dipakai maka penyimpulan serupa adalah penalaran analogi. Begitu pula jika kita berkeyakinan bahwa buku yang baru saja kita beli adalah buku yang menarik karena kita pernah membeli buku dari pengarang yang sama yang ternyata menarik.
Contoh lain dari penyimpulan analogik adalah:
Kita mengetahui betapa kemiripan yang terdapat antara bumi yang kita tempati ini dengan planet-planet lain, seperti saturnus, mars, yupiter, venus dan mercurius. Planet-planet ini semuanya mengelilingi matahari sebagaimana bumi, meskipun dalam jarak dan waktu yang berbeda, semuanya meminjam sinar matahari, sebagaimana bumi. Planet-planet itu berputar pada porosnya sebagaimana bumi, sehingga padanya juga berlaku pergantian siang dan malam. Sebagiannya mempunyai bulan yang memberikan sinar manakala matahari tidak muncul dan bulan-bulan ini meminjam sinar matahari sebagaimana bulan pada bumi. Mereka semua sama, merupakan subjek dari hukum gravitasi sebagaimana bumi. Atas dasar persamaan yang sangat dekat antara bumi dan planet-planet tersebut maka kita tidak salah menyimpulkan bahwa kemungkinan besar planet-planet tersebut dihuni oleh berbagai jenis makhluk hidup.
Revolusi industri yang pertama terjadi mengakibatkan tangan manusia menjadi tidak berharga setelah ditemukannya mesin-mesin industri yang memberikan produktivitas jauh lebih tinggi dari tenaga manusia. Para pekerja, tukang-tukang jahit dan tukang kayu yang terdidik harus berjuang untuk dapat hidup, karena para pemilik pabrik lebih suka menggunakan mesin daripada manusia. Kalaupun tenaga manusia digunakan, gaji yang diberikan kepadanya rendah sekali. Pada revolusi industri modern yang bakal terjadi 'mesin-mesin berpikir' dioperasikan secara luas, sehingga terjadi kemungkinan besar otak manusia akan diganti mesin untuk hal-hal yang sederhana dan bersifat rutin. Dengan begitu pikiran manusia tidak akan begitu berharga jika bukan untuk permasalahan-permasalahan yang besar. Berdasarkan kenyataan yang ada pada revolusi industri pertama yang dulu sudah terjadi, dapat disimpulkan bahwa letak para ilmuwan dan administrator yang terdidik akan berjuang untuk hidup sebagaimana dulu para tukang jahit dan tukang kayu.

B. MACAM-MACAM ANALOGI
Macam analogi yang telah kita bicarakan di atas adalah analogi induktif yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsipal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Bentuk argumen ini sebagaimana generalisasi tidak pernah menghasilkan kebenaran mutlak.
Analogi disamping fungsi utamanya sebagai cara berargumentasi, sering benar dipakai dalam bentuk non-argumen, yaitu sebagai penjelas. Analogi sering disebut analogi deklaratif  atau analogi penjelas.
1.         Analogi deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Sejak zaman dahulu analogi deklaratif merupakan cara yang amat bermanfaat untuk menjelaskan masalah yang hendak diterangkan. Para penulis dapat dengan tepat mengemukakan isi hatinya dalam menekankan pengertian sesuatu. Contoh analogi deklaratif adalah:
Ilmu pengetahuan itu dibangun oleh fakta-fakta sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu. Tetapi tidak semua kumpulan pengetahuan itu ilmu, sebagaimana tidak semua tumpukan batu adalah rumah. Otak itu menciptakan pikiran sebagaimana buah ginjal mengeluarkan air seni.
Di sini orang hendak menjelaskan struktur ilmu yang masih asing bagi pendengar dengan struktur rumah yang sudah begitu dikenal. Begitu pula penjelasan tentang hubungan antara pikiran dan otak yang masih samar dijelaskan dengan hubungan antara buah ginjal dan air seni.
Para pejuang wanita memutuskan untuk menguji apakah undang-undang perkawinan itu menguntungkan kedudukan wanita. Ternyata semakin jelas bahwa undang-undang perkawinan itu tidak ubahnya undang-undang perbudakan yang dikatakan sebagai pelindung hak-hak orang-orang hitam; padahal kata 'pelindung hak' tidak ubahnya adalah penindasan terselubung.
Di sini penulis hendak menegaskan bahwa undang-undang perkawinan merupakan penindasan terselubung, sebagaimana undang-undang perbudakan. Orang masih samar bahwa undang-undang perkawinan itu sebenarnya merupakan penindasan. Untuk itu para pejuang wanita (di negara Barat) menegaskan bahwa undang-undang perkawinan itu sama liciknya dengan undang-undang perbudakan yang telah diketahui secara luas bahwa hal itu merupakan penindasan terselubung.
2.         Analogi Argumentasi
Analogi Argumentatif metode yang didasarkan pada kesimpulan bahwa apabila suatu hal mempunyai satu atau lebih ciri yang sama seperti terdapat pada suatu hal lain. Maka ciri-ciri lainnya dari hal yang pertama itu juga dimiliki oleh hal yang kedua tersebut.

Dengan kata lain, analogi jenis ini merupakan analogi yang disusun berdasarkan persamaan principal yang ada pada dua fenomena, kemudia ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama ada juga pada fenomena yang kedua. Analogi argumentatif juga biasa disebut dengan analogi induktif.

Contoh:

Anjing hitam menyalak, mengejar orang dan menggigit.
Anjing coklat menyalak dan mengejar orang.
Walaupun analogi argumentatif tidak pernah dapat dikatakan “valid”, dalam arti  bahwa kesimpulan dari argument-argument itu bersumber pada premis-premisnya dengan keniscayaan analogikal, namun terhadap argument-argument analogikal itu kita dapat menyatakan bahwa argument yang satu lebih meyakinkan ketimbang yang lainnya. Analogi argumentatif dapat dinilai berdasarkan probabilitas tentang sejauh mana argument tersebut mendukung kesimpulannya.

C. CARA MENILAI ANALOGI
Sebagaimana generalisasi, keterpercayaannya tergantung kepada terpenuhi tidaknya alat-alat ukur yang telah kita ketahui, maka demikian pula analogi. Untuk mengukur derajat keterpercayaan sebuah analogi dapat diketahui dengan alat berikut:
Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan. Semakin besar peristiwa sejenis yang dianalogikan, semakin besar pula taraf keterpercayaannya. Apabila pada suatu ketika saya mengirimkan baju saya pada seorang tukang penatu dan ternyata hasilnya tidak memuaskan, maka atas dasar analogi, saya bisa menyarankan kepada kawan saya untuk tidak mengirimkan pakaian kepada tukang penatu tadi. Analogi saya menjadi lebih kuat setelah B kawan saya juga mendapat hasil yang menjengkelkan atas bajunya yang dikirim ke tukang penatu yang sama. Analogi menjadi lebih kuat lagi setelah ternyata C, D, E, F dan G juga mengalami hal serupa.
Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi. Ambillah contoh yang telah kita sebut, yaitu tentang sepatu yang telah kita beli pada sebuah toko. Bahwa sepatu yang baru saja kita beli tentu akan awet dan enak enak dipakai karena sepatu yang dulu dibeli di toko ini juga awet dan enak dipakai. Analogi ini menjadi lebih kuat lagi misalnya diperhitungkan juga persamaan harganya, mereknya, dan bahannya.
Sifat dari analogi yang kita buat. Apabila kita mempunyai mobil dan satu liter bahan bakarnya dapat menempuh 10 km, kemudian kita menyimpulkan bahwa mobil B yang sama dengan mobil kita akan bisa menempuh jarak 10 km tiap satu liternya, maka analogi demikian cukup kuat. Analogi ini akan lebih kuat jika kita mengatakan bahwa mobil B akan menempuh 8 km setiap liter bahan bakarnya, dan menjadi lemah jika kita mengatakan bahwa mobil B akan menempuh 15 km setiap liter bahan bakarnya. Jadi semakin rendah taksiran yang kita analogikan semakin kuat analogi itu.
Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak pertimbangan atas unsur-unsurnya yang berbeda semakin kuat keterpercayaan analoginya. Konklusi yang kita ambil bahwa Zaini pendatang baru di Universitas X akan menjadi sarjana yang ulung karena beberapa tamatan dari universitas tersebut juga merupakan sarjana ulung. Analogi ini menjadi lebih kuat jika kita mempertimbangkan juga perbedaan yang ada pada para lulusan sebelumnya. A, B, C, D dan E yang mempunyai latar belakang yang berbeda dalam ekonomi, pendidikan SLTA, daerah, agama, pekerjaan orang tua toh kesemuanya adalah sarjana yang ulung.
Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan. Bila tidak relevan sudah barang tentu analoginya tidak kuat dan bahkan bisa gagal. Bila kita menyimpulkan bahwa mobil yang baru kita beli setiap liter bahan bakarnya akan menempuh 15 km berdasarkan analogi mobil B yang sama modelnya serta jumlah jendela dan tahun produksinya sama dengan mobil yang kita beli ternyata dapat menempuh 15 km setiap liter bahan bakarnya, maka analogi serupa adalah analogi yang tidak relevan. Seharusnya untuk menyimpulkan demikian harus didasarkan atas unsur-unsur yang relevan yaitu banyaknya slinder, kekuatan daya tariknya serta berat dari bodinya.
Analogi yang mendasarkan pada suatu hal yang relevan jauh lebih kuat daripada analogi yang mendasarkan pada selusin persamaan yang tidak relevan. Penyimpulan seorang dokter bahwa untuk mengobati tuan B adalah sebagaimana yang telah dilakukan terhadap tuan C karena keduanya menderita tanda-tanda terserang penyakit yang sama dan karena jenis darahnya sama, jauh lebih banyak tetapi tidak relevan, misalnya karena umumnya, bintang kelahirannya, latar belakang pendidikannya, warna kulitnya, jumlah anaknya dan kesukaannya.
Analogi yang relevan biasanya terdapat pada peristiwa yang mempunyai hubungan kasual. Meskipun hanya mendasarkan pada satu atau dua persamaan, analogi ini cukup terpercaya kebenarannya. Kita mengetahui bahwa sambungan rel kereta api dibuat tidak rapat untuk menjaga kemungkinan mengembangnya bila kena panas, rel tetap pada posisinya, maka kita akan mendapat kemantapan yang kuat bahwa rangka rumah yang kita buat dari besi juga akan terlepas dari bahaya melengkung bila kena panas, karena kita telah menyuruh tukang untuk memberikan jarak pada tiap sambungannya. Di sini kita hanya mendasarkan pada satu hubungan kausal bahwa karena besi memuai bila kena panas, maka jarak yang dibuat antara dua sambungan besi akan menghindarkan bangunan dari bahaya melengkung. Namun begitu analogi yang bersifat kausal memberikan keterpercayaan yang kokoh.

D. ANALOGI YANG PINCANG
Meskipun analogi merupakan corak penalaran yang populer, namun tidak semua penalaran analogi merupakan penalaran induktif yang benar. Ada masalah yang tidak memenuhi syarat atau tidak dapat diterima, meskipun sepintas sulit bagi kita menunjukkan kekeliruannya. Kekeliruan ini terjadi karena membuat persamaan yang tidak tepat.
Kekeliruan pertama adalah kekeliruan pada analogi induktif contohnya adalah:
Saya heran mengapa orang takut bepergian dengan pesawat tetbang karena sering terjadi kecelakaan pesawat terbang dan tidak sedikit meminta korban. Bila demikian sebaiknya orang jangan tidur di tempat tidur karena hampir semua manusia menemui ajalnya di tempat tidur.
Di sini naik pesawat terbang ditakuti karena sering menimbulkan petaka yang menyebabkan maut. Sedangkan orang tidak takut tidur di tempat tidur karena jarang sekali atau boleh dikatakan tidak pernah ada orang menemui ajalnya karena kecelakaan tempat tidur. Orang meninggal di tempat tidur bukan disebabkan kecelakaan tempat tidur tetapi karena penyakit yang diidapnya. Jadi di sini orang menyamakan dua hal yang sebenarnya berbeda.
Antara kita dan binatang mempunyai persamaan-persamaan yang sangat dekat. Binatang bernafas, kita juga bernafas, binatang merasa kita juga merasa, binatang kawin kita juga kawin, binatang tidur dan istirahat kita juga tidur dan istirahat. Jadi dalam keseluruhan binatang adalah sama dengan kita.
Di sini si pembicara hendak menyimpulkan bahwa manusia adalah sama dengan binatang dengan mempertimbangkan persamaan-persamaan yang ada pada keduanya, padahal yang disamakan itu bukan masalah yang pokok.
Kita seharuanya menjauhkan diri dari kebodohan. Karena semakin banyak belajar semakin banyak hal yang tidak diketahui, jadi semakin banyak kita belajar kita semakin bodoh. Karena itu sebaiknya kita tidak usah belajar.
Kebodohan hanya dapat dihindari dengan belajar. Meskipun dengan belajar kita menjadi tahu ketidaktahuan kita tetapi toh kita menjadi tahu banyak hal. Tanpa belajar kita tidak akan mengetahui banyak hal dan dengan belajar kita dapat mengetahui beberapa hal. Kesalahan si pembicara di sini karena menyamakan arti 'kebodohan' yang harus kita tinggalkan dan 'kebodohan' sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Kekeliruan kedua adalah kekeliruan pada analogi deklaratif, misalnya:
Negara kita sudah sangat banyak berutang. Dengan pembangunan Lima Tahun kita harus menumpuk utang terus-menerus dari tahun ke tahun. Pembangunan Lima Tahun ini memaksa rakyat dan bangsa Indonesia seperti naik perahu yang sarat yang semakin tahun semakin sarat (dengan utang) dan akhirnya tenggelam. Saudara-saudara, kita tidak ingin tenggelam dan mati bukan? Karena itu kita lebih baik tidak naik kapal sarat itu. Kita tidak perlu melaksanakan Prmbangunan Lima Tahun.
Di sini seseorang tidak setuju dengan Pembangunan Lima Tahun yang sedang dilaksanakan dengan analogi yang pincang. Memang negara kita perlu melakukan pinjaman untuk membangun. Pinjaman itu digunakan seproduktif mungkin sehingga dapat meningkatkan devisa negara. Dengan demikian penghasilan perkepala akan meningkat dibanding sebelumnya, demikian seterusnya dari tahun ke tahun sehingga peningkatan kesejahteraan rakyat akan tercapai. Pembicara di sini hanya menekankan segi utangnya saja, tidak memperhitungkan segi-segi positif dari kebijaksanaan menempuh pinjaman.
Khutbah itu tidak perlu kita terjemahkan dalam bahasa kita, biarlah dalam bahasa aslinya, yaitu Arab. Bila diterjemahkan dalam bahasa kita tidak bagus lagi sebagaimana kopi susu yang dicampur terasi. Kopi susu sendiri sudah lezat dan bila kita campur dengan terasi tidak bisa diminum bukan? Karena itulah saya tidak pernah berkhutbah dengan terjemahan karena saya tahu saudara semua tidak ingin minum kopi susu yang dicampur dengan terasi.
Di sini pembicara yang dikritik khutbahnya karena selalu menggunakan bahasa Arab membuat pembelaan bahwa khutbah dengan terjemahan adalah sebagaimana kopi susu dicampur terasi. Sekilas pembelaan ini seperti benar, tetapi bila kita amati mengandung kekeliruan yang serius. Analogi yang dibuat timpang karena hanya mempertimbangkan kedudukan bahasa Arab dan bahasa terjemahan. Padahal ada yang lebih penting dari sekedar itu yang harus diperhatikan yaitu: pemahaman pendengar. Apakah dengan bahasa Arab tujuan khutbah menyampaikan pesan bisa dimengerti oleh sebagian besar pendengar? Alasan pembicara di atas dapat dibantah dengan analogi yang tidak pincang, misalnya:
Berkhutbah dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh para pendengarnya sama dengan memberi kalung emas pada seekor ayam. Bukankah ayam lebih suka diberi beras daripada kalung. Ayam akan memilih beras sebagaimana pendengar tentu akan memilih khutbah dengan bahasa yang dimengertinya.
Sebuah analogi yang pincang dapat pula ditemui dalam pernyataan berikut:
Orang yang sedang belajar itu tidak ubahnya seorang mengayuh biduk ke pantai. Semakin ringan muatan yang ada dalam biduk semakin cepat ia akan sampai ke pantai. Diperlakukan SPP itu tidak ubahnya memberikan muatan pada biduk yang sedang dikayuh, jadi memperlambat jalan biduk menuju pantai. Agar tujuan orang yang belajar lekas sampai maka seharusnya kewajiban membayar SPP dihapus.
Analogi ini pincang karena hanya mempertimbangkan beban yang harus dibayar oleh setiap pelajar, tidak memperhitungkan manfaat kewajiban membayar SPP secara keseluruhan.
Analogi pincang model kedua ini amat banyak digunakan dalam perdebadan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena sifatnya seperti benar analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap pendengar.


BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Analogi adalah kesimpulan yang ditarik dengan jalan menyampaikan atau memperbandingkan suatu fakta khusus dengan fakta khusus lain.
Terdapat 3 unsur dalam penyimpulan analogik, yaitu: peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi, persamaan principal yang menjadi pengikat, dan ketiga fenomena yang hendak kita analogikan.
Macam analogi ada dua, yakni analogi deklaratif dan analogi argumentatif.
Dalam menilai keterpercayaan suatu analogi hendaknya melihat factor-faktor berikut: Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan, sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi, sifat dari analogi yang kita buat, ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan, serta Relevan tidaknya masalah yang dianalogikan.
Analogi yang pincang merupakan penalaran induktif yang tidak memenuhi syarat atau tidak dapat diterima karena membuat persamaan yang tidak tepat.
1.2  Saran
Untuk menyusun sebuah karangan yang utuh harus memperhatikan kesatuan antara tiap-tiap hal yang mendukung terciptanya suatu karangan yang baik. Jadi dalam penulisan sebuah karangan harus memperhatikan hal-hal yang mendukung



DAFTAR PUSTAKA

Mundiri, 2012, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo).

Tidak ada komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda