BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam menjelaskan suatu hal yang baru kita terkadang
kesulitan untuk mencari kata yang tepat yang dapat membuat orang yang kita ajak
bicara paham akan apa yang sedang kita jelaskan, untuk itu kita perlu padanan
kata yang sudah ada untuk membuat sesuatu yang baru itu mudah dipahami. Metode
menyamakan satu hal dengan hal yang lain inilah yang disebut dengan analogi.
Jika dalam penyimpulan generalisasi kita bertolak dari
sejumlah peristiwa pada penyimpulan, maka pada analogi kita bertolak dari satu
atau sejumlah peristiwa menuju kepada satu peristiwa lain yang sejenis.
Apa yang terdapat pada fenomena peristiwa pertama,
disimpulkan terdapat juga pada fenomena peristiwa yang lain karena keduanya
mempunyai persamaan prinsipal. Berdasarkan persamaan prinsipal pada keduanya
itulah maka mereka akan sama pula dalam aspek-aspek lain yang mengikutinya.
B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan arahan dalam pembahasan makalah ini, maka permasalahan
yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan analogi?
2. Apa
saja macam-macam analogi?
3. Bagaimana
cara menilai analogi?
C. Tujuan
Tujuan
dalam penyusunan makalah yaitu untuk mengetahui
1. Apa itu analogi
2. Apa saja macam-macam analogi
3. Bagaimana cara menilai analogi
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ANALOGI
Dalam penyimpulan generalisasi kita
bertolak dari sejumlah peristiwa pada penyimpulan analogi kita bertolak dari
satu atau sejumlh peristiwa menuju kepada satu peristiwa lain yang sejenis. Apa
yang terdapat pada fenomena peristiwa pertama, disimpulkan terdapat juga pada
fenomena peristiwa yang lain karena keduanya mempunyai persamaan prinsipal.
Berdasarkan persamaan prinsipal pada keduanya itulah maka mereka akan sama pula
dalam aspek-aspek yang mengikutinya.
Analogi kadang-kadang disebut juga
analogi induktif yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain
yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang
pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain; demikian pengertian analogi
jika kita hendak memformulasikan dalam suatu batasan. Dengan demikian dalam
setiap tindakan penyimpulan analogik terdapat tiga unsur yaitu: peristiwa pokok
yang menjadi dasar analogi,persamaan prinsipal yang menjadi pengikat dan ketiga
fenomena yang hendak kita analogikan.
Sebagian besar pengetahuan kita
disamping didapat dengan generalisasi didapat dengan penalaran analogi. Jika
kita membeli sepasang sepatu (peristiwa) dan kita berkeyakinan bahwa sepatu itu
akan enak dan awet dipakai (fenomena yang dianalogikan), karena sepatu yang
dulu dibeli di toko yang sama (persamaan prinsip) awet dan enak dipakai maka
penyimpulan serupa adalah penalaran analogi. Begitu pula jika kita berkeyakinan
bahwa buku yang baru saja kita beli adalah buku yang menarik karena kita pernah
membeli buku dari pengarang yang sama yang ternyata menarik.
Contoh lain dari penyimpulan analogik
adalah:
Kita mengetahui betapa kemiripan yang
terdapat antara bumi yang kita tempati ini dengan planet-planet lain, seperti
saturnus, mars, yupiter, venus dan mercurius. Planet-planet ini semuanya
mengelilingi matahari sebagaimana bumi, meskipun dalam jarak dan waktu yang
berbeda, semuanya meminjam sinar matahari, sebagaimana bumi. Planet-planet itu
berputar pada porosnya sebagaimana bumi, sehingga padanya juga berlaku
pergantian siang dan malam. Sebagiannya mempunyai bulan yang memberikan sinar
manakala matahari tidak muncul dan bulan-bulan ini meminjam sinar matahari
sebagaimana bulan pada bumi. Mereka semua sama, merupakan subjek dari hukum
gravitasi sebagaimana bumi. Atas dasar persamaan yang sangat dekat antara bumi
dan planet-planet tersebut maka kita tidak salah menyimpulkan bahwa kemungkinan
besar planet-planet tersebut dihuni oleh berbagai jenis makhluk hidup.
Revolusi industri yang pertama terjadi
mengakibatkan tangan manusia menjadi tidak berharga setelah ditemukannya
mesin-mesin industri yang memberikan produktivitas jauh lebih tinggi dari
tenaga manusia. Para pekerja, tukang-tukang jahit dan tukang kayu yang terdidik
harus berjuang untuk dapat hidup, karena para pemilik pabrik lebih suka
menggunakan mesin daripada manusia. Kalaupun tenaga manusia digunakan, gaji
yang diberikan kepadanya rendah sekali. Pada revolusi industri modern yang
bakal terjadi 'mesin-mesin berpikir' dioperasikan secara luas, sehingga terjadi
kemungkinan besar otak manusia akan diganti mesin untuk hal-hal yang sederhana
dan bersifat rutin. Dengan begitu pikiran manusia tidak akan begitu berharga
jika bukan untuk permasalahan-permasalahan yang besar. Berdasarkan kenyataan
yang ada pada revolusi industri pertama yang dulu sudah terjadi, dapat
disimpulkan bahwa letak para ilmuwan dan administrator yang terdidik akan
berjuang untuk hidup sebagaimana dulu para tukang jahit dan tukang kayu.
B. MACAM-MACAM ANALOGI
Macam analogi yang telah kita bicarakan
di atas adalah analogi induktif yaitu analogi yang disusun berdasarkan
persamaan prinsipal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan
bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua.
Bentuk argumen ini sebagaimana generalisasi tidak pernah menghasilkan kebenaran
mutlak.
Analogi disamping fungsi utamanya
sebagai cara berargumentasi, sering benar dipakai dalam bentuk non-argumen,
yaitu sebagai penjelas. Analogi sering disebut analogi deklaratif atau analogi penjelas.
1.
Analogi
deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode
untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar,
dengan sesuatu yang sudah dikenal. Sejak zaman dahulu analogi deklaratif
merupakan cara yang amat bermanfaat untuk menjelaskan masalah yang hendak
diterangkan. Para penulis dapat dengan tepat mengemukakan isi hatinya dalam
menekankan pengertian sesuatu. Contoh analogi deklaratif adalah:
Ilmu pengetahuan itu dibangun oleh
fakta-fakta sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu. Tetapi tidak semua
kumpulan pengetahuan itu ilmu, sebagaimana tidak semua tumpukan batu adalah
rumah. Otak itu menciptakan pikiran sebagaimana buah ginjal mengeluarkan air
seni.
Di sini orang hendak menjelaskan struktur
ilmu yang masih asing bagi pendengar dengan struktur rumah yang sudah begitu
dikenal. Begitu pula penjelasan tentang hubungan antara pikiran dan otak yang
masih samar dijelaskan dengan hubungan antara buah ginjal dan air seni.
Para pejuang wanita memutuskan untuk
menguji apakah undang-undang perkawinan itu menguntungkan kedudukan wanita.
Ternyata semakin jelas bahwa undang-undang perkawinan itu tidak ubahnya
undang-undang perbudakan yang dikatakan sebagai pelindung hak-hak orang-orang
hitam; padahal kata 'pelindung hak' tidak ubahnya adalah penindasan
terselubung.
Di sini penulis hendak menegaskan bahwa
undang-undang perkawinan merupakan penindasan terselubung, sebagaimana
undang-undang perbudakan. Orang masih samar bahwa undang-undang perkawinan itu
sebenarnya merupakan penindasan. Untuk itu para pejuang wanita (di negara
Barat) menegaskan bahwa undang-undang perkawinan itu sama liciknya dengan
undang-undang perbudakan yang telah diketahui secara luas bahwa hal itu
merupakan penindasan terselubung.
2.
Analogi Argumentasi
Analogi
Argumentatif metode yang didasarkan pada kesimpulan bahwa apabila suatu hal
mempunyai satu atau lebih ciri yang sama seperti terdapat pada suatu hal lain.
Maka ciri-ciri lainnya dari hal yang pertama itu juga dimiliki oleh hal yang
kedua tersebut.
Dengan kata
lain, analogi jenis ini merupakan analogi yang disusun berdasarkan persamaan
principal yang ada pada dua fenomena, kemudia ditarik kesimpulan bahwa apa yang
ada pada fenomena pertama ada juga pada fenomena yang kedua. Analogi argumentatif
juga biasa disebut dengan analogi induktif.
Contoh:
Anjing hitam
menyalak, mengejar orang dan menggigit.
Anjing
coklat menyalak dan mengejar orang.
Walaupun
analogi argumentatif tidak pernah dapat dikatakan “valid”, dalam arti
bahwa kesimpulan dari argument-argument itu bersumber pada
premis-premisnya dengan keniscayaan analogikal, namun terhadap
argument-argument analogikal itu kita dapat menyatakan bahwa argument yang satu
lebih meyakinkan ketimbang yang lainnya. Analogi argumentatif dapat dinilai
berdasarkan probabilitas tentang sejauh mana argument tersebut mendukung
kesimpulannya.
C. CARA MENILAI ANALOGI
Sebagaimana generalisasi,
keterpercayaannya tergantung kepada terpenuhi tidaknya alat-alat ukur yang
telah kita ketahui, maka demikian pula analogi. Untuk mengukur derajat
keterpercayaan sebuah analogi dapat diketahui dengan alat berikut:
Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang
dianalogikan. Semakin besar peristiwa sejenis yang dianalogikan, semakin besar
pula taraf keterpercayaannya. Apabila pada suatu ketika saya mengirimkan baju
saya pada seorang tukang penatu dan ternyata hasilnya tidak memuaskan, maka
atas dasar analogi, saya bisa menyarankan kepada kawan saya untuk tidak
mengirimkan pakaian kepada tukang penatu tadi. Analogi saya menjadi lebih kuat
setelah B kawan saya juga mendapat hasil yang menjengkelkan atas bajunya yang
dikirim ke tukang penatu yang sama. Analogi menjadi lebih kuat lagi setelah
ternyata C, D, E, F dan G juga mengalami hal serupa.
Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi
dasar analogi. Ambillah contoh yang telah kita sebut, yaitu tentang sepatu yang
telah kita beli pada sebuah toko. Bahwa sepatu yang baru saja kita beli tentu
akan awet dan enak enak dipakai karena sepatu yang dulu dibeli di toko ini juga
awet dan enak dipakai. Analogi ini menjadi lebih kuat lagi misalnya
diperhitungkan juga persamaan harganya, mereknya, dan bahannya.
Sifat dari analogi yang kita buat.
Apabila kita mempunyai mobil dan satu liter bahan bakarnya dapat menempuh 10
km, kemudian kita menyimpulkan bahwa mobil B yang sama dengan mobil kita akan
bisa menempuh jarak 10 km tiap satu liternya, maka analogi demikian cukup kuat.
Analogi ini akan lebih kuat jika kita mengatakan bahwa mobil B akan menempuh 8
km setiap liter bahan bakarnya, dan menjadi lemah jika kita mengatakan bahwa
mobil B akan menempuh 15 km setiap liter bahan bakarnya. Jadi semakin rendah
taksiran yang kita analogikan semakin kuat analogi itu.
Mempertimbangkan ada tidaknya
unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak
pertimbangan atas unsur-unsurnya yang berbeda semakin kuat keterpercayaan
analoginya. Konklusi yang kita ambil bahwa Zaini pendatang baru di Universitas
X akan menjadi sarjana yang ulung karena beberapa tamatan dari universitas
tersebut juga merupakan sarjana ulung. Analogi ini menjadi lebih kuat jika kita
mempertimbangkan juga perbedaan yang ada pada para lulusan sebelumnya. A, B, C,
D dan E yang mempunyai latar belakang yang berbeda dalam ekonomi, pendidikan
SLTA, daerah, agama, pekerjaan orang tua toh kesemuanya adalah sarjana yang
ulung.
Relevan dan tidaknya masalah yang
dianalogikan. Bila tidak relevan sudah barang tentu analoginya tidak kuat dan
bahkan bisa gagal. Bila kita menyimpulkan bahwa mobil yang baru kita beli
setiap liter bahan bakarnya akan menempuh 15 km berdasarkan analogi mobil B
yang sama modelnya serta jumlah jendela dan tahun produksinya sama dengan mobil
yang kita beli ternyata dapat menempuh 15 km setiap liter bahan bakarnya, maka
analogi serupa adalah analogi yang tidak relevan. Seharusnya untuk menyimpulkan
demikian harus didasarkan atas unsur-unsur yang relevan yaitu banyaknya
slinder, kekuatan daya tariknya serta berat dari bodinya.
Analogi yang mendasarkan pada suatu hal
yang relevan jauh lebih kuat daripada analogi yang mendasarkan pada selusin
persamaan yang tidak relevan. Penyimpulan seorang dokter bahwa untuk mengobati
tuan B adalah sebagaimana yang telah dilakukan terhadap tuan C karena keduanya
menderita tanda-tanda terserang penyakit yang sama dan karena jenis darahnya
sama, jauh lebih banyak tetapi tidak relevan, misalnya karena umumnya, bintang
kelahirannya, latar belakang pendidikannya, warna kulitnya, jumlah anaknya dan
kesukaannya.
Analogi yang relevan biasanya terdapat
pada peristiwa yang mempunyai hubungan kasual. Meskipun hanya mendasarkan pada
satu atau dua persamaan, analogi ini cukup terpercaya kebenarannya. Kita
mengetahui bahwa sambungan rel kereta api dibuat tidak rapat untuk menjaga
kemungkinan mengembangnya bila kena panas, rel tetap pada posisinya, maka kita
akan mendapat kemantapan yang kuat bahwa rangka rumah yang kita buat dari besi
juga akan terlepas dari bahaya melengkung bila kena panas, karena kita telah
menyuruh tukang untuk memberikan jarak pada tiap sambungannya. Di sini kita hanya
mendasarkan pada satu hubungan kausal bahwa karena besi memuai bila kena panas,
maka jarak yang dibuat antara dua sambungan besi akan menghindarkan bangunan
dari bahaya melengkung. Namun begitu analogi yang bersifat kausal memberikan
keterpercayaan yang kokoh.
D. ANALOGI YANG PINCANG
Meskipun analogi merupakan corak
penalaran yang populer, namun tidak semua penalaran analogi merupakan penalaran
induktif yang benar. Ada masalah yang tidak memenuhi syarat atau tidak dapat
diterima, meskipun sepintas sulit bagi kita menunjukkan kekeliruannya.
Kekeliruan ini terjadi karena membuat persamaan yang tidak tepat.
Kekeliruan pertama adalah kekeliruan
pada analogi induktif contohnya adalah:
Saya heran mengapa orang takut bepergian
dengan pesawat tetbang karena sering terjadi kecelakaan pesawat terbang dan
tidak sedikit meminta korban. Bila demikian sebaiknya orang jangan tidur di
tempat tidur karena hampir semua manusia menemui ajalnya di tempat tidur.
Di sini naik pesawat terbang ditakuti
karena sering menimbulkan petaka yang menyebabkan maut. Sedangkan orang tidak
takut tidur di tempat tidur karena jarang sekali atau boleh dikatakan tidak
pernah ada orang menemui ajalnya karena kecelakaan tempat tidur. Orang
meninggal di tempat tidur bukan disebabkan kecelakaan tempat tidur tetapi
karena penyakit yang diidapnya. Jadi di sini orang menyamakan dua hal yang
sebenarnya berbeda.
Antara kita dan binatang mempunyai
persamaan-persamaan yang sangat dekat. Binatang bernafas, kita juga bernafas,
binatang merasa kita juga merasa, binatang kawin kita juga kawin, binatang
tidur dan istirahat kita juga tidur dan istirahat. Jadi dalam keseluruhan
binatang adalah sama dengan kita.
Di sini si pembicara hendak menyimpulkan
bahwa manusia adalah sama dengan binatang dengan mempertimbangkan
persamaan-persamaan yang ada pada keduanya, padahal yang disamakan itu bukan
masalah yang pokok.
Kita seharuanya menjauhkan diri dari
kebodohan. Karena semakin banyak belajar semakin banyak hal yang tidak
diketahui, jadi semakin banyak kita belajar kita semakin bodoh. Karena itu
sebaiknya kita tidak usah belajar.
Kebodohan hanya dapat dihindari dengan
belajar. Meskipun dengan belajar kita menjadi tahu ketidaktahuan kita tetapi
toh kita menjadi tahu banyak hal. Tanpa belajar kita tidak akan mengetahui banyak
hal dan dengan belajar kita dapat mengetahui beberapa hal. Kesalahan si
pembicara di sini karena menyamakan arti 'kebodohan' yang harus kita tinggalkan
dan 'kebodohan' sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Kekeliruan kedua adalah kekeliruan pada
analogi deklaratif, misalnya:
Negara kita sudah sangat banyak
berutang. Dengan pembangunan Lima Tahun kita harus menumpuk utang terus-menerus
dari tahun ke tahun. Pembangunan Lima Tahun ini memaksa rakyat dan bangsa
Indonesia seperti naik perahu yang sarat yang semakin tahun semakin sarat
(dengan utang) dan akhirnya tenggelam. Saudara-saudara, kita tidak ingin
tenggelam dan mati bukan? Karena itu kita lebih baik tidak naik kapal sarat
itu. Kita tidak perlu melaksanakan Prmbangunan Lima Tahun.
Di sini seseorang tidak setuju dengan
Pembangunan Lima Tahun yang sedang dilaksanakan dengan analogi yang pincang.
Memang negara kita perlu melakukan pinjaman untuk membangun. Pinjaman itu
digunakan seproduktif mungkin sehingga dapat meningkatkan devisa negara. Dengan
demikian penghasilan perkepala akan meningkat dibanding sebelumnya, demikian
seterusnya dari tahun ke tahun sehingga peningkatan kesejahteraan rakyat akan
tercapai. Pembicara di sini hanya menekankan segi utangnya saja, tidak
memperhitungkan segi-segi positif dari kebijaksanaan menempuh pinjaman.
Khutbah itu tidak perlu kita terjemahkan
dalam bahasa kita, biarlah dalam bahasa aslinya, yaitu Arab. Bila diterjemahkan
dalam bahasa kita tidak bagus lagi sebagaimana kopi susu yang dicampur terasi.
Kopi susu sendiri sudah lezat dan bila kita campur dengan terasi tidak bisa
diminum bukan? Karena itulah saya tidak pernah berkhutbah dengan terjemahan
karena saya tahu saudara semua tidak ingin minum kopi susu yang dicampur dengan
terasi.
Di sini pembicara yang dikritik khutbahnya
karena selalu menggunakan bahasa Arab membuat pembelaan bahwa khutbah dengan
terjemahan adalah sebagaimana kopi susu dicampur terasi. Sekilas pembelaan ini
seperti benar, tetapi bila kita amati mengandung kekeliruan yang serius.
Analogi yang dibuat timpang karena hanya mempertimbangkan kedudukan bahasa Arab
dan bahasa terjemahan. Padahal ada yang lebih penting dari sekedar itu yang
harus diperhatikan yaitu: pemahaman pendengar. Apakah dengan bahasa Arab tujuan
khutbah menyampaikan pesan bisa dimengerti oleh sebagian besar pendengar?
Alasan pembicara di atas dapat dibantah dengan analogi yang tidak pincang,
misalnya:
Berkhutbah dengan bahasa yang tidak
dimengerti oleh para pendengarnya sama dengan memberi kalung emas pada seekor
ayam. Bukankah ayam lebih suka diberi beras daripada kalung. Ayam akan memilih
beras sebagaimana pendengar tentu akan memilih khutbah dengan bahasa yang
dimengertinya.
Sebuah analogi yang pincang dapat pula
ditemui dalam pernyataan berikut:
Orang yang sedang belajar itu tidak
ubahnya seorang mengayuh biduk ke pantai. Semakin ringan muatan yang ada dalam
biduk semakin cepat ia akan sampai ke pantai. Diperlakukan SPP itu tidak
ubahnya memberikan muatan pada biduk yang sedang dikayuh, jadi memperlambat
jalan biduk menuju pantai. Agar tujuan orang yang belajar lekas sampai maka
seharusnya kewajiban membayar SPP dihapus.
Analogi ini pincang karena hanya
mempertimbangkan beban yang harus dibayar oleh setiap pelajar, tidak
memperhitungkan manfaat kewajiban membayar SPP secara keseluruhan.
Analogi pincang model kedua ini amat
banyak digunakan dalam perdebadan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan
pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena sifatnya
seperti benar analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap pendengar.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Analogi adalah kesimpulan yang ditarik dengan jalan
menyampaikan atau memperbandingkan suatu fakta khusus dengan fakta khusus lain.
Terdapat 3 unsur dalam penyimpulan analogik, yaitu:
peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi, persamaan principal yang menjadi
pengikat, dan ketiga fenomena yang hendak kita analogikan.
Macam analogi ada dua, yakni analogi deklaratif dan
analogi argumentatif.
Dalam menilai keterpercayaan suatu analogi hendaknya
melihat factor-faktor berikut: Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang
dianalogikan, sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi, sifat
dari analogi yang kita buat, ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada
peristiwa yang dianalogikan, serta Relevan tidaknya masalah yang dianalogikan.
Analogi yang pincang merupakan penalaran induktif yang
tidak memenuhi syarat atau tidak dapat diterima karena membuat persamaan yang
tidak tepat.
1.2 Saran
Untuk menyusun sebuah karangan
yang utuh harus memperhatikan kesatuan antara tiap-tiap hal yang mendukung
terciptanya suatu karangan yang baik. Jadi dalam penulisan sebuah karangan
harus memperhatikan hal-hal yang mendukung
DAFTAR PUSTAKA
Mundiri,
2012, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar