Selasa, 20 Maret 2018

ALIRAN NATURALISME Tatoo Burung Elang


ALIRAN NATURALISME
Pada prinsipnya, batas antara realisme dan naturalisme agak kabur. Sama halnya dengan aliran realisme, naturalisme juga muncul sebagai reaksi terhadap romantisme. Pengarang naturalisme juga melukiskan dengan cermat dan teliti apa yang dapat dilihat dan dirasa oleh pancaindra. Hal yang membedakannya, dalam aliran naturalisme, umumnya, para pengarang terutama memusatkan perhatian pada alam, pada manifestasi kebendaan dari kehidupan manusia. Pengungkapan dan penggambaran manusia sebagai makhluk dalam alam dengan hasrat dan kekurangan yang dimiliki.
Jassin (1982) menyatakan bahwa naturalisme berkembang berdasarkan filsafat materialisme. Naturalisme beranggapan bahwa apa yang bisa diraba dengan pancaindra itulah kebenaran. Materialisme hanya mengakui dunia benda yang dikuasai oleh hukum alam. Pengarang naturalisme memusatkan perhatian pada kebendaan.
Aliran naturalisme dirumuskan dan dikembangkan oleh Emile Zola (1840-1902). Ia mengatakan bahwa pengarang adalah seorang pengamat dan seorang eksperimentalis. Dalam segala aspek, pengarang harus mengamati dan mencatat semua gejala kehidupan. Oleh karena itu, seorang pengarang dapat melukiskan kehidupan dari segala segi, baik positif maupun negatif; apakah kehidupan itu indah atau penuh kegetiran dan kemesuman (Rampan, 2000: 24).
Naturalisme amat mementingkan alam semesta. Hal itu sejalan dengan pengertian awalnya bahwa natural berarti alam, kodrat, tabiat. Tokoh-tokoh naturalism mengungkapkan aspek-aspek alam semesta yang bersifat fatalistis dan mekanis. Ia juga mementingkan gerak dan aktivitas manusia yang mewujudkan kebendaan   serta kehidupan moral yang rendah. Kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dalam naturalisme disampaikan dengan teliti karena telah melalui eksperimentasi seperti dalam ilmu pengetahuan.
Uraian di atas menandai perbedaan antara realisme dan  naturalisme. Dalam realism pengarang berada di luar dan tidak ikut campur dalam keseluruhan rangkaian cerita. Tugas utama pengarang hanyalah mengungkapkan sesuatu seobjektif mungkin tanpa pretensi dan tanpa prasangka. Sementara itu, dalam naturalisme pengarang ikut terlibat dan “mengendalikan” objek yang akan diungkapkan. Pengarang mempunyai kekuasaan atas pandangan dan visi terhadap alam semesta yang dilukiskan.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip yang dikemukakan Emile Zola, tokoh aliran naturalisme. Ia mengatakan “la natura vue a travers d’un temperament” (Rampan, 2000: 25).  Alam dilihat melalui kehangatan rasa karena akhirnya dirasakan bahwa dunia luar tidak bisa dilukiskan begitu saja. Pusat pribadi para pengarang atau seniman pasti ikut berbicara.
Sebagai contoh, dikutip di bawah ini pemaparan naturalisme dalam cerita pendek “Tatoo Burung Elang” karya S. Sinansari Ecip. Bacalah dengan cermat cerpen di bawah ini, kemudian cobalah untuk mengidentifikasi warna naturalisme yang ada dalam cerpen tersebut.
















Tatoo Burung Elang
Karya S. Sinansari Ecip

Kulitnya kuning. Rambutnya disisir lurus ke belakang. Matanya tajam ibarat mata burung elang. Tinginya lumayan, diatas 160 cm, tetapi lantaran dia kurang berolahraga maka tubuhnya tampak sedikit kerempeng.
“Sungguh  mati saya  bukan   gali!” ujarnya  bersumpah  di  depan  polisi yang memeriksanya. Bantahan ini tidak ada gunanya. Malapetaka berikutnya  menghadang  di  depannya:  kamar  tahanan.  Malapetaka
pertama  adalah  hajaran  masyarakat  yang  dirasakan  ngilu-ngilu  di sekujur tubuhnya. Dia sudah bereriak-teriak setengah mati di dalam bus kota tetapi orang banyak tidak memperhatikannya. Malah suaranya kalah oleh suara sekelompok penumpang yang menunjuknya sebagai penjambret.
Dia duga keras, mereka adalah kelompok penjambret.
“Saya bukan jambret! Saya bukan jambret!” Bantahan ini tidak ada gunanya. Seperti halnya di dalam pemilu, apa artinya satu suara? Dan orang banyak yang menunjuk-nunjuk itu pun menanglah. Dia diserahkan kepada polisi setelah dihajar ramai-ramai.
Kulitnya yang kuning itu menjadikan dia pemuda yang cantik di kamar tahanan. Dan dia disebut Sang Tokoh. Tanpa bisa menolak Sang Tokoh dijadikan  “piala  bergilir” (adakah perlu penolakan dalam hidup ini). Siapa yang berminat, menidurinya. Dia sendiri tidak mendapatkan manfaat apa-apa, jijik malah. Setiap pengorbanan ternyata untuk kepentingan pihak yang lain.
Seorang tahanan yang lain, lebih lima puluh tahun umurnya, menyenanginya. Orang ini sama sekali tidak pernah menyentuh Sang Tokoh untuk keperluan biologis.
“Saya bekas pejuang,” katanya memperkenalkan  diri. Dia berhenti sambil menunggu reaksi lawan  bicaranya. Tentu saja Sang Tokoh bertanya di dalam hati, “Bekas  pejuang kok di dalam kamar tahanan kriminal?” Pertanyaan yang tidak keluar ini dapat ditangkap oleh Pak Tua.
“Saya tergelincir,” katanya sambil  merunduk. Dengan ucapannya ini Pak Tua seperti minta dimaklumi bahwa seorang bekas pejuang pun bisa berbuat jahat. “Saya terseret teman dan menggunakan uang kantor untuk kepentingan pribadi.”
“Kalau begitu Bapak korupsi,” potong Sang Tokoh.
“Ssssttt!” Pak Tua menempelkan jari telunjuknya di bibirnya.
“Korupsi,” kata Sang Tokoh lirih.
“Ya, saya malu.”
“Pada tingkat sekarang ini, Pak, korupsi tidak perlu membikin  malu. Mumpung ada kesempatan, kapan lagi? Apalagi Bapak bekas  pejuang.”
Pak Tua tertegun. Benar, sekarang inilah kesempatan. Korupsi tidak merugikan orang lain. Yang rugi kan negara. Negara milik kita semua. Jadi, uang yang saya ambil pun milik saya juga. Korupsi, jangankan menimbulkan rasa takut, rasa malu pun tidak. Pembunuhan, pemerkosaan menimbulkan orang lain takut, tetapi korupsi? Ya, benar, korupsi tidak perlu ditakuti, korupsi tidak perlu menimbulkan rasa takut. Dalam merenung di sudut kamar tahanan ini, Pak Tua tiba-tiba tubuhnya terguncang. Ada sesuatu yang menggelora di dalam dadanya. Dia tidak tahu apa namanya tetapi dapat merasakannya dengan bangga. Apa yang dibanggakan itu?
“Adik pendatang baru  di sini. Umur berapa?”
“Tiga puluh lima.”
“Tahun  enam  enam  dimana?”
“Di Jakarta.”
“Di Lubang Buaya?”
“Kegiatan di Lubang Buaya itu tahun enam lima, saya tidak ada di sana.”
“Di mana?” desak  Pak Tua.
“Bapak menginterogasi?”
“Maaf, saya sekadar ingin tahu.”
“Saya   di Salemba.”
“Ikut bergerak di awal Orde Baru?”
“Sebelum Orde Baru lahir saya sudah  bergerak tetapi berperan kecil.”
Pak Tua lalu menjabat tangan Sang Tokoh, mengguncang-ngguncangnya.
“Tanpa pergerakan anak-anak muda itu, tidak ada pemerintahan sekarang ini,” kata Pak Tua.
“Bapak melebih-lebihkannya. Tanpa perjuangan angkatan Bapak, tidak ada  negara kita ini.”
“Ah, Adik juga pandai melebih-lebihkannya. Yang jelas tidak mungkin satu orang atau satu lembaga tidak saling bergantung sesamanya.”
“Kalau begitu landasan berpijak kita sama.”
Maka Sang Tokoh menjadi sahabat Pak Tua. Karena Pak Tua disegani oleh seisi kamar tahanan yang lain, Sang Tokoh sejak itu tidak lagi mendapat gangguan teman yang lapar seks. Sang Tokoh menjadi tidak heran kini bahwa seorang bekas jenderal dapat juga masuk ke kamar tahanan.
“Saya punya  keahlian.”
“Saya tahu,” potong Sang Tokoh.
“Semua orang yang pernah menghuni kamar ini saya beri tanda mata hasil keahlian saya itu.”
“Saya juga ingin.”
Dalam setengah hari pekerjaan tersebut dilakukannya. Nyeri terasa lebih tajam dibandingkan ketika Sang Tokoh membuat tulisan di dadanya dulu. Waktu itu Sang tokoh masih menjadi mahasiswa. Lantaran dia sangat gandrung akan olahraga bela diri silat maka diukirnya kata SILAT di dadanya. Kepada Pak Tua, Sang Tokoh sengaja minta dibuatkan gambar burung elang yang memekarkan kedua sayapnya. Elang adalah lambang diriku, bukankah kata teman-teman mataku seperti mata burung elang?
“Bagus gambar rajah ini nanti,” kata Pak Tua sambil mengelap luka di punggung Sang Tokoh. Dia merasakan bahwa gambar cukup lebar. Darah bercampur tinta melumuri punggungnya. Kata SILAT di dadanya pun diperbaiki oleh Pak Tua.
“Seorang jago silat tidak perlu  mempertontonkan dirinya.”
Sang Tokoh diam saja. Dia menyerah, apa saja yang dikerjakan Pak Tua tidak ditolaknya. Dia memuji kehalusan hasil kerja Pak Tua.
Setelah empat hari menahan sakit, selama itu tidak bisa tidur nyenyak dalam keadaan miring, permukaan borok itu sudah mulai mengelupas. Kulit muda terasa segar. Selama itu pula baju tidak pernah dikenakannya. Untung tidak terjadi infeksi. Udara panas di luar dan kepengapan di dalam kamar membuat cepat sembuh luka-luka bekas rajahan jarum Pak Tua. Lukisan tatoo kemudian tidak menjadi perhatiannya, seperti teman-teman sekamarnya yang tidak memperhatikan lukisan di tubuhnya maupun tatoo di tubuh orang lainnya.
Sang Tokoh kemudian keluar dari kamar tahanan. Dia keluar bukan lantaran dibebaskan pengadilan karena dia memang tidak bersalah, tetapi lantaran hukumannya dibuat pas dengan masa tahanannya. Hidup seorang diri di Jakarta ada enak dan ada tidak enaknya. Sejak masuk tahanan, kamar sewanya dilepaskannya. Tanpa uang di kantong, apa yang bisa dilakukannya.
Sang Tokoh masuk ke warung tegal yang sedang sepi. Dengan terus terang dia mengaku tidak punya uang dan perlu makan sekadarnya. Dan sungguh luar biasa, lelaki pemilik warung itu menatapnya sekejap kemudian meraih piring yang masih basah sehabis dicuci dan mengisinya nasi. Tempe goreng dan tahu disuguhkan.
“Jangan segan-segan. Saya melihat kejujuran di dalam  matamu.”
Mata Sang Tokoh hampir mengeluarkan air mata. Dia terharu. Luar biasa pengaruh kata-kata orang tegal tersebut. Sambil menyuap dan mengunyah, Sang Tokoh teringat hal yang sama sewaktu masih menjadi mahasiswa dulu. Dia sering kelaparan. Dan langganannya adalah warung soto madura dan warung tegal. Dengan kepandaian berbahasa Madura dan Bahasa Tegal, segala sesuatunya berjalan lancar untuk minta makan.
Dari siang sampai petang sudah beberapa kali temannya yang didatanginya dengan berjalan kaki. Sayang mereka tidak ada di rumah. Mau bekerja kembali? Menjadi karyawan kecil di perusahaan yang Senin-Kamis hidupnya lebih banyak makan hati. Atau numpang tidur di kamar sewanya? Mereka sudah tahu Sang Tokoh masuk kamar tahanan. Rasa malu sangat kuat mencengkeramnya. Sang Tokoh duduk di emperan toko Blok M, Kebayoran Baru. Setiap perempuan yang lewat tampaknya semua cantik. Ditatapnya gedung-gedung bertingkat. Ah, Sarinah Jaya. Sang Tokoh teringat, salah seorang pimpinan perusahaan yang jaya ini adalah  teman  sekuliahnya dulu.  Sekali lagi rasa malu mencengkeramnya. Apa sih salahku? Saya kan tidak salah. Saya dibuat salah oleh penumpang bis yang menunjuk-nunjuk. Biasa, maling teriak maling. Dan kemudian saya dibuat bersalah lagi oleh para hakim. Semua orang sudah tahu saya salah. Yang melihat saya hanya penjual nasi warung tegal.
Dengan rasa penat yang luar biasa, Sang Tokoh bangkit dari duduknya. Dia  menuju  gedung  bertingkat  tempat  temannya  bekerja  tersebut. Pintu sudah hampir ditutup. Dia menahan pintu itu. Dua orang laki-laki sekonyong-konyong menyeretnya dari luar. Bajunya yang tipis robek. Dia dilemparkan ke dalam jip. Dan jip Jepang segera dilarikan kencang ke pinggir kota. Sang Tokoh tidak tahu, tidak kenal siapa mereka.
Mobil meminggir setelah sopirnya diberi kode oleh laki-laki yang duduk di sampingnya. Dua laki-laki yang duduk di belakang segera meringkus kedua tangan Sang Tokoh. Wajahnya disoroti lampu senter. Sorot lampu kemudian turun ke bagian dada. Penyenternya terkejut. Keempat orang itu bergantian membaca tulisan di dada Sang Tokoh. Mereka terheran-heran.
Salah seorang lelaki itu kemudian merobek bagian belakang baju Sang Tokoh. Mereka lebih terheran-heran lagi. Sorot lampu senter seperti tidak yakin menerangi gambar di punggung Sang Tokoh.
“Astaga, apa  yang terjadi?” keluh salah seorang.
“Kali ini kita bertemu orang yang tahan peluru.”
Dalam sekejap, Sang Tokoh dapat menguasai situasi dan mengerti apa yang tengah terjadi. Dia mengucap syukur atas hasil kerja Pak Tua di dalam kamar tahanan. Tetapi apakah yang kini diherani oleh mereka, tanya Sang Tokoh kepada diri sendiri. Apa artinya buat mereka gambar burung elang itu?
“Sejak kapan kamu punya tatoo ini?” tanya salah seorang sambil menepuk punggungnya.
“Sudah  lama.”
“Di mana  dikerjakan?”
“Siapa  yang menggambar?”
“Seorang jenderal.”
Mereka saling berpandangan. Sang Tokoh mengerti bahwa dia sedang berada di atas angin. Kesempatan yang pendek ini harus dimanfaatkan.
“Boleh saya turun?” tanyanya.
“Turunlah!” jawab orang  yang di depan. Sang Tokoh turun. Dia berjalan dengan tenang memunggungi jip. Angin malam itu membuatnya kedinginan. Robekan bajunya berkibar-kibar lesu.
Salah  seorang  yang  duduk  di  jok  belakang  mengambil  sesuatu  dari bawah ketiaknya. Dengan cepat dipasang alat kedap suara. Temannya yang di depan melarang dan  nyeletuk, “Dia berada di luar  jarak tembak kita.”
Pak Tua itu masih meringkuk di kamar penjara. Dia dijatuhi hukuman berat. Satu hal yang tidak bisa diketahuinya dengan sadar bahwa dia telah memberi sebuah nyawa sambungan kepada Sang Tokoh. Di dada pemuda  yang  berkulit  kuning  itu  tetap  akan  dapat  dibaca  tulisan berwarna biru pekat “Pancasila”.di punggung  Sang Tokoh,  Pak Tua tidak menggambar burung elang yang mengepakkan sayapnya tetapi digambarnya sejenis burung elang yang kepalanya menoleh ke kanan dengan jumlah bulu sayapnya tujuh belas lembar dan bulu ekornya delapan lembar.

Makasar, Agustus 1983

Catatan:
gali: pencoleng; penodong; perampok

Tidak ada komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda