PUISI SEGATA
Makalah Ini
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Sastra Lampung
Dosen Pengampu: Drs. Muntazir, M.M.,
M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok VII
Prodi: Bahasa
dan Sastra Indonesia
1. Nanang
Arifin 14040072
2. Haerudin 14040056
3. Sri
Wulandari 14040052
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU
LAMPUNG
2016
IDENTITAS
SUMBER
Nama : Iskandar Muda
TTL : Way Jaha, 19 Oktober 1971
Alamat : Way Jaha
Agama : Islam
Jabatan : Kepala Pekon
Gelar : Khadin Perdana Kesuma Jaya
Iskandar Muda
Status : Kepala Pekon Way Jaha
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji
dan syukur kami sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
karunia-Nya, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih juga
kami sampaikan kepada bapak dosen pengampu Drs. Muntazir M.M., M.Pd. yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah
ini membahas tentang Puisi Segata. Deengan membaca makalah ini, pembaca akan
mengetahui sejauh mana pengetahuannya tentang isi makalah ini.
Seperti
perumpamaan mengatakan, “tak ada gading yang tak retak” begitu juga dengan
makalah saya ini, sekalipun kami sudah berusaha menyusun makalah ini dengan
baik kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dari Anda sekalian.
Demikianlah,
semoga makalag ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan dapat dipergunakan
sebaik-baiknya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Pringsewu, 11 April 2016
Penyusun,
Kelompok VII
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
IDENTITAS SUMBER ..................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PEDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan dan
Kegunaan ........................................................................... 2
BAB II LAPORAN HASIL PENELITIAN
2.1 Pengertian
Segata ................................................................................. 3
2.2 Tujuan .................................................................................................. 3
2.3 Fungsi dan
Kegunaan ........................................................................... 4
2.4 Prosesi
Pemakaian ................................................................................. 4
2.5 Jenis
Segata ........................................................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 17
3.2 Saran ..................................................................................................... 17
LAMPIRAN........................................................................................................
v
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ vii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Lampung sebagai provinsi yang secara
geografis terletak di ujung selatan dipulau Sumatra tidak hanya kaya akan
sumber daya alam, tetapi juga kaya akan sumber daya manusianya. Puluhan
sastrawan telah lahir di Sai Bumi Ruwa Jurai, negeri yang dihunni oleh dua
jenis penduduk, pribumi dan pendatang. Dalam memajukan sastra indonesia, tidak
sedikit sastrawan Lampung yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan
sastra, seperti Motinggo Busye, Isbedy Setiawan ZS., Inggit Patria Marga, dan
Ari Pahala Hutabara. Tidak sedikit pula karya-karya mereka yang dijadikan perbincangan
oleh para kritikus sastra.
Puisi yang sering kita sebut
kata-kata indah yang bermakna dan mengandung pesan kerap kali hadir dalam
kehidupan kita sehari-hari. Memang pemahaman tentang puisi secara baik jarang
kita temui dalam masyarakat umum dan pada anak sekolah atau pelajar. Mereka
sering sekali mengatakan puisi hanya sebatas kata-kata indah, padahal sejatinya
puisi ada yang mengandung arti kata-kata kasar, serapan, sindiran dan mengutuk.
Oleh karena itu penulis menyusun
makalah ini yang berisi materi penjelasan salah satu jenis puisi lampung yaitu:
puisi Segata agar pembaca mengetahui dan memiliki pemahaman tentang puisi
segata yang menjadi salah satu sastra lampung yang harus kita ketahui, pahami
serta menambah wawasan kita mengenai sastra lampung.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud puisi segata?
1.2.2 Apa tujuan puisi segata?
1.2.3 Apakah kegunaan puisi segata?
1.2.4 Bagaimana proses pelaksanaanya?
1.2.5 Bagaimana contoh puisi segata?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.3.1 Agar dapat mengetahui tentang puisi segata;
1.3.2 Agar dapat mengetahui tujuannya;
1.3.3 Agar dapat mengetahui kegunaan puisi segata;
1.3.4 Agar dapat mengetahui bagaimana proses pelaksanaanya;
1.3.5 Agar dapat memahami jenis puisi segata;
BAB
I
LAPORAN
HASIL PENELITIAN
2.1 Pengertian
Segata
Puisi merupakan karya sastra yang
terikat oleh aturan-aturan tertentu seperti banyak suku kata setiap baris,
banyaknya baris setiap bait, persajakan atau rima.
Segata yaitu sastra lampung yang
berbentuk puisi yang tiap baitnya terdiri dari 4 baris, dan bersajak akhir ab-ab.
Jenis puisi ini pada umumnya digunakan masyarakat Lampung dialek “A” yang digunakan
sesuai dengan isi puisi.
Ditinjau dari isinya sagata ada 5
macam yaitu:
a. Segata Ngebabang ( pantun anak-anak)
b. Segata Buhaga (pantun percintaan)
c. Segata Nangguh (pantun ngebuka atau penutup kegiatan)
d. Segata Lalagaan (pantun berolok-olok atau kocak)
e. Segata Nyindekh (pantun sindiran)
f. Segata Hehiwang (pantun duka cita)
2.2 Tujuan
Untuk mempertahankan adat biasanya dalam acara atau kegiatan:
a. Marhabah
b. Akikah
c. Sunatan
d. Perkawinan
e. Kewafatan
f. Saat-saat setelah Wafat
2.3 Fungsi dan
Kegunaan
Segata dalam kehidupan masyarakat Lampung memiliki beberapa fungsi
yaitu:
1. Digunakan sebagai ungkapan isi
hati kepada seseorang (dari sibujang kepada si gadis atau sebaliknya).
2. Dijadikan alat penghibur pada
suasana bersantai atau dijadikan alat penghilang kejenuhan.
3. Dijadikan Pelengkap acara cangget
tarian adat (dilingkungan masyarakat Lampung pepadun).
4. Sebagai sarana pendidikan.
5. Untuk menyampaikan pesan-pesan
pembangunan.
6. Sebagai sarana pembuka dan
penutup suatu acara.
2.4 Prosesi
Pemakaian
Upacara
perkawinan sering dirangkaikan dengan upacara Cakak Pepadun (naik
tahta kepenyimbangan adat), Negi
Pepadun (mendirikan
pepadun),
Nyetih Pepadun (keluar
dari pepadun), Bebelah Pepadun (membagi pepadun) atau Liwak Pepadun (memisah dari pepadun). Dalam upacara
adat ini, tata cara adatnya bertingkat sebagaimana bentuk masyarakat, hak-hak
memakai pakaian adat dan perkawinan menurut adat istiadat setempat.
Dalam hal
perkawinan masyarakat adat Pepadun, Tahapan
Pertama adalah acara
serah terima dari tuan rumah yang mempunyai hajat kepada penyimbang atau ketua
adat melalui upacaramerwatin (musyawarah adat), yakni menyerahkan
peserahan disertai penyerahan sigeh (tempat sirih) berisi galang sili (uang sidang) dan pengutenan. Upacara
ini disertai dengan acara pemotongan kerbau untuk menjamu para penyimbang.
Setelah itu para penyimbang mempersiapkan serta pengumpulkan para penglaku (petugas pelaksana adat), para ibu-ibu(bubbai),
(mirul, majau), bujang-gadis (mulei-menganai), tukang pencak dan lain-lain.
Prosesi Cakak
Pepadun
Sebelum acara-acara
lainnya ditentukan, terlebih dahulu diadakan acara ngakuk majau (ngibal serbou/bumbang aji). Dalam
acara tersebut, rombongan para penyimbang menuju ke tempat mempelai wanita.
Upacara itu dilakukan dengan tata tertib yang diatur oleh penglaku atau pematu
(pengatur acara). Sesampainya di tempat kediaman mempelai wanita, terlebih
dahulu dilepaskan tembakan sebagai pertanda kedatangannya. Dengan adanya
pertanda ini, maka para penyimbang dari pihak mempelai wanita mengutus dua
orang anggotanya yang berpakaian biasa dengan memakai “Kikat Akkin” (ikat kepala kain Lampung) dan
bersenjatakan keris atau punduk yang gagangnya ditonjolkan di luar baju, menuju
rombongan para penyimbang dari pihak mempelai pria untuk memastikan apakah
benar mereka telah sampai. Acara itu disebut “Bawasan”, yaitu menjenguk atau datang menemui.
Setelah
perutusan tersebut berdialog dengan rombongan para penyimbang pihak keluarga
pria, utusan itu kembali dan memberitahukan pada para penyimbang dari pihak
keluarga wanita kalau mereka sudah sampai ke tempat tujuan. Lalu para
penyimbang dari pihak keluarga gadis memerintahkan kepada para penglaku untuk
mengatur arak-arakan, karena akan menyambut kedatangan rombongan para
penyimbang dari pihak keluarga pria.
Keberangkatan
rombongan arak-arakan dari pihak keluarga wanita di atur dari sessat yang
dipimpin para penyimbang, dengan ditandai tembakan dan diiringi tetabuhan serta
pencak. Sedangkan keberangkatan arak-arakan dari pihak keluarga pria inipun
ditandai dengan tembakan yang diiringi dengan tetabuhan serta pencak dan
mempelai pria berpakaian adat dengan menaiki rata (kereta dorong) menuju ke
tempat mempelai wanita. Setelah kedua rombongan ini saling mendekati,
masing-masing juru bicara penyimbang berdialog yang dibatasi oleh appeng(rintangan/tali pengikat
sanggar). Setelah terdapat kata sepakat, juru bicara penyimbang dari pihak
mempelai pria secara simbolis memotong appeng dengan mempergunakan
punduk/keris.
Kemudian kedua
rombongan ini bergabung dengan berjalan di kurung kain putih (kandang raring)
melewati lawang kuri menuju ke sessat. Sesampainya ke tempat tujuan, rombongan
mempelai pria dipisahkan, rombongan para penyimbang di bawa ke dalam sessat,
rombongan mulei-menganai diterima penglaku menganai di tempat yang telah
disediakan, rombongan ibu-ibu (bubbai) dibawa ke rumah keluarga gadis dengan
meniti titian koyo (kain putih yang ditelentangkan) sampai di tangga rumah.
Mempelai pria di bawa ke rumah seorang penyimbang yang telah di tunjuk perwatin
adat. Barang-barang berupa biaya adat, sereh atau uang jujur, beberapa nampan
berisi dodol, kue-kue, sirih pinang gambir dan sebagainya dibawa dan diantarkan
ke dalam sessat.
Didalam sessat
inilah secara resmi para penyimbang dari mempelai pria menyerahkan seluruh
barang bawaan kepada para penyimbang pihak mempelai wanita. Selesai acara
penerimaan barang-barang bawaan ini, maka acara di tutup dengan makan
bersama yang di sebut dengan “pangan kibau pemahaw temui” (makan bersama
dengan para tamu).
Puncak acara
di tempat mempelai wanita adalah acara temu (perkawinan menurut adat Lampung),
diatas lunjuk atau patcah aji oleh para tuwalo anow (istri para penyimbang)
yang hadir dan di tunjuk oleh para penyimbang dengan dirangkaikan acara musek, yaitu menyuapi kedua
mempelai. Kemudian dilanjutkan dengan mengumumkan/ mencanangkan amai-adek atau
gelar yang dilakukan penglaku. Setelah pemberian amai-adek/gelar tersebut,
diteruskan dengan acara pengadau mulei, yakni penyampaian kata perpisahan pihak
mempelai wanita terhadap orangtuanya, keluarga, lebu kelamo, para penyimbang,
para penglaku dan handai tolan yang hadir.
Acara yang
terakhir yaitu ngebekas,
dimana orang tua atau ketua perwatin adat dari pihak mempelai wanita
menyerahkan mempelai wanita kepada ketua perwatin adat pihak mempelai pria.
Secara simbolis, acara serah terima ini ditandai dengan menyerahkan sebuah
tombak atau payan yang di lilit dengan kain putih dan sekaligus menyerahkan
barang-barang bawaan/sesan mempelai wanita. Acara penyambutan di tempat
mempelai pria dilakukan pula dengan upacara kebesaran adat. Sesampainya di
tempat keluarga pria dilakukan pula acara musek, yakni menyuapi kedua mempelai.
Tahap Kedua, di tempat mempelai pria adalah memberi
batasan acara perkawinan, apakah perkawinan tersebut cuma sampai pada
acara cakak pepadun (penobatan pengantin sebagai penyimbang). Di dalam
musyawarah ini juga ditemukan siapa saja yang akan diundang untuk menghadiri
perkawinan adat tersebut.
Undangan/uleman
secara adat biasanya menyiapkan perbekalan prosesi berisi dodol, kue dan uang
yang di bungkus dengan simpak tangan/kain seribu. Setiap marga di beri satu
uleman disampaikan kepada tetua adat. Tetua adat kemudian meneruskan berita itu
pada seluruh anggota marga dan menunjuk beberapa orang wakil marga untuk diajak
menghadiri uleman yang telah mereka terima bersama.
Tahap Ketiga, upacara turun duwai (turun mandi). Acara
ini merupakan acara puncak pada suatu pernikahan sekaligus pemberian gelar bagi
kedua mempelai. Acara tersebut dilaksanakan di sebuah panggung kehormatan yang
di sebut patcah aji.
Setelah
penglaku gawi/protokol memukul canang, lalu mengumumkan bahwa upacara turun
duwai dimulai, maka mempelai diiringi tuwalau anau (orang tua mempelai), lebau
kelamo (paman mempelai), benulung (kakak mempelai) dan para penyimbang yang
hadir. Keluarga mempelai berjalan beriring-iringan dengan memegang pedang yang
digantungi kibuk uluw uwo/kendi khas Lampung, bibit kelapa, alat matok/alat
tenun, gulungan benang, padi dan buah-buahan yang disiapkan oleh batangan atau
orang tua mempelai, berjalan menuju patcah aji.
Mengian
(pengantian pria) dan majau (pengantin wanita) duduk berdampingan.
Masing-masing berpakaian kebesaran bagai “raja” dan “ratu” didampingi batang
tuwalau anau, lebuw kelamo atau para tatua keluarga. Selanjutnya canang
dibunyikan kembali, penglaku gawi mengumumkan upacara patcah aji segera di
mulai. Upacaranya khas serta mempunyai kesan tersendiri. Jempol kaki/ibu jari
kedua mempelai dipertemukan, di pandu salah satu wakil keluarga, lebau kelamo,
benulung dan batang pangkal.
Setelah upacara
pertemuan kaki jempol kedua mempelai selesai, dilanjutkan dengan acara musek.
Dalam acara musek itu, kedua mempelai di suap panganan yang dilakukan batang
pangkal. Lebaw kelamo dan benulung, diteruskan tumalau anau. Selanjutnya sisa
panganan dibagi-bagikan kepada tumalau anau yang berada di patcah aji setelah
upacara turun duwai selesai. Pembagian uang/penyujutan diberikan pada seluruh
penyimbang yang berada di patcah aji.
Canang
ditabuh, penglaku gawi memberitahukan bahwa upacara inai adek/pemberian gelar
segera dimulai. Kemudian lebau kelamo, benulung, batang pangkal dan para
penyimbang menuju ke patcah aji untuk memberikan gelar kepada kedua mempelai.
Setelah pemberian gelar selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan penyampaian
nasehat yang dikumandangkan dengan pantun-pantun ditujukan kepada kedua
mempelai. Lalu dilanjutkan dengan upacara pemberian selamat oleh para
penyimbang dan penglaku tuho sambil menyerahkan dau/uang penyaliman. Dau
penyaliman diberikan pada seluruh penyimbang yang hadir. Dengan demikian
berakhirlah upacara turun duwai.
Pada malam
harinya dilakukan acara Cangget (tari menari adat; Cangget Mepadun).
Keesokan harinya dilaksanakan acara puncak cakak
pepadun (naik tahta
kepenyimbangan adat), dimana seorang calon penyimbang yang akan dinobatkan
menjadi penyimbang dengan gelar tertinggi yaitu gelar Suttan dengan mengendarai
jepano (tandu) menuju balai adat (sessat) dengan diiringi para penyimbang,
tuwalau anau (tua adat kaum ibu/orang tua mempelai) memakai kanduk liling
(kanduh selekap), lebu kelamo (paman mempelai), mengiyan (ipar lelaki), mirul
(saudara wanita yang sudah menikah). Sesampainya di balai adat, acara
selanjutnya adalah Tari
Tigel/Ngigel Mepadun. Sesudah itu calon penyimbang didudukkan
diatas pepadun dengan dicanangkan gelarnya didalam adat Pepadun. Maka berakhir
pulalah prosesi upacara balak cakak pepadun.
Jalinan
kekerabatan penduduk asli Lampung dewasa ini, sudah banyak mereka yang tidak
lagi menikah sesuku. Pembauran masyarakat yang beragam telah pula mempengaruhi
suatu perkawinan. Sekarang banyak individu suku Lampung, baik pria maupun
wanita atau sebaliknya menikah dengan pria maupun wanita diluar suku. Perbedaan
suku bukan lagi hal yang perlu dipersoalkan. Dalam pernikahan, selain
dilaksanakan dengan prosesi adat Lampung, ada juga yang melaksanakan prosesi
adat pihak mempelainya.
s
5. Jenis Segata
a. Segata Ngebabang ( pantun
anak-anak)
Jenis puisi yang digunakan untuk
menghibur sekaligus berfungsi sebagai sarana pendidikan ketika mengasuh atau
mendidik anak-anak oleh orang tua atau seorang kakak kepada adiknya.
Contoh:
Dang miwang niku adik Jangan
menangis engakau adik
Mak lagi mit ngupi Ibu sedang kekebun kopi
Mulani kawai Cakhik Makanya berbaju robek
Si helau mak kebeli Yang bagus tidak terbeli
Yu kidah itik lunik Itulah itk kecil
Begundai-gundai diwai Berenang-renang di air
Dang ngakuk maju lunik Jangan
mengambil istri kecil
Kantu miyoh di apai Nanti kencing ditikar
Api sai nguek-nuek Apa yang menguak-nguak
Kebau dalom jelatong Kerbau dalam jelatang
Bhkakpai khangok nenek Buka dulu pintu nenek
Ajo Umpumu Khatong Ini cucumu datang
2. Segata Buhaga (pantun percintaan)
Dialek “O”
Mejeng-mejeng di gaghang Duduk-duduk di tempat cuci piring
Ngakuk batang mengkudu Ambil pohon mengkudu
Niku dang miwang –miwang Kamu jangan menangis
Judu gham pasti tenggu Jodoh kita pasti menunggu
Ngakuk jas di teladas Mengambil jas diteladas
Sembahyang di mesujei sembahyang dimesuji
Mu ajak kawin ganas Kau ajak main mau
Tapi niku dang budei Tapi jangan kamu bohong
Dialek “A”
B1. Api sai ngamban-amban Apa yang terapung-apung
Seluang mapah umbak Seluang
menahan ombak
Angon haga perkenalan Maksud
ingin berkenalan
Kiniku suka dinyak Jika tak keberatan
G1. Niku kenal dinyak mak Kamu kenal padaku tidak
Nyak kenal niku makung Daku kenal padamu belum
Ampai pingsan kuliyak Baru
saja ku pandang
Angon radu tilangsung Hati
sudah kesemsem
B2. Apiki inda-inda Apakah hanya kira-kira
Kibajong anjak niku Atau betul dari hatimu
Ki niat sadu saka Kalau niat sudah lama
Kidang nyak litom diku Kumalu
pada dirimu
G2. Takkona cawa lilik Tidak
perlu berbelit-belit
Mak guna main-main Tak
berguna bermain-main
Cawako kik sai betik Katakan
jika yang baik
Kimawat bacak ikin Kalau
tidak lebih baik jangan
3. Segata Nangguh (pantun ngebuka atau penutup kegiatan)
Api penggali lawas Apa penggali laos
Pakai tembilang besi Pakai linggis Besi
Mekhanai ngawas-awas Hai bujang hati-hati
Nayah muli ngebudi Banyak gadis berdusta
Dengak-denguk dikubang Dengak denguk dikubangan
Kemincak tukhun mandi Kodok turun mandi
Mati leju nyak lalang Alangkah puas saja tertawa
Bebai tuha gegekh sugi Nenek-nenek susurnya jatuh
Midokh mit pasakh bakhu Jalan–jalan kepasar baru
Makai celana kakhung Memakai celana karung
Kundangku telu-telu Pacarku ada tiga
Sai kinyut khuwa lijung Satu pergi yang dua kabur
Mit wakhung beli minyak Kewarung beli minyak
Ngusung duit sekhinggit Bawa uang seringgit
Sapa mak haga dinyak Siapa yang tak suka aku
Makni haga ku pitit Ibunya nanti ku cubit
Ija kham lapah bakhong Mari jalan bersama
Niku mena nyak dukhi Kau di depan aku iringi
Apai nihan nyak mejong Baru
saja aku duduk
Luakh buwak khek kupi Keluar
kue dan kopi
Kecat jengan di tataan Hampar tikar di tataan
Kambing joget dimeja Kambing
berjoget dimeja
Nyak menyang kebetongan Kumakan kekenyangan
Kajikhik dicelana Menceret dicelana
Bangikni pisang ambon Anaknya pisang ambon
Tikanik panak khani Dimakan panas hari
Mentuha sakik eapon Mertua sakit gigi
Nyak sai ngudut rurukni Aku
menghisap rokoknya
4. Segata Nyindekh (pantun sindiran)
Tembakau buang urat Tembakau buang uratnya
Udutan tua ajei Rokoknya tuan aji
Deniyo kak ago kiamat Dunia sudah mau kiamat
Nayah bebai wayah mulei Banyak ibu berdandan seperti gadis
Ngandesus angin liyu Sepoi-sepoi angin berlalu
Tegogokh minih mangga Terjatuh juga mangga
Muli tegok pembuyu Gadis tegak bagai penjolok
Pak sesen mak haga Walau sesenpun kutak mau
5. Segata Nangguh (pantun ngebuka atau penutup kegiatan)
Salam pembuka:
Assalamu’alaikum Assalamu’alaikum
Salam pembuka cawa Salam
pembuka kata
Jama seunyinni kaum Pada
semua hadirin
Seunyinni siwat dija Semua
yang berada disini
Ajo sembah tisusun Ini sembah disusun
Tisusun culuk khua Disusun tangan dua
Mahap wi ngilu ampun Mohon maaf minta ampun
Kantu salah lalika Jika salah Bicara
Salam penutup:
Lamen wat sengep sai patok Kalau ada jarum yang patah
Dang sippan dilem petei Jangan
disimpan dalam hati
Lamon wat cawo sai salah Kalau ada kata yang salah
Dan sippan dilem atei Jangan simpan dalem hati
6. Segata Hehiwang (pantun duka cita)
Tengis pai puakhi wi Dengarkanlah wahai saudaraku
Sakikku lain tangguh Deritaku tiada tara
Mak dawah mak dibigi Tiada kenal waktu
Cecok mejong nyak bingung Semua posisi aku bingung
Khellok mak ngedok dayung Berlayar patah dayung
Kapan sappai tujuan Bila tujuan kan diraih
Cambai mak ngedok junjung Sirih tak berjunjung
Hino jadi semiman Begitulah jadi perumpamaan
Senang nyak simak pandai Senang aku tak tahu
Ki sakik khaduleju Sedihku telah puas
Hulun bubasuh diwai Orang mencuci diair
Nyak basuh ditanemu Aku mencuci dari pengalaman
Gantaji tinggal hiwang Sekarang ini tinggal kesedihan
Tinggal sakikni lagi Tinggal
deritanya lagi
Bela sangu dikhang-khang Habis semua bekal
Mak bakal tunggu lagi Takkan bertemu lagi
Khisok nyak tika hiwang Sering
menetes air mataku
Kapan kak kubabiti Jika
kuteringat
Cadang angonku cadang Berantakan semua harapanku
Ki nutuk hagani hati Jika
perasaan hati diperturut
Ya Allah ya tuhanku Ya Allah ya Tuhanku
Mak kippak musau pudak Tiada rata menyapu muka
Lamun niat mak laju Jika keinginan tak berjalan
Sakikni pikkon bapak Derita
ditinggalkan bapak
Kapan kukaji diri Bila ku telusuri nasipku
Malah nyak tambah bingung Diriku bertambah bingung
Ki khejji juga hati Jika begini terus batinku
Tatudo badan nanggung Sengsra badan dirundung
Belaluh bela hiwang Habis air mata dan tangis
Ngangonku bapak mati Merasakan bapak pergi
Luh bela badan khayang Habis
air mata badan kurus
Ngena ujian sinji Mendapat ujian ini
Niku adek dang miwang Engkau
adik jangan bersedih
Bapak kham mawat lagi Ayah
sudah tiada
Tanno kham khadu sumang Kini kita sudah beralih
Mak bakal putungga lagi Tiada lagi akan berjumpa
Kidang anoda cakha Namun memang begitu cara
Mak mingan tisasoli Tak baik disesali
Bagian jak kuasa Takdir yang kuasa
Ajal mak mingan tiseggikhi Ajal tak mungkin dihindari
Bitian hattak ijapai Kajian
diri sampai disini
Hiwang mak pandai bela Kesedihan tiada habis
Takhu antak ijapai Cukup
sampai disini
Segata khadu bela Segata sudah habis
Untuk selanjutnya segata tumbuh dan
berkembang mengikuti perkembangan zaman. Dalam perkembangannya segata ini pun
dapat memiliki fungsi yang bermacam-macam, tetapi dapat pula dipergunakan untuk
menyampaikan pesan-pesan pembangunan.
Miasalnya: para penyair membuat
puisi segatayang menyetujui atau mendukung program-program pemerintah, sadar
akan kebhinekaan, siap menerima para transmigrasi, melestarikan lingkungan alam
sekitar, kesehatan, atau menggambarkan optimisme untuk mencapai cita-cita di masa
depan.
Contoh:
Mukhani pamekhintah Berkat
usaha pemerintah
Terhadap di khakyatni Berusaha
bagi rakyatnya
Lain ya kidah babah Bukan
hanya berjanji
Khimak ya khadu bukti Tetapi
telah terbukti
Lampung bermacam suku Lampung
beraneka suku
Damai munyai mukhawan Hidup
damai dan makmur
Khapat pakat ki padu Musyawarah mufakat dan bersatu
Hanggom saka kumayan Itulah
semboyan yang luhur
Lapah transmigrasi Datanglah
transmigrasi
Pemukiman gham sia Daerah ini milik kita bersama
Dang gunung dighunduli Tapi
gunung jangan digunduli
Gham lestarikon khimba Kita
lestarikan hutan rimba
Dibidang kesehatan Dibidang kesehatan
Puskesmas dibutini Puskesmas
bukti nyata
Nyin kham buubat disan Agar
kita berobat disana
Mukhah munih bayakhni Murah
sekali bayarnya
Gadung butingkat-tingkat Gedung
mrnjulang tinggi
Khamah sekula ngaji Semua anak sekolah dan mengaji
Toyan sekedau hajat Mereka yang bercita tinggi
Mak kalippini lagi Kini
mulai terbukti
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Segata yaitu sastra lampung yang
berbentuk puisi yang tiap baitnya terdiri dari 4 baris, dan bersajak akhir
abab.
Untuk mempertahankan adat biasanya
dalam acara atau kegiatan: marhabah, akikah, sunatan, perkawinan, kewafatan,
saat-saat setelah wafat.
Segata dalam kehidupan masyarakat
Lampung memiliki beberapa fungsi yaitu: Digunakan sebagai ungkapan isi hati
kepada seseorang (dari sibujang kepada si gadis atau sebaliknya), Dijadikan
alat penghibur pada suasana bersantai atau dijadikan alat penghilang kejenuhan,
Dijadikan Pelengkap acara cangget tarian adat (dilingkungan masyarakat Lampung
pepadun), Sebagai sarana pendidikan, Untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan,
dan Sebagai sarana pembuka dan penutup suatu acara.
Ditinjau dari isinya sagata ada 5
macam yaitu: Segata Ngebabang ( pantun anak-anak), Segata Buhaga (pantun
percintaan), Segata Nangguh (pantun ngebuka atau penutup kegiatan), Segata
Lalagaan (pantun berolok-olok atau kocak), Segata Nyindekh (pantun sindiran), Segata
Hehiwang (pantun duka cita).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar