Selasa, 20 Maret 2018

ANALISIS STRUKTURAL NASKAH DRAMA "SANG MANDOR"


ANALISIS STRUKTURAL NASKAH DRAMA "SANG MANDOR"


A.    Alur
Dalam naskah drama “Sang Mandor” ini termasuk alur maju. Dalam naskah ini seluruh kejadian berlangsung pada satu tempat dan satu waktu.
a)      Tahap perkenalan
Tahap perkenalan adalah dengan munculnya Sang Mandor, pada saat itu Sang Mandor sedang menderita penyakit rematik dan merasa penyakit tersebut telah mengalahkan fisik dan jiwanya. Dalam dialog awal Sang Mandor memperkenalkan dirinya sebagai mandor, sebagai ayah, sebagai suami, sebagai laki-laki, dan sebagai manusia, seperti dalam kutipan dialog sebagai berikut:
SANG MANDOR                       :MEROKOK, MELAMUN, BATUK-BATUK.
Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku Cuma disini,
TERDENGAR PELUIT KAPAL.
Inikah akhir riwayatku?
Sebagai mandor sebagai Ayah? Sebagai suami?
Sebagai laki-laki? Sebagai...Manusia?
Sang mandor mencoba bangkit dengan segala keangkuhan masa lalunya. Pada saat sang mandor mengeluhkan semuanya, istri sang mandor menyuruh sang mandor untuk minum obat tetapi sang mandor malah marah dan tidak mau untuk meminum obat, sang mandor tidak mau untuk dibantu oleh istrinya sendiri yang sangat setia dan sabar menghadapi sang mandor meski tidak jarang sekali sang mandor selalu memarahinya.

b)      Konflik
Ketika Sang Mandor mencoba bangkit, sang mandor kembali mengalami terpaan masalah yang baru seperti peribahasa ”sudah terjatuh, tertimpa tangga pula”. Pada saat itu satu persatu anak dan orang kepercayaannya datang, bukan memperbaiki keadaan sang mandor, justru membuatnya menjadi sangat marah bahkan jatuh pingsan pada saat itu juga. Anaknya yang bernama Juki memberitahukan bahwa Juki telah menjual perahu milik Sang Mandor tanpa izin beliau untuk modal kawin dan mengontrak rumah. Kemudian anaknya yang bernama Poke memberitahukan bahwa Poke telah menjual sawah dan empang untuk membelikan sebuah perahu untuk Sang Mandor tanpa izin beliau. Begitu pun dengan anaknya Uduk, Uduk telah menjual perahu milik sang mandor dan hasilnya sebagai bekal untuk Uduk selama belajar untuk menjadi mandor sesuai dengan harapan Sang Mandor. Semua hal itu membuat Sang Mandor sangat marah dan tak mampu menahan emosi atas perangai ketiga anaknya itu.

c)      Klimaks
Pada saat Poke, Uduk, dan Rimba menanyakan penyebab mengapa Sang Mandor pingsan dan berbicara tentang banyak hal, mengatakan kata-kata yang indah selautan seolah memuja Sang Mandor, tiba-tiba Sang Mandor marah dan muak mendengarkan perkataan mereka dan Sang Mandor pun mengatakan bahwa penyebab Sang Mandor pingsan adalah Juki. Maka pada saat itu Uduk dan Poke marah besar terhadap Juki, tidak terima atas perilaku Juki yang membuat Ayahnya yang selalu mereka jaga dengan teganya telah dibuat pingsan oleh Juki saudaranya sendiri. Dengan emosi yang menggebu-gebu, Poke dan Uduk menghajar Juki dan mereka pun baku hantam, saling memukul, saling menerkam. Kemudian Istri Sang Mandor panik, menangis menjerit-jerit melihat pemandangan seperti ini.
Terlihat klimaks itu ditandai dengan prolog:
KETIGANYA BAKU HANTAM, MEMUKUL DAN DIPUKUL, TERKAM MENERKAM, BERGULIG-GULING.

d)     Penyelesaian
Amarah Sang Mandor pun semakin menjadi-jadi ketika anak-anaknya berkelahi di depan matanya sendiri, Amarah Sang Mandor yang meledak-ledak inilah yang membuat sang mandor bisa mengalahkan penyakitnya dan kembali berdiri tegak seperti waktu ia menjadi mandor, juga menyadari atas semua yang terjadi padanya bahwa harta, keududukan, keangkuhannya, bukanlah apa-apa dan bukanlah penolong baginya. Sang Mandor pun menyuruh anak-anaknya dan orang kepercayaannya untuk pergi karena Sang Mandor kini tak memiliki apa-apa, kedua perahunya kini tiada, sawah dan empang pun tak ada. Sang mandor kini sadar bahwa sang mandor hanya bisa memohon semuanya hanya pada Allah swt dan mensyukuri semua yang ada. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
SANG MANDOR           :BERUSAHA MENAHAN GONCANGAN
YANG SEMAKIN KERAS DALAM DIRINYA.
Mestinya inilah pingsanku yang kedua tambah
setengah, mulanya perahu kini sawah... empang...
terus... ?
DIAM LAGI.
Pergilah. Kini, aku tak punya apa-apa lagi kecuali
satu kalimat:
Jangan lagi mengadahkan tangan kecuali kepada
Tuhan
JUKI, POKE, DUDUK, RIMBA, MENGHILANG
DI PINTU. SANG MANDOR MENATAP
LEMBUT PADA ISTRINYA YANG TERDUDUK
DILANTAI SAMBIL MENUTUP WAJAH.
Mulli, bangkitlah engkau... dan lihat aku telah
disini... di kursi ini.
B.     Penokohan
Tokoh utama dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini tokoh utamanya adalah Sang Mandor sesuai dengan judul naskah dramanya. Sang Mandor yang berperan penting dan menjadi tokoh yang mampu menghipnotis para pembaca atau pun para penonton ketika dipentaskan di atas panggung dan memberikan pesan-pesan moral dan social yang dapat diambil hikmahnya. Melihat keterkaitannya dengan tokoh yang lain tokoh Sang Mandor sangat banyak berperan, mulai dari awal hingga ahir adegan dan selalu berhungan dengan tokoh-tokoh yang lain yang mampu mengembangkan bagaimana cerita ini berlanjut
Dalam naskah drama ”Sang Mandor” ada beberapa tokoh, yaitu Sang Mandor, Istri Sang Mandor, Juki, Poke, Uduk, dan Rimba.
Watak-watak para tokoh dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini adalah sebagai berikut:
1.      Sang Mandor
Sang Mandor adalah tokoh utama sesuai dengan judul naskah daramanya ”Sang Mandor”, melihat keterkaitannya dengan tokoh yang lain tokoh Sang Mandor sangat banyak berperan, mulai dari awal hingga ahir adegan.
Sang Mandor dilihat dari analisis wataknya termasuk tokoh bulat karena menunjukan berbagai sikap segi baik dan buruknya, ada perkembangannya dari awal hingga akhir cerita yang terjadi pada tokoh Sang Mandor.
Sang Mandor termasuk tokoh antagonis dilihat dari sikapnya terhadap sang istri yang ingin membantunya berdiri dan memberikan obat namun Sang Mandor malah memarahi sang istri. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
ISTRI SANG MANDOR                       :MENDEKATI MANDOR. MENCOBA
MEMBANTUNYA KE KURSI
Ayoklah, Pak. Saya bantu.
SANG MANDOR                       :MELEDAK
Jauh kau, Perempuan! Jangan mendekat.
Aku laki-laki. Aku mandor. Aku mampu bergerak
sendiri.
Sang Mandor memiliki watak yang angkuh, sombong, pemberani, dan juga keras kepala. Seperti dalam dialog seperti berikut:
SANG MANDOR                       :Aku tidak kesepian bukan karena kau ada,
Perempuan! Kau ada atau tidak ada, aku tidak kesepian. Aku tahu mengurusku sendiri, tanpa siapa-siapa.
Dan dialog:
SANG MANDOR                       :Nah, itu pertanda, dalam pingsanpun aku harus
Bisa mandiri.
Dari segi perwatakan Sang mandor termasuk round character, karena Sang Mandor mengalami perubahan nasib, yaitu yang awalnya Sang Mandor mempunyai watak yang angkuh, sombong, dan juga keras kepala tapi karena adanya konflik yang membuatnya sangat marah dan kehilangan semua harta benda karena perangai anak-anaknya sendiri akhirnya sang mandor mampu melawan penyakitnya, Sang Mandor bisa duduk di kursi tanpa bantuan istirnya dan semua itu menyadarkan Sang Mandor bahwa harta, kedudukan, dan keangkuhan bukanlah segalanya, bukanlah teman dikala sepi. Sang mandor menjadi sosok seorang yang bersyukur dan menyadari semua kesalahannya, bahwa hanya kepada Allah swt kita meminta pertolongan dikala sepi ataupun ramai.
Sang Mandor termasuk tokoh sentral, karena kehadiran tokoh Sang Mandor amat berpotensi mengarahkan alur, dapat memberikan keuntungan yang menyebabkan munculnya konflik.
2.      Istri sang mandor
Istri Sang Mandor termasuk tokoh protagonis, dilihat dari sikapnya yang penuh kesabaran menghadapi Sang Mandor yang keras kepala dan angkuh, juga selalu setia melayani Sang Mandor ketika ia terjatuh sakit. Seperti dialog sebagai berikut:
ISTRI SANG MANDOR                       :Tidak. Engkau tidak kesepian. Aku ada.
Dan
ISTERI SANG MANDOR         :MELETAKKANGELAS BERISI AIR PUTIH DI
MEJA.
Pak, saatnya minum obat. Jangan dekat-dekat jendela. Disitu banyak angin. Astaga, bagaimana kau sampai disitu?
Istri Sang Mandor termasuk perwatakan flat character, karena tidak mengalami perubahan nasib dari awal hingga akhir cerita Istri Sang Mandor tetap mempunyai sifat sabar dan setia.
Istri Sang Mandor dilihat dari wataknya termasuk tokoh datar, karena hanya menunjukan watak yang baik dan sabar dari awal hingga akhir cerita.
3.      Juki
Juki termasuk tokoh tritagonis, dilihat dari sikapnya yang tidak menghargai kedua orang tuanya. Juki tiba-tiba berbicara dengan kata-kata seperti menasihati kedua orantuanya yang sedang bertengkar dan menjual perahu milik Sang Mandor untuk modal kawin dan mengontrak rumah tanpa izin Sang Mandor.
JUKI                                            :Maaf, Pak, satu Perahu Bapak terpaksa saya jual
Untuk ongkos kawin dan kontrak rumah.
Juki mempunyai watak yang serakah karena Juki telah menikah untuk keempat kalinya. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
JUKI                                            : Saya, Saya, Habis, kawin, Bu.
Juki termasuk tokoh sentral, karena kehadiran tokoh Juki amat berpotensi mengarahkan alur, dapat memberikan keuntungan yang menyebabkan munculnya konflik.
Tokoh Juki dalam naskah drama ini sangat membantu kehadirannya dalam mengembangkan konflik.
4.      Poke
Poke termasuk tokoh tritagonis, Poke mempunyai watak hampir sama seperti Juki. Poke hanya pintar berbicara kata-kata indah seperti ingin mencari perhatian Sang Mandor, berpura-pura hangat terhadap Sang Mandor namun Poke tidak menghargai Sang Mandor sebagai ayahnya, Poke menjual sawah dan empang tanpa izin Sang Mandor. Namun poke juga menyayangi dan mengkhawatirkan keadaan Sang Mandor. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
POKE                                          :Jadi kau, Juki; Kau yang menjadi sebab ayah tadi
pingsan? Sampai hati kau, ha?! Kita, ya, terutama aku, aku yang selalu berusaha keras menjaga ayah, tah-tahu kecolongan oleh orang dalam rumah sendiri. Tega nian! Sampai hati kamu!
Poke termasuk tokoh sentral, karena kehadiran tokoh Poke amat berpotensi mengarahkan alur, dapat memberikan keuntungan yang menyebabkan munculnya konflik.
Tokoh Poke dalam naskah drama ini sangat membantu kehadirannya dalam mengembangkan konflik.


5.      Uduk
Uduk termasuk tokoh tritagonis, Uduk mempunyai watak hampir sama seperti Juki dan Poke. Uduk hanya pintar berbicara kata-kata indah seperti ingin mencari perhatian Sang Mandor namun Poke tidak menghargai Sang Mandor sebagai ayahnya, Poke menjual perahu tanpa izin Sang Mandor. Banyak bicara tapi sedikit bekerja, uduk itu bagaikan tong kosong nyaring bunyinya. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
UDUK                                         :SERIUS
Ya, seperti Bapak. Sayalah yang bersedia
Menggantikan Bapak, mengukir riwayat besar
dilautan, seperti Bapak.
Meski uduk berkata-kata seperti itu, Uduk ternyata telah menjual perahu milik Sang Mandor tanpa izin Sang Mandor. Itu adalah perilaku yang sangat tidak hormat kepada orangtua. Tokoh Uduk dalam naskah drama ini sangat membantu kehadirannya dalam mengembangkan konflik.
Uduk termasuk tokoh sentral, karena kehadiran tokoh Uduk amat berpotensi mengarahkan alur, dapat memberikan keuntungan yang menyebabkan munculnya konflik.
6.      Rimba
Rimba termasuk tokoh tirtagonis, Rimba mempunyai watak yang cukup setia. Rimba memunyai watak yang selalu ikut-ikutan, ketika Uduk berbicara Rimba pun sama berbicara, tidak mempunyai pendirian. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
RIMBA                            :Dan sebagai orang kepercayaan bapak, saya,
Rimba yang ditugaskan menjadi centeng bagi keselamatan Uduk...
MENDEKATI MANDOR
Saya selalu memompakan ke dalam jiwa anak ini, jurus ”Main Kayu Sembunyi Tangan!” Pukul dulu baru berfikir!
Dilihat dari penokohan alurnya tokoh Rimba termasuk tokoh latar, karena tokoh Rimba ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan alur, kehadirannya hanya sebagai pelengkap latar dan berfungsi menghidupkan latar.
C.     Latar
a)      Tempat
Latar tempat dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini di rumah Sang Mandor.
ISTERI SANG MANDOR         :MELETAKKAN GELAS BERISI AIR PUTIH DI
MEJA.
Pak, saatnya minum obat. Jangan dekat-dekat jendela. Disitu banyak angin. Astaga, bagaimana kau sampai disitu?
Pada dialog istri Sang Mandor tersebut mengatakan ”Jangan dekat-dekat jendela” itu kemungkinan menandakan di rumah Sang Mandor, bisa di kamar atau pun di ruang keluarga.
b)      Waktu
Dalam naskah drama ”Sang Mandor” tidak dijelaskan latar waktunya, baik dalam prolog atau pun percakapn dialog tokoh, namun dapat diperkirakan latar waktu dalam naskah drama ini adalah waktu pada saatnya meminum obat, bisa pagi, siang, atau pun sore.
c)      Suasana
Latar suasana dalam naskah drama ”Sang Mandor ini adalah:
-         Tegang
Suasana dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini menegangkan, pada awal cerita suasananya sudah mulai terasa menengangkan. Pada saat istri Sang Mandor menyuruh Sang Mandor untuk meminum obat tapi Sang Mandor malah memarahi istri Sang Mandor dan mempertanyakan, mengeluhkan atas penyakit yang dideritanya. Seperti dalam dialog seperti berikut:
SANG MANDOR                       :Berapa kali dalam sehari-semalam aku harus
mendengar kata itu? Jangan! Jangan! Jangan ini!
Jangan itu!
Dan dialog:
SANG MANDOR                       :Jangan dekat! Jangan!
DENGAN TENAGA TERAKHIRNYA IA
BANGKIT. IA MEMANDANG KE KURSI
DENGAN MATA MENYALA.
Telah kuarungi laut sampai Benua Eropa.
Kutaklukkan badai sebesar apapun. Para jagoan
mencium lututku. Lalu... lalu hanya untuk sampai
ke kurdi itu, aku harus kalah, hah?
IA ROBOH.
Suasana itu pun semakin menegang ketika anak-anak Sang Mandor satu-persatu datang membawa kabar yang membuat Sang Mandor marah, yaitu anaknya Juki menjual perahu milik Sang Mandor untuk modal kawin dan mengontrak rumah tanpa izin Sang Mandor yang membuat Sang Mandor jatuh pingsan, kemudian anaknya Poke pun menjual sawah dan empang milik Sang Mandor untuk membeli perahu untuk Sang Mandor tanpa izin Sang Mandor, begitu pun dengan Uduk yang menjual perahu milik Sang Mandor untuk bekal selama belajar menjadi mandor tanpa izin Sang Mandor, semua pengakuan anak-anaknya membuat Sang Mandor menjadi kacau balau dan suasana pun semakin menegang ketika anak-anakna berkelahi, saling memukul satu sama lain. Seperti dalam prolog:
KETIGANYA BAKU HANTAM, MEMUKUL DAN DIPUKUL, TERKAM-MENERKAM, BERGULING-GULING.
-          Mengharukan
Suasana dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini mengharukan, terasa pada akhir cerita disaat Sang Mandor telah menerima semua kenyataan pahit dengan penyakit yang dideritanya dan perangai anak-anaknya yang membuatnya sangat marah tiba-tiba Sang Mandor bisa duduk di kursi tanpa bantuan istrinya. Saat itu Sang Mandor dan istri sang mandor tidak menyangka dan sangat bahagia atas takdir Tuhan, kini Sang Mandor menyadari bahwa Sang Mandor salah atas kesombongan dan keangkuhannya selama ini, Sang Mandor pun memeluk sang istri yang menangis bahagia atas takdir yang membuatnya kembali seperti dulu.
ISTRI SANG MANDOR                       :TERHARU, TAK DAPAT MENAHAN DIRI
KARENA GEMBIRA MELIHAT SANG
MANDOR TEGAK.
Daeng, Daengku... engkau mampu mengatasi
lumpuhmu. Aku, aku merasakan diriku tegak berdiri
di pelabuhan, di tepi dermaga, melambaikan sapu
tangan ketika kapalmu bertolak... aku memandang
tubuhmu yang perkasa, kau senyum padaku...
MENDEKATI SANG MANDOR.
Aku ingin sekali menyentuhmu, Daeng...


D.    Dialog
Dialog dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini cukup efektif dan tidak kaku, dialog antar tokoh terstrukturt/teratur, juga lebih menggunakan segi teknis, meskipun ada juga sisi estetisnya, seperti pada percakapan Sang Mandor seperti pada dirinya sendiri (monolog), namun dialog yang dihadirkan tidak dituliskan dalam tanda kurung. Seperti dalam kutipan berikut ini:
SANG MANDOR                       :MEROKOK, MELAMUN, BATUK-BATUK.
Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku Cuma disini,
TERDENGAR PELUIT KAPAL.
Inikah akhir riwayatku?
Sebagai mandor sebagai Ayah? Sebagai suami?
Sebagai laki-laki? Sebagai...Manusia?
E.     Tema
Naskah drama ”Sang Mandor” ini bertemakan tentang kehidupan seseorang yang merasa dirinya itu hebat dan kuat, sehingga dia menjadi seombong, angkuh, dan merasa tidak membutuhkan pertolongan orang lain. Menurutnya kedudukan dan harta adalah teman yang paling setia yang harus dijaga, sedangkan anak dan istrinya tak pernah dia jaga bahkan menganggap mereka tak ada. Harta, kedudukan, kekuatan, pujian itu bukanlah segalanya, bukanlah penolong dikala suka atau pun duka. Karena harta yang paling indah adalah istri dan anak, kekuatan yang paling kuat adalah kesabaran seorang istri dan perilaku baik seorang anak, pujian yang paling tulus adalah kesabaran dan rasa syukur. Manusia tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain terutama tanpa takdir Tuhan, bantuan dari-Nya.
Seperti dalam dialog seperti berikut:
ISTRI SANG MANDOR                       :BERGEGAS AKAN MENOLONG.
Semua tak ada yang langgeng, pak. Sadarlah.
Tak ada orang bisa hidup tanpa tangan orang lain.
Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siapapun
ia, masing-masing berangkat tua, sakit-sakitan,
kesepian...
Dan pada dialog sang mandor yang mengatakan ”Jangan lagi menadahkan tangan kecuali kepada Tuhan” pada perkataan Sang Mandor dapat diambil kesimpulan bahwa apa pun yang terjadi kita harus menadahkan tangan hanya kepada Tuhan, bukan kepada harta, kedudukan, pujian, kesombongan, dan keangkuhan diri sendiri.
F.      Amanat
Seharusnya kita harus lebih mensyukuri apa pun yang terjadi, termasuk ketika kita sedang dilanda penyakit, kita harus mensyukuri atas penyakit yang diberikan Allah swt. Penyakit itu adalah sebuah ujian dari Allah swt, Dia tidak akan pernah memberikan sebuah ujian/penyakit melebihi batas kemampuan makhluknya.
Dalam cerita naskah drama ”Sang Mandor” ini menyadarkan kita sebagai manusia karena semua ujian yang Allah berikan kepada hambanya semua pasti akan ada hikmahnya, ada pengalaman dan pembelajaran yang dapat kita rasakan. Percayalah akan ada pelangi setelah redanya hujan. Seperti sang Mandor yang sedang menderita penyakit rematik kemudian ditambah masalah oleh perilaku anak-anaknya yang menjual harta bendanya tanpa izin Sang Mandor, meski Sang Mandor kehilangan harta bendanya namun Sang Mandor mampu menaklukan penyakit yang dideritanya, Sang Mandor mampu duduk sendiri ke kursi tanpa bantuan istrinya.
Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua yang ada akan hilang. Rumus dunia selalu berputar, ada kalanya manusia dilanda suka kemudian duka, miskin kemudian kaya, sehat kemudian sakit. Kita sebagai manusia adalah makhluk sosial, kita membutuhkan orang lain. Jangan pernah menganggap diri kita terlalu hebat, karena semakin kita merasa bahwa diri kita hebat maka sebenarnya kita itu sangat lemah, begitupun sebaliknya. Seperti dalam dialog istri sang mandor:
ISTRI SANG MANDOR                       :BERGEGAS AKAN MENOLONG.
Semua tak ada yang langgeng, pak. Sadarlah.
Tak ada orang bisa hidup tanpa tangan orang lain.
Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siapapun
ia, masing-masing berangkat tua, sakit-sakitan,
kesepian...
Dalam cerita naskah drama ”Sang Mandor” ini sedikitnya menyadarkan kita yang terlena dengan kepuasan dan kesibukkan di dunia yang sangat memabukkan. Maka dengan terlalu terlena dengan kepuasan dan kesibukkan di dunia itulah yang membuat kita lupa akan keluarga, seorang kepala rumah tangga bisa lengah dalam mendidik dan memberi nilai-nilai moral kepada anak, sehingga mereka bisa sewenang-wenang berperilaku terhadap orangtuanya. Serta di zaman globalisasi seperti ini betapa sulitnya menjaga kepercayaan, bahkan kepada orang terdekat seperti anak sendiri. Sang mandor yang telah mempercayakan semua kekayannya kepada anaknya untuk dikelola ternyata tidak sanggup dilaksanakan oleh sang anak. Mereka semua melenceng dari keinginan sang mandor. Sebagai orangtua hendaknya mampu mendidik anaknya dengan memberikan kebutuhan lahir dan batin itu harus benar-benar seimbang, kenali pergaulannya, kenali karakternya, dan jangan pernah menjadikan kepuasan dan kesibukkan di dunia mengalahkan perang orangtua sebagai pengarah dan pembimbing dalam hidupnya. Begitupun dengan seorang anak, hendaknya sebagai anak harus lebih menghargai dan menghormati kedua orangtua, jangan pernah berperilaku sewenang-wenang terhadap orangtua, harus mengerti keadaan orangtua, dan jangan memberikan kata-kata manis yang ujungnya memberikan rasa sakit terhadap oranngtua, jaga kepercayaan orangtua jangan pernah membuat mereka kecewa.

SINOPSIS NASKAH DRAMA "SANG MANDOR"

Naskah drama ini menceritakan tentang seorang mandor yang dulunya begitu telah banyak menjelajahi lautan luas, begitu banyak kapal yang dia kenal, begitu akrab dengan banyak pelabuhan, begitu banyak bersahabat dengan bangsa laki-laki dan perempuan, sang mandor yang begitu kuat, berani dengan keangkuhan dan kesombongannya, tapi kini sang mandor sedang menderita penyakit rematik. Saat ini sang mandor sedang berusaha melawan rematiknya, mencoba merangkak dan bergerak. Jangankan untuk mampu berlayar seperti dulu sebagai mandor, hanya untuk duduk ke kursi saja dia rapuh.
Pada saat sang mandor sedang berusaha untuk bangkit berusaha menduduki kursinya, datanglah Mulli istri sang mandor yang ingin membantu sang mandor untuk duduk ke kursi dan menyuruhnya untuk meminum obat, tapi sang mandor dengan tega dan kasarnya malah memarahi dan menolak bantuan istri yang sangat menyayanginya itu. mereka beradu mulut, sang mandor mengkeluh kesahkan semua keluhan kepada istirnya dengan amarah yang bergejolak, meski sang istri merasa tak pernah dianggap dan dihargai tapi sang istri mencoba untuk bersabar menghadapi suaminya, sang mandor.
Tiba-tiba datanglah Juki, anak sang mandor dengan tergesa-gesa mencoba untuk menenangkan kedua orang tuanya, dengan berkhotbah seperti menasihati kedua orang tuanya. Sang mandor merasa tersinggung dan tidak dihargai atas perlakuan Juki anaknya itu, sang mandor marah dan sang mandor tahu kedatangan Juki berkhotbah seperti itu pasti ada tujuannya. Dengan cepat istri sang mandor menanyakan kepada Juki apakah benar kedatangannya dengan berkhotbah menasihati mereka itu ada tujuannya atau tidak, kemudian dengan cepat pula Juki menjawab bahwa Juki kini telah kawin untuk keempat kalinya dan sebagai modal kawin dan mengontrak rumah Juki menjual perahu milik sang mandor tanpa persetujuan sang mandor terlebih dahulu. Atas pernyataan Juki, seketika sang mandor marah dan jatuh pingsan. Istri sang mandor pun panic melihat sang mandor pingsan.
Pada saat sang mandor pingsan, datanglah poke, uduk, dan rimba. Keudian mereka ramai-ramai mau membantu sang mandor dari pingsannya, tapi sebelum mereka sempat menyentuh tubuh sang mandor, sang mandor sudah sadar. Kemudian mereka menanyakan mengapa sang mandor bisa pingsan, dan mengapa sang mandor bisa duduk di lantai. Sang mandor pun menjawab dengan keangkuhannya, bahkan dalam pingsan pun sang mandor harus mandiri tanpa bantuan orang lain. Setelah lelah menanyakan alasan mengapa sang mandor pingsan, maka Uduk dan Poke mengetahui bahwa Jukilah penyebabnya.
Uduk dan Poke pun marah kepada Juki atas perlakuan Juki yang dengan teganya membuat sang mandor, ayah tercintanya jatuh pingsan. Padahal selama ini mereka selalu berusaha menjaga sang mandor tapi mereka malah kecolongan oleh orang rumah mereka sendiri. Poke dan Uduk pun langsung memukul Juki, mereka bertiga pun berkelahi, saling memukul, saling menerkam, dan berguling-guling. Istri sang mandor panik dan menangis menjerit-jerit melihat pemandangan seperti ini, sang mandor pun marah dan berhenti menyuruh mereka untuk berhenti. Juki, Uduk, dan Poke pun seketika berhenti berkelahi, kaget mendengar teriakan sang mandor. Mereka terpaku heran, memandang sosok sang mandor berdiri tegak di atas lantai, seakan teriakan luar biasa itu membuat lari pontang-panting penyakit lumpuhnya. Istri sang mandor pun sangat terharu, tak dapat menahan diri karena gembira melihat sang mandor tegak.
Sang mandor tetap marah dan memandang tajam anak-anaknya, bahwa sang mandor tidak membutuhkan pertolongan atau pembelaan siapa pun, karena sang mandor berpikir bahwa dalam pingsan sekalipun sang mandor harus mandiri. Kemudian bertanya kepada Uduk tentang rencana apa yang akan dilakukan Uduk tanpa bunga-bunga kata, tanpa pengakuan-pengakuan besar, tanpa pergumulan. Seketika Uduk pun mengaku meskpun sempat kebingungan. Uduk mengatakan bahwa Uduk akan menjadi seorang mandor pelaut dimulai dari bawah hingga kelasi seperti apa yang diharapkan sang mandor. Karena itu sebagai bekalnya, maka Uduk telah menjual perahu kedua milik sang mandor tanpa persetujuan sang mandor.
Sang mandor pun sangat marah setelah mendengar kembali kabar buruk keduanya, sang mandor bagaikan sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Sang mandor berusaha menahan goncangan dalam dirinya, dia berhasil dan masih berdiri tegak. Kemudian Poke berbicara untuk menenangkan sang mandor yang telah kehilangan perhunya gara-gara dijual oleh Juki, memberitahukan bahwa Poke telah membelikan sang mandor perahu baru, dan uang yang Poke dapatkan untuk membeli perahu itu bahwa Poke telah menjual sawah dan empang milik sang mandor tanpa persetujuan sang mandor terlebih dahulu. Sang mandor pun sangat marah atas perangai anaknya itu.
Perkelahian anak-anaknya untuk membela dirinya semua ternyata buntutnya memukul dirinya sendiri. Perahu milik sang mandor hanya dua dan keduanya sudah melayang, sawah dan empang pun kini tak ada. Kini sang mandor tak punya apa-apa lagi keuali kalimat: jangan lagi menadahkan tangan kecuali kepada Tuhan. Kini sang mandor sadar bahwa seluruh harta, pujian, dan kedudukan bukanlah segalanya, yang paling berhagra adalah anak-anak dan istrinya. Kemudian Juki, Poke, Uduk, dan Rimba menghilang di pintu. Sang mandor menatap lembut pada istrinya yang terduduk di lantai sambil menutup wajah. Istri sang mandor mengangkat kepalanya dan terasa terbang melihat suaminya berhasil menduduki kursinya, dan istri sang mandor sangat bersyukur kepada Tuhan. Istri sang mandor memeluk sang mandor, sang mandor pun memandang ke atas sambil mengelus rambut istrinya dan berbisik sesuatu kepada di atas sana, kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda