ANALISIS STRUKTURAL NASKAH DRAMA "SANG MANDOR"
A.
Alur
Dalam naskah
drama “Sang Mandor” ini termasuk alur maju. Dalam naskah ini seluruh kejadian
berlangsung pada satu tempat dan satu waktu.
a) Tahap
perkenalan
Tahap perkenalan adalah dengan munculnya Sang Mandor, pada saat itu Sang
Mandor sedang menderita penyakit rematik dan merasa penyakit tersebut telah
mengalahkan fisik dan jiwanya. Dalam dialog awal Sang Mandor memperkenalkan
dirinya sebagai mandor, sebagai ayah, sebagai suami, sebagai laki-laki, dan
sebagai manusia, seperti dalam kutipan dialog sebagai berikut:
SANG MANDOR :MEROKOK,
MELAMUN, BATUK-BATUK.
Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku Cuma disini,
TERDENGAR PELUIT KAPAL.
Inikah akhir riwayatku?
Sebagai mandor sebagai Ayah? Sebagai suami?
Sebagai laki-laki? Sebagai...Manusia?
Sang mandor mencoba bangkit dengan segala keangkuhan masa lalunya. Pada
saat sang mandor mengeluhkan semuanya, istri sang mandor menyuruh sang mandor
untuk minum obat tetapi sang mandor malah marah dan tidak mau untuk meminum
obat, sang mandor tidak mau untuk dibantu oleh istrinya sendiri yang sangat
setia dan sabar menghadapi sang mandor meski tidak jarang sekali sang mandor
selalu memarahinya.
b) Konflik
Ketika Sang Mandor mencoba bangkit, sang mandor kembali mengalami terpaan
masalah yang baru seperti peribahasa ”sudah terjatuh, tertimpa tangga pula”.
Pada saat itu satu persatu anak dan orang kepercayaannya datang, bukan
memperbaiki keadaan sang mandor, justru membuatnya menjadi sangat marah bahkan
jatuh pingsan pada saat itu juga. Anaknya yang bernama Juki memberitahukan
bahwa Juki telah menjual perahu milik Sang Mandor tanpa izin beliau untuk modal
kawin dan mengontrak rumah. Kemudian anaknya yang bernama Poke memberitahukan
bahwa Poke telah menjual sawah dan empang untuk membelikan sebuah perahu untuk
Sang Mandor tanpa izin beliau. Begitu pun dengan anaknya Uduk, Uduk telah
menjual perahu milik sang mandor dan hasilnya sebagai bekal untuk Uduk selama belajar
untuk menjadi mandor sesuai dengan harapan Sang Mandor. Semua hal itu membuat
Sang Mandor sangat marah dan tak mampu menahan emosi atas perangai ketiga
anaknya itu.
c) Klimaks
Pada saat Poke, Uduk, dan Rimba menanyakan penyebab mengapa Sang Mandor
pingsan dan berbicara tentang banyak hal, mengatakan kata-kata yang indah
selautan seolah memuja Sang Mandor, tiba-tiba Sang Mandor marah dan muak
mendengarkan perkataan mereka dan Sang Mandor pun mengatakan bahwa penyebab
Sang Mandor pingsan adalah Juki. Maka pada saat itu Uduk dan Poke marah besar
terhadap Juki, tidak terima atas perilaku Juki yang membuat Ayahnya yang selalu
mereka jaga dengan teganya telah dibuat pingsan oleh Juki saudaranya sendiri.
Dengan emosi yang menggebu-gebu, Poke dan Uduk menghajar Juki dan mereka pun
baku hantam, saling memukul, saling menerkam. Kemudian Istri Sang Mandor panik,
menangis menjerit-jerit melihat pemandangan seperti ini.
Terlihat klimaks itu ditandai dengan prolog:
KETIGANYA BAKU HANTAM, MEMUKUL DAN DIPUKUL, TERKAM MENERKAM,
BERGULIG-GULING.
d) Penyelesaian
Amarah Sang Mandor pun semakin menjadi-jadi ketika anak-anaknya berkelahi
di depan matanya sendiri, Amarah Sang Mandor yang meledak-ledak inilah yang
membuat sang mandor bisa mengalahkan penyakitnya dan kembali berdiri tegak
seperti waktu ia menjadi mandor, juga menyadari atas semua yang terjadi padanya
bahwa harta, keududukan, keangkuhannya, bukanlah apa-apa dan bukanlah penolong
baginya. Sang Mandor pun menyuruh anak-anaknya dan orang kepercayaannya untuk
pergi karena Sang Mandor kini tak memiliki apa-apa, kedua perahunya kini tiada,
sawah dan empang pun tak ada. Sang mandor kini sadar bahwa sang mandor hanya
bisa memohon semuanya hanya pada Allah swt dan mensyukuri semua yang ada.
Seperti dalam dialog sebagai berikut:
SANG MANDOR :BERUSAHA
MENAHAN GONCANGAN
YANG SEMAKIN KERAS DALAM DIRINYA.
Mestinya inilah pingsanku yang kedua tambah
setengah, mulanya perahu kini sawah... empang...
terus... ?
DIAM LAGI.
Pergilah. Kini, aku tak punya apa-apa lagi kecuali
satu kalimat:
Jangan lagi mengadahkan tangan kecuali kepada
Tuhan
JUKI, POKE, DUDUK, RIMBA, MENGHILANG
DI PINTU. SANG MANDOR MENATAP
LEMBUT PADA ISTRINYA YANG TERDUDUK
DILANTAI SAMBIL MENUTUP WAJAH.
Mulli, bangkitlah engkau... dan lihat aku telah
disini... di kursi ini.
B. Penokohan
Tokoh utama dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini tokoh utamanya adalah Sang
Mandor sesuai dengan judul naskah dramanya. Sang
Mandor yang berperan penting dan menjadi tokoh yang mampu menghipnotis para
pembaca atau pun para penonton ketika dipentaskan di atas panggung dan
memberikan pesan-pesan moral dan social yang dapat diambil hikmahnya. Melihat keterkaitannya dengan tokoh yang lain tokoh Sang Mandor sangat
banyak berperan, mulai dari awal hingga ahir adegan dan selalu berhungan
dengan tokoh-tokoh yang lain yang mampu mengembangkan bagaimana cerita ini
berlanjut
Dalam naskah drama ”Sang Mandor” ada beberapa tokoh, yaitu Sang Mandor,
Istri Sang Mandor, Juki, Poke, Uduk, dan Rimba.
Watak-watak para tokoh dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini adalah sebagai
berikut:
1. Sang Mandor
Sang Mandor adalah tokoh utama sesuai dengan judul naskah daramanya ”Sang
Mandor”, melihat keterkaitannya dengan tokoh yang lain tokoh Sang Mandor sangat
banyak berperan, mulai dari awal hingga ahir adegan.
Sang Mandor dilihat dari analisis wataknya termasuk tokoh bulat karena
menunjukan berbagai sikap segi baik dan buruknya, ada perkembangannya dari awal
hingga akhir cerita yang terjadi pada tokoh Sang Mandor.
Sang Mandor termasuk tokoh antagonis dilihat dari sikapnya terhadap sang
istri yang ingin membantunya berdiri dan memberikan obat namun Sang Mandor
malah memarahi sang istri. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
ISTRI SANG MANDOR :MENDEKATI MANDOR. MENCOBA
MEMBANTUNYA KE KURSI
Ayoklah, Pak. Saya bantu.
SANG MANDOR :MELEDAK
Jauh kau, Perempuan! Jangan mendekat.
Aku laki-laki. Aku mandor. Aku mampu bergerak
sendiri.
Sang Mandor memiliki watak yang angkuh, sombong, pemberani, dan juga keras
kepala. Seperti dalam dialog seperti berikut:
SANG MANDOR :Aku
tidak kesepian bukan karena kau ada,
Perempuan! Kau ada atau tidak ada, aku tidak kesepian. Aku tahu mengurusku
sendiri, tanpa siapa-siapa.
Dan dialog:
SANG MANDOR :Nah,
itu pertanda, dalam pingsanpun aku harus
Bisa mandiri.
Dari segi perwatakan Sang mandor termasuk round character, karena Sang
Mandor mengalami perubahan nasib, yaitu yang awalnya Sang Mandor mempunyai
watak yang angkuh, sombong, dan juga keras kepala tapi karena adanya konflik
yang membuatnya sangat marah dan kehilangan semua harta benda karena perangai
anak-anaknya sendiri akhirnya sang mandor mampu melawan penyakitnya, Sang
Mandor bisa duduk di kursi tanpa bantuan istirnya dan semua itu menyadarkan
Sang Mandor bahwa harta, kedudukan, dan keangkuhan bukanlah segalanya, bukanlah
teman dikala sepi. Sang mandor menjadi sosok seorang yang bersyukur dan
menyadari semua kesalahannya, bahwa hanya kepada Allah swt kita meminta
pertolongan dikala sepi ataupun ramai.
Sang Mandor termasuk tokoh sentral, karena kehadiran tokoh Sang Mandor amat
berpotensi mengarahkan alur, dapat memberikan keuntungan yang menyebabkan
munculnya konflik.
2. Istri sang
mandor
Istri Sang Mandor termasuk tokoh protagonis, dilihat dari sikapnya yang
penuh kesabaran menghadapi Sang Mandor yang keras kepala dan angkuh, juga
selalu setia melayani Sang Mandor ketika ia terjatuh sakit. Seperti dialog
sebagai berikut:
ISTRI SANG MANDOR :Tidak. Engkau tidak
kesepian. Aku ada.
Dan
ISTERI SANG MANDOR :MELETAKKANGELAS
BERISI AIR PUTIH DI
MEJA.
Pak, saatnya minum obat. Jangan dekat-dekat jendela. Disitu banyak angin.
Astaga, bagaimana kau sampai disitu?
Istri Sang Mandor termasuk perwatakan flat character, karena tidak
mengalami perubahan nasib dari awal hingga akhir cerita Istri Sang Mandor tetap
mempunyai sifat sabar dan setia.
Istri Sang Mandor dilihat dari wataknya termasuk tokoh datar, karena hanya
menunjukan watak yang baik dan sabar dari awal hingga akhir cerita.
3. Juki
Juki termasuk tokoh tritagonis, dilihat dari sikapnya yang tidak menghargai
kedua orang tuanya. Juki tiba-tiba berbicara dengan kata-kata seperti
menasihati kedua orantuanya yang sedang bertengkar dan menjual perahu milik
Sang Mandor untuk modal kawin dan mengontrak rumah tanpa izin Sang Mandor.
JUKI :Maaf,
Pak, satu Perahu Bapak terpaksa saya jual
Untuk ongkos kawin dan kontrak rumah.
Juki mempunyai watak yang serakah karena Juki telah menikah untuk keempat
kalinya. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
JUKI :
Saya, Saya, Habis, kawin, Bu.
Juki termasuk tokoh sentral, karena kehadiran tokoh Juki amat berpotensi
mengarahkan alur, dapat memberikan keuntungan yang menyebabkan munculnya
konflik.
Tokoh Juki dalam naskah drama ini sangat membantu kehadirannya dalam
mengembangkan konflik.
4. Poke
Poke termasuk tokoh tritagonis, Poke mempunyai watak hampir sama seperti
Juki. Poke hanya pintar berbicara kata-kata indah seperti ingin mencari
perhatian Sang Mandor, berpura-pura hangat terhadap Sang Mandor namun Poke
tidak menghargai Sang Mandor sebagai ayahnya, Poke menjual sawah dan empang
tanpa izin Sang Mandor. Namun poke juga menyayangi dan mengkhawatirkan keadaan
Sang Mandor. Seperti dalam dialog sebagai berikut:
POKE :Jadi
kau, Juki; Kau yang menjadi sebab ayah tadi
pingsan? Sampai hati kau, ha?! Kita, ya, terutama aku, aku yang selalu
berusaha keras menjaga ayah, tah-tahu kecolongan oleh orang dalam rumah
sendiri. Tega nian! Sampai hati kamu!
Poke termasuk tokoh sentral, karena kehadiran tokoh Poke amat berpotensi
mengarahkan alur, dapat memberikan keuntungan yang menyebabkan munculnya
konflik.
Tokoh Poke dalam naskah drama ini sangat membantu kehadirannya dalam
mengembangkan konflik.
5. Uduk
Uduk termasuk tokoh tritagonis, Uduk mempunyai watak hampir sama seperti
Juki dan Poke. Uduk hanya pintar berbicara kata-kata indah seperti ingin
mencari perhatian Sang Mandor namun Poke tidak menghargai Sang Mandor sebagai
ayahnya, Poke menjual perahu tanpa izin Sang Mandor. Banyak bicara tapi sedikit
bekerja, uduk itu bagaikan tong kosong nyaring bunyinya. Seperti dalam dialog sebagai
berikut:
UDUK :SERIUS
Ya, seperti Bapak. Sayalah yang bersedia
Menggantikan Bapak, mengukir riwayat besar
dilautan, seperti Bapak.
Meski uduk berkata-kata seperti itu, Uduk ternyata telah menjual perahu
milik Sang Mandor tanpa izin Sang Mandor. Itu adalah perilaku yang sangat tidak
hormat kepada orangtua. Tokoh Uduk dalam naskah drama ini sangat membantu
kehadirannya dalam mengembangkan konflik.
Uduk termasuk tokoh sentral, karena kehadiran tokoh Uduk amat berpotensi
mengarahkan alur, dapat memberikan keuntungan yang menyebabkan munculnya
konflik.
6. Rimba
Rimba termasuk tokoh tirtagonis, Rimba mempunyai watak yang cukup setia.
Rimba memunyai watak yang selalu ikut-ikutan, ketika Uduk berbicara Rimba pun
sama berbicara, tidak mempunyai pendirian. Seperti dalam dialog sebagai
berikut:
RIMBA :Dan
sebagai orang kepercayaan bapak, saya,
Rimba yang ditugaskan menjadi centeng bagi keselamatan Uduk...
MENDEKATI MANDOR
Saya selalu memompakan ke dalam jiwa anak ini, jurus ”Main Kayu Sembunyi
Tangan!” Pukul dulu baru berfikir!
Dilihat dari penokohan alurnya tokoh Rimba termasuk tokoh latar, karena
tokoh Rimba ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan alur,
kehadirannya hanya sebagai pelengkap latar dan berfungsi menghidupkan latar.
C. Latar
a) Tempat
Latar tempat dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini di rumah Sang Mandor.
ISTERI SANG MANDOR :MELETAKKAN
GELAS BERISI AIR PUTIH DI
MEJA.
Pak, saatnya minum obat. Jangan dekat-dekat jendela. Disitu banyak
angin. Astaga, bagaimana kau sampai disitu?
Pada dialog istri Sang Mandor tersebut mengatakan ”Jangan dekat-dekat
jendela” itu kemungkinan menandakan di rumah Sang Mandor, bisa di kamar atau
pun di ruang keluarga.
b) Waktu
Dalam naskah drama ”Sang Mandor” tidak dijelaskan latar waktunya, baik
dalam prolog atau pun percakapn dialog tokoh, namun dapat diperkirakan latar
waktu dalam naskah drama ini adalah waktu pada saatnya meminum obat, bisa pagi,
siang, atau pun sore.
c) Suasana
Latar suasana dalam naskah drama
”Sang Mandor ini adalah:
- Tegang
Suasana dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini menegangkan, pada awal cerita
suasananya sudah mulai terasa menengangkan. Pada saat istri Sang Mandor
menyuruh Sang Mandor untuk meminum obat tapi Sang Mandor malah memarahi istri
Sang Mandor dan mempertanyakan, mengeluhkan atas penyakit yang dideritanya.
Seperti dalam dialog seperti berikut:
SANG MANDOR :Berapa
kali dalam sehari-semalam aku harus
mendengar kata itu? Jangan! Jangan! Jangan ini!
Jangan itu!
Dan dialog:
SANG MANDOR :Jangan
dekat! Jangan!
DENGAN TENAGA TERAKHIRNYA IA
BANGKIT. IA MEMANDANG KE KURSI
DENGAN MATA MENYALA.
Telah kuarungi laut sampai Benua Eropa.
Kutaklukkan badai sebesar apapun. Para jagoan
mencium lututku. Lalu... lalu hanya untuk sampai
ke kurdi itu, aku harus kalah, hah?
IA ROBOH.
Suasana itu pun semakin menegang ketika anak-anak Sang Mandor satu-persatu
datang membawa kabar yang membuat Sang Mandor marah, yaitu anaknya Juki menjual
perahu milik Sang Mandor untuk modal kawin dan mengontrak rumah tanpa izin Sang
Mandor yang membuat Sang Mandor jatuh pingsan, kemudian anaknya Poke pun
menjual sawah dan empang milik Sang Mandor untuk membeli perahu untuk Sang
Mandor tanpa izin Sang Mandor, begitu pun dengan Uduk yang menjual perahu milik
Sang Mandor untuk bekal selama belajar menjadi mandor tanpa izin Sang Mandor,
semua pengakuan anak-anaknya membuat Sang Mandor menjadi kacau balau dan
suasana pun semakin menegang ketika anak-anakna berkelahi, saling memukul satu
sama lain. Seperti dalam prolog:
KETIGANYA BAKU HANTAM, MEMUKUL
DAN DIPUKUL, TERKAM-MENERKAM, BERGULING-GULING.
- Mengharukan
Suasana dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini mengharukan, terasa pada akhir
cerita disaat Sang Mandor telah menerima semua kenyataan pahit dengan penyakit
yang dideritanya dan perangai anak-anaknya yang membuatnya sangat marah
tiba-tiba Sang Mandor bisa duduk di kursi tanpa bantuan istrinya. Saat itu Sang
Mandor dan istri sang mandor tidak menyangka dan sangat bahagia atas takdir
Tuhan, kini Sang Mandor menyadari bahwa Sang Mandor salah atas kesombongan dan
keangkuhannya selama ini, Sang Mandor pun memeluk sang istri yang menangis
bahagia atas takdir yang membuatnya kembali seperti dulu.
ISTRI SANG MANDOR :TERHARU, TAK DAPAT
MENAHAN DIRI
KARENA GEMBIRA MELIHAT SANG
MANDOR TEGAK.
Daeng, Daengku... engkau mampu mengatasi
lumpuhmu. Aku, aku merasakan diriku tegak berdiri
di pelabuhan, di tepi dermaga, melambaikan sapu
tangan ketika kapalmu bertolak... aku memandang
tubuhmu yang perkasa, kau senyum padaku...
MENDEKATI SANG MANDOR.
Aku ingin sekali menyentuhmu, Daeng...
D. Dialog
Dialog dalam naskah drama ”Sang Mandor” ini cukup efektif dan tidak kaku,
dialog antar tokoh terstrukturt/teratur, juga lebih menggunakan segi teknis,
meskipun ada juga sisi estetisnya, seperti pada percakapan Sang Mandor seperti
pada dirinya sendiri (monolog), namun dialog yang dihadirkan tidak dituliskan
dalam tanda kurung. Seperti dalam kutipan berikut ini:
SANG MANDOR :MEROKOK,
MELAMUN, BATUK-BATUK.
Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku Cuma disini,
TERDENGAR PELUIT KAPAL.
Inikah akhir riwayatku?
Sebagai mandor sebagai Ayah? Sebagai suami?
Sebagai laki-laki? Sebagai...Manusia?
E. Tema
Naskah drama ”Sang Mandor” ini bertemakan tentang kehidupan seseorang yang
merasa dirinya itu hebat dan kuat, sehingga dia menjadi seombong, angkuh, dan
merasa tidak membutuhkan pertolongan orang lain. Menurutnya kedudukan dan harta
adalah teman yang paling setia yang harus dijaga, sedangkan anak dan istrinya
tak pernah dia jaga bahkan menganggap mereka tak ada. Harta, kedudukan,
kekuatan, pujian itu bukanlah segalanya, bukanlah penolong dikala suka atau pun
duka. Karena harta yang paling indah adalah istri dan anak, kekuatan yang
paling kuat adalah kesabaran seorang istri dan perilaku baik seorang anak, pujian
yang paling tulus adalah kesabaran dan rasa syukur. Manusia tidak dapat berdiri
sendiri tanpa bantuan orang lain terutama tanpa takdir Tuhan, bantuan dari-Nya.
Seperti dalam
dialog seperti berikut:
ISTRI SANG MANDOR :BERGEGAS AKAN MENOLONG.
Semua tak ada yang langgeng, pak. Sadarlah.
Tak ada orang bisa hidup tanpa tangan orang lain.
Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siapapun
ia, masing-masing berangkat tua, sakit-sakitan,
kesepian...
Dan pada dialog sang mandor yang mengatakan ”Jangan lagi menadahkan tangan kecuali kepada Tuhan” pada perkataan
Sang Mandor dapat diambil kesimpulan bahwa apa pun yang terjadi kita harus
menadahkan tangan hanya kepada Tuhan, bukan kepada harta, kedudukan, pujian,
kesombongan, dan keangkuhan diri sendiri.
F. Amanat
Seharusnya kita harus lebih mensyukuri apa pun yang terjadi, termasuk
ketika kita sedang dilanda penyakit, kita harus mensyukuri atas penyakit yang
diberikan Allah swt. Penyakit itu adalah sebuah ujian dari Allah swt, Dia tidak
akan pernah memberikan sebuah ujian/penyakit melebihi batas kemampuan
makhluknya.
Dalam cerita naskah drama ”Sang Mandor” ini menyadarkan kita sebagai
manusia karena semua ujian yang Allah berikan kepada hambanya semua pasti akan
ada hikmahnya, ada pengalaman dan pembelajaran yang dapat kita rasakan.
Percayalah akan ada pelangi setelah redanya hujan. Seperti sang Mandor yang
sedang menderita penyakit rematik kemudian ditambah masalah oleh perilaku
anak-anaknya yang menjual harta bendanya tanpa izin Sang Mandor, meski Sang
Mandor kehilangan harta bendanya namun Sang Mandor mampu menaklukan penyakit
yang dideritanya, Sang Mandor mampu duduk sendiri ke kursi tanpa bantuan
istrinya.
Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua yang ada akan hilang. Rumus dunia
selalu berputar, ada kalanya manusia dilanda suka kemudian duka, miskin
kemudian kaya, sehat kemudian sakit. Kita sebagai manusia adalah makhluk
sosial, kita membutuhkan orang lain. Jangan pernah menganggap diri kita terlalu
hebat, karena semakin kita merasa bahwa diri kita hebat maka sebenarnya kita
itu sangat lemah, begitupun sebaliknya. Seperti dalam dialog istri sang mandor:
ISTRI SANG MANDOR :BERGEGAS AKAN MENOLONG.
Semua tak ada yang langgeng, pak. Sadarlah.
Tak ada orang bisa hidup tanpa tangan orang lain.
Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siapapun
ia, masing-masing berangkat tua, sakit-sakitan,
kesepian...
Dalam cerita naskah drama ”Sang Mandor” ini sedikitnya menyadarkan kita
yang terlena dengan kepuasan dan kesibukkan di dunia yang sangat memabukkan.
Maka dengan terlalu terlena dengan kepuasan dan kesibukkan di dunia itulah yang
membuat kita lupa akan keluarga, seorang kepala rumah tangga bisa lengah dalam
mendidik dan memberi nilai-nilai moral kepada anak, sehingga mereka bisa
sewenang-wenang berperilaku terhadap orangtuanya. Serta di zaman globalisasi
seperti ini betapa sulitnya menjaga kepercayaan, bahkan kepada orang
terdekat seperti anak sendiri. Sang mandor yang telah mempercayakan semua
kekayannya kepada anaknya untuk dikelola ternyata tidak sanggup dilaksanakan
oleh sang anak. Mereka semua melenceng dari keinginan sang mandor. Sebagai
orangtua hendaknya mampu mendidik anaknya dengan memberikan kebutuhan lahir dan
batin itu harus benar-benar seimbang, kenali pergaulannya, kenali karakternya,
dan jangan pernah menjadikan kepuasan dan kesibukkan di dunia mengalahkan
perang orangtua sebagai pengarah dan pembimbing dalam hidupnya. Begitupun
dengan seorang anak, hendaknya sebagai anak harus lebih menghargai dan
menghormati kedua orangtua, jangan pernah berperilaku sewenang-wenang terhadap
orangtua, harus mengerti keadaan orangtua, dan jangan memberikan kata-kata
manis yang ujungnya memberikan rasa sakit terhadap oranngtua, jaga kepercayaan
orangtua jangan pernah membuat mereka kecewa.
SINOPSIS NASKAH DRAMA "SANG
MANDOR"
Naskah drama ini menceritakan
tentang seorang mandor yang dulunya begitu telah banyak menjelajahi lautan
luas, begitu banyak kapal yang dia kenal, begitu akrab dengan banyak pelabuhan,
begitu banyak bersahabat dengan bangsa laki-laki dan perempuan, sang mandor
yang begitu kuat, berani dengan keangkuhan dan kesombongannya, tapi kini sang mandor
sedang menderita penyakit rematik. Saat ini sang mandor sedang berusaha melawan
rematiknya, mencoba merangkak dan bergerak. Jangankan untuk mampu berlayar
seperti dulu sebagai mandor, hanya untuk duduk ke kursi saja dia rapuh.
Pada saat sang mandor sedang
berusaha untuk bangkit berusaha menduduki kursinya, datanglah Mulli istri sang
mandor yang ingin membantu sang mandor untuk duduk ke kursi dan menyuruhnya
untuk meminum obat, tapi sang mandor dengan tega dan kasarnya malah memarahi
dan menolak bantuan istri yang sangat menyayanginya itu. mereka beradu mulut,
sang mandor mengkeluh kesahkan semua keluhan kepada istirnya dengan amarah yang
bergejolak, meski sang istri merasa tak pernah dianggap dan dihargai tapi sang
istri mencoba untuk bersabar menghadapi suaminya, sang mandor.
Tiba-tiba datanglah Juki, anak sang
mandor dengan tergesa-gesa mencoba untuk menenangkan kedua orang tuanya, dengan
berkhotbah seperti menasihati kedua orang tuanya. Sang mandor merasa
tersinggung dan tidak dihargai atas perlakuan Juki anaknya itu, sang mandor
marah dan sang mandor tahu kedatangan Juki berkhotbah seperti itu pasti ada
tujuannya. Dengan cepat istri sang mandor menanyakan kepada Juki apakah benar
kedatangannya dengan berkhotbah menasihati mereka itu ada tujuannya atau tidak,
kemudian dengan cepat pula Juki menjawab bahwa Juki kini telah kawin untuk
keempat kalinya dan sebagai modal kawin dan mengontrak rumah Juki menjual
perahu milik sang mandor tanpa persetujuan sang mandor terlebih dahulu. Atas
pernyataan Juki, seketika sang mandor marah dan jatuh pingsan. Istri sang
mandor pun panic melihat sang mandor pingsan.
Pada saat sang mandor pingsan,
datanglah poke, uduk, dan rimba. Keudian mereka ramai-ramai mau membantu sang
mandor dari pingsannya, tapi sebelum mereka sempat menyentuh tubuh sang mandor,
sang mandor sudah sadar. Kemudian mereka menanyakan mengapa sang mandor bisa
pingsan, dan mengapa sang mandor bisa duduk di lantai. Sang mandor pun menjawab
dengan keangkuhannya, bahkan dalam pingsan pun sang mandor harus mandiri tanpa
bantuan orang lain. Setelah lelah menanyakan alasan mengapa sang mandor
pingsan, maka Uduk dan Poke mengetahui bahwa Jukilah penyebabnya.
Uduk dan Poke pun marah kepada Juki
atas perlakuan Juki yang dengan teganya membuat sang mandor, ayah tercintanya
jatuh pingsan. Padahal selama ini mereka selalu berusaha menjaga sang mandor
tapi mereka malah kecolongan oleh orang rumah mereka sendiri. Poke dan Uduk pun
langsung memukul Juki, mereka bertiga pun berkelahi, saling memukul, saling
menerkam, dan berguling-guling. Istri sang mandor panik dan menangis
menjerit-jerit melihat pemandangan seperti ini, sang mandor pun marah dan
berhenti menyuruh mereka untuk berhenti. Juki, Uduk, dan Poke pun seketika
berhenti berkelahi, kaget mendengar teriakan sang mandor. Mereka terpaku heran,
memandang sosok sang mandor berdiri tegak di atas lantai, seakan teriakan luar
biasa itu membuat lari pontang-panting penyakit lumpuhnya. Istri sang mandor
pun sangat terharu, tak dapat menahan diri karena gembira melihat sang mandor
tegak.
Sang mandor tetap marah dan
memandang tajam anak-anaknya, bahwa sang mandor tidak membutuhkan pertolongan
atau pembelaan siapa pun, karena sang mandor berpikir bahwa dalam pingsan
sekalipun sang mandor harus mandiri. Kemudian bertanya kepada Uduk tentang
rencana apa yang akan dilakukan Uduk tanpa bunga-bunga kata, tanpa
pengakuan-pengakuan besar, tanpa pergumulan. Seketika Uduk pun mengaku meskpun
sempat kebingungan. Uduk mengatakan bahwa Uduk akan menjadi seorang mandor
pelaut dimulai dari bawah hingga kelasi seperti apa yang diharapkan sang
mandor. Karena itu sebagai bekalnya, maka Uduk telah menjual perahu kedua milik
sang mandor tanpa persetujuan sang mandor.
Sang mandor pun sangat marah setelah
mendengar kembali kabar buruk keduanya, sang mandor bagaikan sudah terjatuh
tertimpa tangga pula. Sang mandor berusaha menahan goncangan dalam dirinya, dia
berhasil dan masih berdiri tegak. Kemudian Poke berbicara untuk menenangkan
sang mandor yang telah kehilangan perhunya gara-gara dijual oleh Juki, memberitahukan
bahwa Poke telah membelikan sang mandor perahu baru, dan uang yang Poke
dapatkan untuk membeli perahu itu bahwa Poke telah menjual sawah dan empang
milik sang mandor tanpa persetujuan sang mandor terlebih dahulu. Sang mandor
pun sangat marah atas perangai anaknya itu.
Perkelahian anak-anaknya untuk
membela dirinya semua ternyata buntutnya memukul dirinya sendiri. Perahu milik
sang mandor hanya dua dan keduanya sudah melayang, sawah dan empang pun kini
tak ada. Kini sang mandor tak punya apa-apa lagi keuali kalimat: jangan lagi
menadahkan tangan kecuali kepada Tuhan. Kini sang mandor sadar bahwa seluruh
harta, pujian, dan kedudukan bukanlah segalanya, yang paling berhagra adalah
anak-anak dan istrinya. Kemudian Juki, Poke, Uduk, dan Rimba menghilang di
pintu. Sang mandor menatap lembut pada istrinya yang terduduk di lantai sambil
menutup wajah. Istri sang mandor mengangkat kepalanya dan terasa terbang
melihat suaminya berhasil menduduki kursinya, dan istri sang mandor sangat
bersyukur kepada Tuhan. Istri sang mandor memeluk sang mandor, sang mandor pun
memandang ke atas sambil mengelus rambut istrinya dan berbisik sesuatu kepada
di atas sana, kepada Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar