Sinopsis
Di sebuah kota kecil,
Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat
sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda,
bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis,
Mariamin yang memiliki paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua
laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat
Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Semua
dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak pernah mengeluh dan
putus asa. Semua permasalahan hidupnya diserahkan kepada Allah Subhanahu
wata’ala.
Kisah sedihnya bermula
setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan
mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah
yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya
lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu
sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli
pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Harta warisan yang seharusnya
dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda Mulia, Sutan Barigin
tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin malah
memperkarakannya ke pengadilan. Yang paling keji Sutan Barigin tidak mau
mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai
saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan
ia terima. Sutan Barigin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan
di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin
kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas
warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih
tinggi di Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak
terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga dari
Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara
dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah
sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri
dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna. Kesengsaraan
dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga ikut
menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin terkena
penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang tamak itu.
Kesedihan Mariamin
disusul oleh kepergian kekasihnya Aminuddin ke kota Medan, hingga hancurlah
semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Aminuddin adalah
anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang terkenal kedermawanan dan
kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok sangat segan dan hormat kepada
keluarga itu. Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya
unuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab
sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua
remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama,
membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji ingin mempersunting gadis itu jika
kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah
mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya
bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.
Berita itu tentu saja
amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang selalu berharap agar
kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup
bahagia. Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya
sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih
kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin,
perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga
miskin itu. Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin.
Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya
beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin
dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin
kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat
dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan
niat putranya.
Untuk tidak menyakiti
hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun untuk melihat
bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu
daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan
tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan
Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib
buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa
selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya. Kedua
orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut
Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang
berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang
tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan
membawa Mariamin. Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram
kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga
meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun.
Betapa sukacita
Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala
sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera
terobati. Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata,
ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama
Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua
dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima
gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang
mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah
sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.
Setahun setelah
peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran
Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya
hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut
pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi
penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan
Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya
hanya karena akan mengawini Mariamin. Kasibun kemudian membawa Mariamin ke
Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya
ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan
hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya
ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran
dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan
Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak
segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam. Dalam suasana kehidupan rumah
tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang.
Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati,
tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin
mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa
istrinya sejadi-jadinya. Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin
akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi
kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan
hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Mariamin akhirnya
terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian,
penderitaanya yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan
kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur
dengan jasad yang kasar itu.
A.
Unsur
Intrinsik Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
1. Tema
Roman “Azab dan Sengsara” karya Merari
Siregar ini mengangkat tema tentang adat dan kebiasaan di masyarakat yang dapat
membawa kesengsaraan dalam kehidupan. Adat dan kebiasaan yang dijelaskan dalam
novel tersebut adalah adat dan kebiasaan menjodohkan anak yang menyebabkan
kesengsaraan untuk dua anak manusia karena kasih tak sampai.
2.
Amanat
jangan sombong atau menghambur-hamburkan
uang untuk sesuatu yang percuma atau tidak berguna. Lebih baik uang tersebut
diberikan kepada yang memeng membutuhkan.
agama adalah penopang hidup yang
memberikan tenaga dan semangat untuk menjalani semua derita dan kesukaan hidup
ini. Sehingga jangan mudah terbawa oleh hasutan setan yang akan menjerumuskan.
Padahal Tuhan menjadikan makhluk
berpasang-pasangan agar mereka saling berkasih-kasihan bukan mendatangkan azab
dan kesengsaraan seperti perjodohan yang hanya ditentukan oleh orang tua dan
anak hanya tinggal mengikuti keninginana orang tua tersebut.
Adat dan kebiasaan yang kurang baik
sebaiknya di hilangkan agar tidak menyengsarakan bagi orang yang
menjalankannya.
Jangan mengambil hak milik orang lain.
3.
Penokohan
Mariamin : Baik, penurut, rajin, ramah,
lemah lembut, penyayang, penyabar, dan pemaaf.
Aminu’ddin : Baik, rajin, tidak sombong,
pemaaf, suka menolong, bijaksana, dan berbakti.
Sutan Baringin atau Ayah Mariamin :
Pemarah, malas, tamak, pemboros, angkuh, dan bengis.
Nuria atau Ibu Mariamin : Penyabar,
sederhana, setia, dan pengiba
Baginda Diatas atau Ayah Aminu’ddin : sombong.
Ibu Aminu’ddin : Baik, pengiba, dan
setia.
Kasibun : Jahat, bengis, pandai dalam
tipu daya, buas, dan ganas
Marah Sait : Jahat, dan suka menghasut
4.
Latar (Setting)
a. Latar
Tempat
di Kota Sipirok
“Akan tetapi siapakah yang duduk di
sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di
tengah-tengah kota Sipirok”.
di batu besar
“Sahut gadis itu seraya berdiri dari
batu besar itu, yang biasa tempat dia duduk pada waktu petang”.
di rumah Mariamin
“rumah kecil tempat kediaman ibu dan
anaknya itu”.
di sebelah rusuk rumah
“Akan tetapi siapakah yang duduk di
sana, di sebelah rusuk rumah beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di
tengah-tengah kota Sipirok”.
di kampung A
“Anak muda itu anak kepala kampung yang
memerintahkan kampung A itu”.
di sawah dala
“
Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi padinya”.
di tepi sungai
“Tiada berapa lama sampailah mereka ke
tepi sungai yang akan diseberangi mereka itu”.
di stasiun Pulau Berayan
“Setelah habis mandi dan berpakaian,
pergilah Aminuddin ke stasiun Pulau Berayan”.
di Deli
“Setelah lengkaplah sekalian, Baginda di
atas pun berangkatlah ke Deli mengantarkan menantunya”.
di Medan
“Ia sudah mendengar kabar perkawinan
Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang ke Medan”.
b. Latar
Waktu
Sore hari
“Dari yang panas itu berangsur-angsur
menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam
peraduannya, kebalik gunung Gunung Sibualbuali, yang menjadi watas dataran
tinggi Sipirok itu”
Malam hari
“Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi
saya menunggu Angkang,”
Pagi hari
“Waktu pukul tujuh pagi Mariamin sudah
sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminuddin”
Hari pertama
“Tepat hari pertama, setelah Mariamin
sembuh, maka datanglah Baginda Diatas dengan istrinya membawa nasi bungkus ke
rumah ibu Mariamin”.
Hari Jumat
“Waktunya berangkat pumn sudah dekat,
yakni besok hari Jumat”.
Tanggal enam belas
“Adapun orang itu tiadalah lain memang
Aminuddin. Waktu itu tanggal enam belas waktu istirahat bagi orang kebun”.
Pukul setengah dua belas
“Pukul setengah dua belas, pulanglah
Aminuddin meninggalkan rumah itu”
Pagi hari
“Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota
Medan belum berapa ramai”.
c. Latar
Suasana
Menyedihkan, senang, haru, tegang.
5.
Sudut Pandang
a. Orang
ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda.
b. Orang
ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak).
6.
Alur
a. Pengenalan
Dijelaskan bahwa di sebuah kota kecil,
Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat
sebuah keluarga terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia
memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin dan Anak kedua
laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat
Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Kisah
sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya
meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun.
Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang
banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh
perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus,
keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Dan
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang terkenal
kedermawanan dan kekayaannya, akan tetapi baginda Diatas memiliki sifat
sombong.
b. Menuju
konflik
Aminudin dan Mariamin memang sudah
berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa
benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk
hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji ingin mempersunting
gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera
dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera
mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke
Medan.
Berita itu tentu saja amat
menggembirakan hati Mariamin. Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua
orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Namun, lain halnya
pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya
dan disegani, ia tidak setuju dengan rencana Aminudin, ia ingin agar anaknya
beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin
dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat..
c. Konflik
memuncak
Karena baginda Diatas tidak ingin
anaknya Aminudin menikah dengan Mariamin sehingga baginda Diatas mengajak istri
nya keseorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan
Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena
sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang
tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun
bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu
Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya
baik bagi kehidupan anaknya. Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang
seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan
kebangsawanan dan kekayaannya. Kemudian ayahnya mengabarkan kepada Aminudin
bahwa ayahnya akan membawa gadis yang dicintainya, yaitu Mariamin. Ia
membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati. Namun, apa
yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa
pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun
begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt
negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang
dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam
pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin. Bagi
Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah
sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.
d. Klimaks
Setahun setelah peristiwa itu, atas
kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki
yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun
seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum
beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin
terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki
itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita
itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang
dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya,
Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya.
Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak
dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan
penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan,
Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin
menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun,
kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa
belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.
e. Penyelesaian
Tak kuasa menerima perlakuan kejam
Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada
polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan
sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke
Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaanya yang silih
berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan
sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar
itu.
7.
Bahasa Figuratif
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel
ini yaitu:
a. Simile:
Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan
dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll. Simile adalah bahasa kiasan
berupa pernyataan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata
pembanding. Secara eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian
kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa.
“bagai ombak yang berpalu-paluan di atas laut
yang lebar”
“
sedang padi itu bagai air yang hijau rupanya”
“
bagai orang yang hanyut di lautan kesusahan”
“
karena nasib manusia itu bagai roda kadang-kadang di atas, kadang-kadang di
bawah”
“ibarat
bunga yang belum kembang”
“
“ bagai matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan”
“ibarat
gendang kalau dipalu keras suaranya, dibelah tak ada isinya”
“
sekarang tak tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya ibarat mata air
yang ditutup”
“indah
rupanya, bagai disepuh dengan emas juwita”
“angin
yang keras itu makin kencang dan kilat pun berturut-turut diiringi halilintar
yang gemuruh, bagai gunung runtuh lakunya”
b. Metafora
Majas metafora membatu orang yang
berbicara atau menulis untuk menggambarkan hal-hal dengan jelas, dengan cara
membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lain yang emiliki ciri-ciri dan
sifat yang sama.
“ Raja siang itu akan masuk kedalam
keperaduannya”
“
masing-masing menyanyi memuja tuhan dan memberi hormat kepada raja siang”
“
ibu nya melihat awan yang menutup dahi anaknya itu”
“
mengusir kekuatan dewi malam yang memerintahkan”
c. Personifikasi
Personifikasi
ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda
yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak.
“ angin gunung yang lemah lembut itu
berhembuslah”
“sehingga
daun dan cabang-cabang kayu itu bergoyang-goyang secara perlahan-lahan”
“Batang
padi yang tumbuh disawah luas itupun dibuai-buaikan angin”
d. Hiperbola
Hiperbola merupakan pengungkapan yang
melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk
akal.
“
matanya yang berkilat-kilat serta terang itu”
“
dan air matanya bercucuran pada pipi yang halus itu”
“
cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si kecil”
e. Oksimoron
Oksimoron
ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung
pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau
dalam kalimat yang sama.
“ sungguh pun tak enak dirasa lidah ku nanti,
akan tetapi lezat juga pada perasaan hati ku”
f. Paradoks
Paradoks:
Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun
sebenarnya keduanya benar.
“
matanya saja yang menatap kesana, tetapi daun beringin yang bergoyang-goyang
itu tak kan nampak pada matanya”
“
tiadalah ia melihat nyala lampu itu, melainkan seolah-olah barang lain lah yang
nampak olehnya”
2 komentar:
Makasii sangat bermanfaat
iya sama sama
Posting Komentar