ALIRAN NATURALISME
Pada prinsipnya, batas
antara realisme dan naturalisme agak kabur. Sama halnya dengan aliran realisme,
naturalisme juga muncul sebagai reaksi terhadap romantisme. Pengarang naturalisme juga
melukiskan dengan cermat dan teliti apa yang dapat dilihat dan dirasa oleh
pancaindra. Hal yang membedakannya, dalam aliran naturalisme, umumnya, para
pengarang terutama memusatkan perhatian pada alam, pada manifestasi kebendaan
dari kehidupan manusia. Pengungkapan dan penggambaran manusia sebagai makhluk
dalam alam dengan hasrat dan kekurangan yang dimiliki.
Jassin (1982) menyatakan
bahwa naturalisme berkembang berdasarkan filsafat materialisme. Naturalisme
beranggapan bahwa apa yang bisa diraba dengan pancaindra itulah kebenaran.
Materialisme hanya mengakui dunia benda yang dikuasai oleh hukum alam.
Pengarang naturalisme memusatkan perhatian pada kebendaan.
Aliran naturalisme
dirumuskan dan dikembangkan oleh Emile Zola (1840-1902). Ia mengatakan
bahwa pengarang adalah seorang pengamat dan seorang eksperimentalis. Dalam
segala aspek, pengarang harus mengamati dan mencatat semua gejala kehidupan. Oleh karena
itu, seorang pengarang dapat melukiskan kehidupan dari segala segi, baik positif
maupun negatif; apakah kehidupan itu indah atau penuh kegetiran dan kemesuman
(Rampan, 2000: 24).
Naturalisme amat
mementingkan alam semesta. Hal itu sejalan dengan pengertian awalnya bahwa natural
berarti alam, kodrat, tabiat. Tokoh-tokoh naturalism mengungkapkan aspek-aspek
alam semesta yang bersifat fatalistis dan mekanis. Ia juga mementingkan gerak
dan aktivitas manusia yang mewujudkan kebendaan serta kehidupan moral yang rendah.
Kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dalam naturalisme disampaikan dengan
teliti karena telah melalui eksperimentasi seperti dalam ilmu pengetahuan.
Uraian di atas menandai
perbedaan antara realisme dan
naturalisme. Dalam realism pengarang berada di luar dan tidak
ikut campur dalam keseluruhan rangkaian cerita. Tugas utama pengarang hanyalah
mengungkapkan sesuatu seobjektif mungkin tanpa pretensi dan tanpa
prasangka. Sementara itu, dalam naturalisme pengarang ikut terlibat dan
“mengendalikan” objek yang akan diungkapkan. Pengarang mempunyai kekuasaan atas
pandangan dan visi terhadap alam semesta yang dilukiskan.
Hal tersebut sesuai dengan
prinsip yang dikemukakan Emile Zola, tokoh aliran naturalisme. Ia mengatakan
“la natura vue a travers d’un temperament” (Rampan, 2000: 25). Alam dilihat melalui kehangatan rasa karena
akhirnya dirasakan bahwa dunia luar tidak bisa dilukiskan begitu saja. Pusat
pribadi para pengarang atau seniman pasti ikut berbicara.
Sebagai contoh, dikutip di
bawah ini pemaparan naturalisme dalam cerita pendek “Tatoo Burung Elang”
karya S. Sinansari Ecip. Bacalah dengan cermat cerpen di bawah ini, kemudian
cobalah untuk mengidentifikasi warna naturalisme yang ada dalam cerpen
tersebut.
Tatoo Burung Elang
Karya S. Sinansari Ecip
Kulitnya kuning. Rambutnya disisir lurus ke belakang. Matanya
tajam ibarat mata burung elang. Tinginya lumayan, diatas 160 cm, tetapi
lantaran dia kurang berolahraga maka tubuhnya tampak sedikit kerempeng.
“Sungguh mati saya
bukan gali!” ujarnya bersumpah
di depan polisi yang
memeriksanya. Bantahan ini tidak ada gunanya. Malapetaka berikutnya menghadang
di depannya: kamar
tahanan. Malapetaka
pertama adalah hajaran
masyarakat yang dirasakan
ngilu-ngilu di sekujur tubuhnya.
Dia sudah bereriak-teriak setengah mati di dalam bus kota tetapi orang banyak
tidak memperhatikannya. Malah suaranya kalah oleh suara sekelompok penumpang
yang menunjuknya sebagai penjambret.
Dia duga keras, mereka adalah kelompok penjambret.
“Saya bukan
jambret! Saya bukan jambret!” Bantahan ini tidak ada gunanya.
Seperti halnya di dalam pemilu, apa artinya satu suara? Dan orang banyak yang
menunjuk-nunjuk itu pun menanglah. Dia diserahkan kepada polisi setelah dihajar
ramai-ramai.
Kulitnya yang kuning itu menjadikan dia pemuda yang cantik di
kamar tahanan. Dan dia disebut Sang Tokoh. Tanpa bisa menolak Sang Tokoh dijadikan “piala bergilir” (adakah perlu penolakan dalam hidup
ini). Siapa yang berminat, menidurinya. Dia sendiri
tidak mendapatkan manfaat apa-apa, jijik malah. Setiap pengorbanan ternyata untuk
kepentingan pihak yang lain.
Seorang tahanan yang lain, lebih lima puluh tahun umurnya,
menyenanginya. Orang ini sama sekali tidak pernah menyentuh Sang Tokoh untuk
keperluan biologis.
“Saya bekas
pejuang,” katanya memperkenalkan diri.
Dia berhenti sambil menunggu reaksi
lawan bicaranya. Tentu saja Sang Tokoh bertanya di dalam hati,
“Bekas pejuang kok di dalam kamar
tahanan kriminal?” Pertanyaan yang tidak keluar ini dapat ditangkap oleh Pak Tua.
“Saya
tergelincir,” katanya sambil merunduk.
Dengan ucapannya ini Pak Tua seperti minta
dimaklumi bahwa seorang bekas pejuang pun bisa berbuat jahat. “Saya terseret teman dan
menggunakan uang kantor untuk kepentingan pribadi.”
“Kalau begitu
Bapak korupsi,” potong Sang Tokoh.
“Ssssttt!” Pak
Tua menempelkan jari telunjuknya di bibirnya.
“Korupsi,”
kata Sang Tokoh lirih.
“Ya, saya malu.”
“Pada tingkat
sekarang ini, Pak, korupsi tidak perlu membikin
malu. Mumpung ada kesempatan, kapan lagi? Apalagi Bapak
bekas pejuang.”
Pak Tua tertegun. Benar, sekarang inilah kesempatan. Korupsi
tidak merugikan orang lain. Yang rugi kan negara. Negara milik kita semua.
Jadi, uang yang saya ambil pun milik saya juga. Korupsi, jangankan menimbulkan
rasa takut, rasa malu pun tidak. Pembunuhan, pemerkosaan menimbulkan orang lain
takut, tetapi korupsi? Ya, benar, korupsi tidak perlu ditakuti, korupsi tidak
perlu menimbulkan rasa takut. Dalam merenung di sudut kamar tahanan ini, Pak
Tua tiba-tiba tubuhnya terguncang. Ada sesuatu yang menggelora di dalam
dadanya. Dia tidak tahu apa namanya tetapi dapat merasakannya dengan bangga.
Apa yang dibanggakan itu?
“Adik
pendatang baru di sini. Umur berapa?”
“Tiga puluh
lima.”
“Tahun enam
enam dimana?”
“Di Jakarta.”
“Di Lubang
Buaya?”
“Kegiatan di
Lubang Buaya itu tahun enam lima, saya tidak ada di sana.”
“Di mana?”
desak Pak Tua.
“Bapak
menginterogasi?”
“Maaf, saya
sekadar ingin tahu.”
“Saya di Salemba.”
“Ikut bergerak
di awal Orde Baru?”
“Sebelum Orde
Baru lahir saya sudah bergerak tetapi
berperan kecil.”
Pak Tua lalu menjabat tangan Sang Tokoh,
mengguncang-ngguncangnya.
“Tanpa
pergerakan anak-anak muda itu, tidak ada
pemerintahan sekarang
ini,” kata Pak Tua.
“Bapak melebih-lebihkannya. Tanpa perjuangan angkatan Bapak, tidak ada negara kita ini.”
“Ah, Adik juga
pandai melebih-lebihkannya. Yang jelas tidak mungkin satu orang atau satu
lembaga tidak saling bergantung sesamanya.”
“Kalau begitu
landasan berpijak kita sama.”
Maka Sang Tokoh menjadi sahabat Pak Tua. Karena Pak Tua
disegani oleh seisi kamar tahanan yang lain, Sang Tokoh sejak itu tidak
lagi mendapat gangguan teman yang lapar seks. Sang Tokoh menjadi tidak heran
kini bahwa seorang bekas jenderal dapat juga masuk ke kamar tahanan.
“Saya
punya keahlian.”
“Saya tahu,”
potong Sang Tokoh.
“Semua orang
yang pernah menghuni kamar ini saya beri tanda mata hasil keahlian saya itu.”
“Saya juga
ingin.”
Dalam setengah hari pekerjaan tersebut dilakukannya. Nyeri
terasa lebih tajam dibandingkan ketika Sang Tokoh membuat tulisan di dadanya
dulu. Waktu itu Sang tokoh masih menjadi mahasiswa. Lantaran dia sangat
gandrung akan olahraga bela diri silat maka diukirnya kata SILAT di dadanya.
Kepada Pak Tua, Sang Tokoh sengaja minta dibuatkan gambar burung elang yang
memekarkan kedua sayapnya. Elang adalah lambang diriku, bukankah kata
teman-teman mataku seperti mata burung elang?
“Bagus gambar
rajah ini nanti,” kata Pak Tua sambil mengelap luka di punggung Sang Tokoh. Dia merasakan bahwa gambar cukup lebar.
Darah bercampur tinta melumuri punggungnya. Kata SILAT di dadanya pun
diperbaiki oleh Pak Tua.
“Seorang jago
silat tidak perlu mempertontonkan
dirinya.”
Sang Tokoh diam saja. Dia menyerah, apa saja yang dikerjakan
Pak Tua tidak ditolaknya. Dia memuji kehalusan hasil kerja Pak Tua.
Setelah empat hari menahan sakit, selama itu tidak bisa tidur
nyenyak dalam keadaan miring, permukaan borok itu sudah mulai mengelupas. Kulit
muda terasa segar. Selama itu pula baju tidak pernah dikenakannya. Untung tidak
terjadi infeksi. Udara panas di luar dan kepengapan di dalam kamar membuat
cepat sembuh luka-luka bekas rajahan jarum Pak Tua. Lukisan tatoo kemudian
tidak menjadi perhatiannya, seperti teman-teman sekamarnya yang tidak
memperhatikan lukisan di tubuhnya maupun tatoo di tubuh orang lainnya.
Sang Tokoh kemudian keluar dari kamar tahanan. Dia keluar bukan
lantaran dibebaskan pengadilan karena dia memang tidak bersalah, tetapi
lantaran hukumannya dibuat pas dengan masa tahanannya. Hidup seorang diri di
Jakarta ada enak dan ada tidak enaknya. Sejak masuk tahanan, kamar sewanya
dilepaskannya. Tanpa uang di kantong, apa yang bisa dilakukannya.
Sang Tokoh masuk ke warung tegal yang sedang sepi. Dengan terus
terang dia mengaku tidak punya uang dan perlu makan sekadarnya. Dan sungguh
luar biasa, lelaki pemilik warung itu menatapnya sekejap kemudian meraih piring
yang masih basah sehabis dicuci dan mengisinya nasi. Tempe goreng dan tahu
disuguhkan.
“Jangan segan-segan. Saya melihat kejujuran di dalam
matamu.”
Mata Sang Tokoh hampir mengeluarkan air mata. Dia terharu. Luar
biasa pengaruh kata-kata orang tegal tersebut. Sambil menyuap dan mengunyah,
Sang Tokoh teringat hal yang sama sewaktu masih menjadi mahasiswa dulu. Dia
sering kelaparan. Dan langganannya adalah warung soto madura dan warung tegal.
Dengan kepandaian berbahasa Madura dan Bahasa Tegal, segala sesuatunya berjalan
lancar untuk minta makan.
Dari siang sampai petang sudah beberapa kali temannya yang
didatanginya dengan berjalan kaki. Sayang mereka tidak ada di rumah. Mau
bekerja kembali? Menjadi karyawan kecil di perusahaan yang Senin-Kamis hidupnya
lebih banyak makan hati. Atau numpang tidur di kamar sewanya? Mereka sudah tahu
Sang Tokoh masuk kamar tahanan. Rasa malu sangat kuat mencengkeramnya. Sang
Tokoh duduk di emperan toko Blok M, Kebayoran Baru. Setiap perempuan yang lewat
tampaknya semua cantik. Ditatapnya gedung-gedung bertingkat. Ah, Sarinah Jaya.
Sang Tokoh teringat, salah seorang pimpinan perusahaan yang jaya ini
adalah teman sekuliahnya dulu. Sekali lagi rasa malu mencengkeramnya. Apa
sih salahku? Saya kan tidak salah. Saya dibuat salah oleh penumpang bis yang
menunjuk-nunjuk. Biasa, maling teriak maling. Dan kemudian saya dibuat bersalah
lagi oleh para hakim. Semua orang sudah tahu saya salah. Yang melihat saya
hanya penjual nasi warung tegal.
Dengan rasa penat yang luar biasa, Sang Tokoh bangkit dari
duduknya. Dia menuju gedung
bertingkat tempat temannya
bekerja tersebut. Pintu sudah
hampir ditutup. Dia menahan pintu itu. Dua orang laki-laki sekonyong-konyong
menyeretnya dari luar. Bajunya yang tipis robek. Dia dilemparkan ke dalam jip.
Dan jip Jepang segera dilarikan kencang ke pinggir kota. Sang Tokoh tidak tahu,
tidak kenal siapa mereka.
Mobil meminggir setelah sopirnya diberi kode oleh laki-laki
yang duduk di sampingnya. Dua laki-laki yang duduk di belakang segera meringkus kedua tangan Sang Tokoh.
Wajahnya disoroti lampu senter. Sorot lampu kemudian turun ke
bagian dada. Penyenternya terkejut. Keempat orang itu bergantian membaca
tulisan di dada Sang Tokoh. Mereka terheran-heran.
Salah seorang lelaki itu kemudian merobek bagian belakang baju
Sang Tokoh. Mereka lebih terheran-heran lagi. Sorot lampu senter
seperti tidak yakin menerangi gambar di punggung Sang Tokoh.
“Astaga,
apa yang terjadi?” keluh salah seorang.
“Kali ini kita
bertemu orang yang tahan peluru.”
Dalam sekejap, Sang Tokoh dapat menguasai situasi dan mengerti
apa yang tengah terjadi. Dia mengucap syukur atas hasil kerja Pak Tua di dalam
kamar tahanan. Tetapi apakah yang kini diherani oleh mereka, tanya Sang Tokoh
kepada diri sendiri. Apa artinya buat mereka gambar burung elang itu?
“Sejak kapan
kamu punya tatoo ini?” tanya salah seorang sambil menepuk punggungnya.
“Sudah lama.”
“Di mana dikerjakan?”
“Siapa yang menggambar?”
“Seorang
jenderal.”
Mereka saling berpandangan. Sang Tokoh mengerti bahwa dia
sedang berada di atas angin. Kesempatan yang pendek ini harus dimanfaatkan.
“Boleh saya
turun?” tanyanya.
“Turunlah!”
jawab orang yang di depan. Sang Tokoh
turun. Dia berjalan dengan tenang memunggungi jip.
Angin malam itu membuatnya kedinginan. Robekan bajunya berkibar-kibar lesu.
Salah seorang yang
duduk di jok
belakang mengambil sesuatu
dari bawah ketiaknya. Dengan cepat dipasang alat kedap suara.
Temannya yang
di depan melarang dan nyeletuk, “Dia
berada di luar jarak tembak kita.”
Pak Tua itu masih meringkuk di kamar penjara. Dia dijatuhi
hukuman berat. Satu hal yang tidak bisa diketahuinya dengan sadar bahwa dia
telah memberi sebuah nyawa sambungan kepada Sang Tokoh. Di dada pemuda yang
berkulit kuning itu
tetap akan dapat
dibaca tulisan berwarna biru pekat
“Pancasila”.di punggung Sang Tokoh, Pak Tua tidak menggambar
burung elang yang mengepakkan sayapnya tetapi digambarnya sejenis burung elang
yang kepalanya menoleh ke kanan dengan jumlah bulu sayapnya tujuh belas lembar
dan bulu ekornya delapan lembar.
Makasar, Agustus 1983
Catatan:
gali: pencoleng; penodong;
perampok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar