BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia hidup dengan tanda-tanda. Tanda-tanda
ini ternyata telah digunakan manusia untuk berkomunikasi dari zaman dahulu
hingga sekarang. Setiap orang yang mau berkomunikasi harus mengerti dengan
tanda-tanda yang ada karena dia dikelilingi oleh tanda, ditentukan oleh tanda
bahkan diatur oleh tanda. Dengan mengetahui tanda dalam komunikasi diharapkan
komunikasi antara satu dengan yang lain dapat terjalin dengan baik.
Sama halnya dengan komunikasi, karya sastra
pun memiliki tanda-tanda sehingga orang yang membacanya akan mengerti maksud
karya tersebut. Pengkajian karya sastra dengan tanda-tanda ini dilakukan oleh
para pakar semiotik struktural, yang mengkaji sistem tanda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
1.2 Rumusan Masalah
Pada
tugas akhir ini, yang menjadi objek analisis secara semiotik adalah puisi Amir
Hamzah yang berjudul Kusangka.
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui pendekatan semiotik
dalam menganalisis puisi ‘Kusangka’ karya Amir Hamzah dan sebagai tugas akhir
pada mata kuliah ‘Kajian Puisi’.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Semiotik (Semiotika)
Nama
lain semiotik adalah semiologi dari bahasa Yunani semeion yang bermakna tanda.
Semiotik atau semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap
bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan, atau konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra,
penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebuah penggunaan bahasa yang
bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus)
wacana mempunyai makna Preminger, dkk.,1974:980 (dalam Pradopo.2003).
2.2 Pendekatan
Semiotik
Secara padat Dolezel, Stout dan Ratna (dalam
Hudayat.2007:58), menjelaskan bahwa strukturalisme berhubungan erat atau bahkan
tidak terpisahkan dengan semiotik sebagai sarana untuk memahami karya sastra,
untuk menangkap makna unsur-unsur struktur karya sastra dalam jalinan dengan
keseluruhan karya yang harus memperhatikan sistem tanda yang dipergunakan dalam
karya sastra.
Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam
sistem ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan
tingkat kedua. Arti
bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti bahasa dalam sastra
sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance)
yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam karya sastra,
arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping konvensi bahasa sendiri.
Jadi,
yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti bahasa, suasana, perasaan,
intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian
tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Menurut
Pradopo studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya
sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa
yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat
variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal
relation) antar unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Oleh karena
memberi makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan
timbulnya makna sastra
Dilihat dari segi cara kerjanya,
terdapat 3 semiotik, yaitu :
1. Sintaksis
semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda dengan
tanda-tanda yang lain;
2. Semantik
semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dan acuannya;
3. Pragmatik
semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan antara pengirim dan
penerima.
Ada
banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara
semiotik. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya
melalui dua tahapan sebagai mana ditawarkan oleh Wellek dan Warren (dalam
Hudayat.2007:62) yaitu analisis intrinsik (analisis mikrostruktur) dan analisis
ekstrinsik (analisis makrostruktur).
Cara yang lain seperti yang dikemukakan Abrams (dalam
Hudayat.2007:62) dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu pengarang
(ekspresif), semestaan (mimetik), pembaca (pragmatik), dan objektif (otonom).
Dalam sastra arti bahasa itu mendapat arti tambahan atau konotasi.
Lebih-lebih dalam puisi, konvensi sastra sangat jelas memberi arti tambahan
kepada arti bahasanya. Misalnya tipografi (tata huruf) secara linguistik tidak
mempunyai arti, tetapi mempunyai makna dalam puisi (sastra) karena konvensinya.
2.3 Metode Semiotik dalam Penelitian Sastra
Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam,
jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam: cerpen, novel, dan roman
(ragam utama). Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus menganalisis
tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda
atau struktur tanda-tanda dalam rangka sastra itu mempunyai makna.
Sebagai contoh, genre puisi merupakan sistem yang mempunyai
sistem tanda, yang mempunyai satuan tanda (yang minimal) seperti kosakata,
bahasa kiasan (personifikasi, simile, metafora, dll.) Tanda-tanda
itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi dalam sastra. Di antara
konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan : bahasa kiasan, sarana
retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu ada konvensi ambiguitas,
kontradiksi, dan nonsense. Ada pula konvensi visual : bait, baris sajak, enjabemen,
rima, tipografi, homolangue.
Di samping metode yang telah diurai, ada
metode yang lebih khusus untuk meneliti karya sastra secara semiotik pembacaan
heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif.
Dikemukakan oleh Riffaterre (dalam
Pradopo.2003:71) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah
karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke
periode. Ketidaklangsungan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan
pikiran atau gagasan secara langsung, dengan cara lain.
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre disebabkan oleh
tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning ), penyimpangan
arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of
meaning).
A. Penggantian Arti (Displacing
of Meaning)
Penggantian arti ini disebabkan oleh penggunaan metafora dan
metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi dalam arti luasnya untuk
menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Metafora itu bahasa kiasan yang
menggunakan atau mengganti sesuatu hal yang tidak menggunakan kata perbandingan
; bagai, seperti, bak, dan sebagainya.
B. Penyimpangan Arti (Distorting
of Meaning)
Riffaterre menyatakan bahwa penyimpangan arti itu disebabkan oleh
tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas
dapat berarti kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Kedua,
kontradiksi berarti mengandung pertentangan, berlawanan. Ketiga, nonsense
adalah ‘kata-kata’ yang secara linguistik tidak memiliki arti, hanya berupa
rangkaian bunyi dan tidak terdapat dalam kamus.
C. Penciptaan Arti (Creating
of Meaning)
Penciptaan arti ini merupakan mengorganisasian teks, di luar
linguistik. Di antaranya pembaitan, enjambemen, persajakan (rima), tipografi,
dan homologues.
Julia Kristeva (dalam
Pradopo.2003:78) mengemukakan bahwa tipe teks itu, termasuk sastra merupakan
mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks
lain.
2.4 Analisis Semiotik Puisi Kusangka Karya Amir
Hamzah
Ada kriteria dalam menganalisis struktur kepuitisan
yaitu:
1.
Pilihan
Kata
Kata-kata di dalam
sajak adalah kata-kata yang sama sekali berbeda dengan teks dalam bentuk yang
lain. Kata-kata dalam sajak memiliki peran sangat esensial karena ia tidak saja
harus mampu menyampaikan gagasan, tetapi juga dituntut untuk mampu
menggambarkan imaji sang penyair dan memberikan impresi ke dalam diri
pembacanya, karena itu kata-kata dalam puisi lebih mengutamakan intuisi,
imajinasi, dan sintesis. Pilihan kata yang terdapat dalam puisi “Kusangka”
karya Amir Hamzah
KUSANGKA
Kusangka
cempaka kembang setangkai
Rupanya
melur telah diseri…
Hatiku
remuk mengenangkan ini
Wasangka
dan waswas silih berganti
Kuharap
cempaka baharu kembang
Belum
tahu sinar matahari…
Rupanya
teratai patah kelopak
Dihinggapi
kumbang berpuluh kali
Kupohonkan
cempaka
Harum
mula terserak…
Melati
yang ada
Pandai
tergelak…
Mimpiku
seroja terapung di paya
Teratai
putih awan angkasa…
Rupanya
mawar mengandung lumpur
Kaca
piring bunga renungan
Igauanku
subuh, impianku malam
Kuntum
cempaka putih bersih…
Kulihat
kumbang keliling bersih
Kelopakmu
terbuka menerima cumbu
Kusangka
hauri bertudung lingkup
Bulu
mata menyangga panah asmara
Rupanya
merpati jangan dipetik
Kalau
dipetik menguku segera
Amir Hamzah
menggunakan kata-kata yang kurang dipahami misalnya dalam sajak yang berjudul
“Kusangka”. Penyusunan kata-katanya tepat dan pemilihan untuk pembentukan
sebuah sajak memperhatikan kesesuaian kata yang digunakan serta penyusunan
antar kata sangat indah.
2. Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan
merupakan alat yang dipergunakan penyair untuk mencapai aspek kepuitisan atau
sebuah kata yang mempunyai arti secara konotatif. Bahasa kiasan ini digunakan
untuk memperindah tampilan atau bentuk muka dari sebuah sajak. Bahasa sajak
yang terdapat dalam puisi “Kusangka” karya Amir Hamzah adalah sebagai berikut,
a)
Metafora
Adalah
majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain. Kedua benda yang
diperbandingkan itu mempunyai sifat yang sama. Kuntum
cempaka putih bersih… Kuntum cempaka disamakan dengan wanita yang suci/ belum
dijamah.
Kelopakmu
= kesucian wanita
b) Pesonifikasi
Personifikasi
adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati seolah-olah
hidup. Dalam sajak terdapat dalam,
Melati
yang ada
Pandai
tergelak…
c) Majas Ironi
Majas ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan
maksud untuk menyindir.
Teratai
putih awan angkasa…
Rupanya
mawar mengandung lumpur
Kusangka
cempaka kembang setangkai
Rupanya
melur telah diseri…
3. Citraan
Citraan adalah
satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan keindrawian atau kesan
mental tertentu. Unsur citraan dalam sebuah puisi merupakan unsur yang sangat
penting dalam mengembangkan keutuhan puisi.
Citraan dalam
puisi terdapat 7 jenis citraan, yaitu citraan penglihatan, citraan pendengaran,
citraan gerak, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pengecapan, dan
citraan suhu. Penggunaan citraan dalam puisi melibatkan hampir semua anggota
tubuh kita, baik alat indra maupun anggota tubuh, seperti kepala, tangan, dan
kaki. Untuk dapat menemukan sumber citraan yang terdapat dalam puisi, pembaca
harus memahami puisi dengan melibatkan alat indra dan anggota tubuh untuk dapat
menemukan kata-kata yang berkaitan dengan citraan.
Dalam sajak
“Kusangka” citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan penglihatan terdapat
dalam bait; Kuntum cempaka putih bersih…
Citraan
penciuman ; Harum mula terserak…
Citraan
gerak pada ; Kulihat kumbang keliling bersih
4. Sarana Retorika
Sarana retorik
pada dasarnya merupakan tipu muslihat pikiran yang mempergunakan susunan bahasa
yang khas sehingga pendengar merasa dituntut untuk berpikir. Dalam menyampaikan
sebuah ide atau gagasan Amir Hamzah cenderung pada aliran realisme dan
ekspresionis.
5. Hubungan
Intertekstual “Penerimaan” dengan “Kusangka”
Untuk mendapat
makna penuh sebuah sajak, tidak boleh melupakan hubungan sejarahnya, baik
dengan keseluruhan sajak-sajak peyair sendiri, sajak-sajak sesamanya, maupun
dengan sajak sastra zaman sebelumnya( Teeuw, 1983: 65). Dibawah ini
sajak-sajaknya, yaitu sajak “Penerimaan” karya Chairil Anwar dan “Kusangka”
karya Amir Hamzah.
PENERIMAAN
Kalau kau mau
kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau
kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
KUSANGKA
Kusangka cempaka kembang setangakai
Teryata melur telah diseri.......
Hatiku remuk mengenangka ini
Wasangka dan was-was silih berganti.
Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari.......
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak.......
Melati yang ada
Pandai tergeletak.......
Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa......
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan......
Igauanku subuh, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih......
Kulihat kumbang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cembu.
Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulu mata menyangga panah Asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segera
(Buah
Rindu, 1959:19)
Sajak Chairil Anwar merupakan
penyimpangan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih meneruskan konsep
estetik sastra lama. Pandangan romantik Amir Hamzah ditentang dengan pandangan
realistiknya. Sajak “Kusangka” menunjukkan kesejajaran gagasan yang digambarkan
dalam enam sajak tersebut. Amir Hamzah menggunakan ekspresi romantik secara
metaforis-alegoris, membandingkan gadis dengan bunga. Pada bait terakhir
dimetamorkan sebagai merpati.
Dari keenam bait tersebut disimpulkan
bahwa si aku mencintai gadis yang disangka murni, tetapi ternyata sesungguhnya
sudah tidak murni lagi. Sudah dijamah oleh pemuda lain/ sudah tidak perawan
lagi (‘Rupanya teratai patah kelopak/Dihinggapi kumbang berpuluh kali’. Kulihat
kumbang keliling berlagu/kelopakmu terbuka menerima cembu’). Hal itu
menimbulkan kekeewaan dan menyebabkan hati si aku remuk. Wasangka dan was-was
silih berganti (bait 1). Dengan demikian, si aku tidak mau bersama gadis yang
sudah tidak murni lagi, sebab akan terkena kuku “merpati” itu (bait 7).
Gadis yang masih murni (disangka murni)
diumpamakan cempaka kembang (bait 1), baharu kembang belum terkena sinar
matahari (bait 2), cempaka harum(bait 3), seroja terapung di paya putih seperti
awan(bait 4), dan seperti bidadari (hauri) bertudung lingkup yang bulu matanya
menambah panah asmara(bait 6).
Gambaran tersebut bertentangan dengan
kenyataan yang sebenarnya yang sangat menyakitkan hati si aku dan sangat kecewa
setelah mengetahui kisah yang sebenarnya. Gambaran gadis tersebut sudah tidak
murni lagi diumpamakan melur telah diseri(bait 1), teratai patah kelopak
dihingapi kumbang berpuluh kali(bait 2), merpati yang pandai bergelak(bait 3),
mawar yang mengandung lumpur(bait 4), dan merpati yang mengaku segera(bait 6).
Jadi yang menanggapi masalah tersebut
si aku merasa kecewa karena pikiran romantik bahwa gadis yang dicintainya itu
harus masih murni dan tetap murni, setia pada si aku, tidak boleh menerima
cinta orang lain, namun kenyataan berlainan. Tidak sesuai dengan keinginan si
aku. Sikap romantik digambarkan dengan bahasa yang indah, mengambil objek dari
alam sebagai perumpamaan, sehingga seperti natural.
Sebaliknya Chairil Anwar, dalam
sajaknya itu menampilkan tampak yang lain dalam mendeskripsikan atau menanggapi
gadis yang sudah tidak murni lagi. Sangat berlawanan dengan apa yang
ditampilkan oleh Amir Hamzah. Ia berpandangan realistik, si aku menerima
kembali wanita (kekasihnya, istrinya) yang barangkali telah berselingkuh dengan
laki-laki lain. Si aku mau menerima kembali asal mau kembali kepada si aku
tanpa da rasa curiga. Si aku masih sendiri, tidak mencari wanita lain sebagai
pasangan hidupnya karena masih menunggu kembalinya wanita yang dicintainya itu.
2.5 Pembacaan Semiotik : Heruistik dan
Hermeneutik atau Retroaktif
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang
(retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan “tata bahasa” ceritanya, yaitu pembacaan
dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk mempermudah pembacaan ini
dapat berupa pembuatan sinopsis cerita. Pembacaan heuristik adalah penerangan
kepada bagian-bagian cerita secara berurutan.
a.
Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca
berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu
diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya ditaruh dalam tanda kurung.
Begitu pun struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan
tata bahasa normatif).
b.
Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik
Pembacaan heuristik harus diulang kembali
dengan bacaan retroaktif dan ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan
konvensi sastra (puisi), yaitu sistem semiotik tingkat kedua.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda
mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified).
Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem
tanda-tanda. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik menggambarkan kepada
kita bahwa untuk memahami karya sastra itu, kita harus memahami tanda-tanda
yang ada di dalamnya meliputi arti bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti
tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian tanda-tanda yang
ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Analisis puisi ‘Kusangka’ karya Amir
Hamzah dengan pendekatan memberi makna tentang kekecewaan seorang yang telah
menganggap seorang wanita suci padahal telah dijamah oleh laki-laki lain dengan
melihat penggunaan kata/ majas, sarana retorik, dan pencitraan. Analisis ini
pun tidak luput dari pembacaan secara heuristik dan hermeneutik sehingga
pemaknaan puisi akan didapat.
DAFTAR PUSTAKA
Hudayat, Asep Yusuf. 2007. Metode Penelitian
Sastra: Modul Online. Bandung :
Universitas Padjadjaran.
Pateda, Mansoer.2001. Semantik
Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pradopo, Rachmat Djoko,dkk. 2003. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogjakarta :
Hanindita Graha Widya.
Rindit, Setiawan. 2010. http://sastra-sastradanseni.blogspot.com/2010/04/analisis-
struktural-semiotik-puisi.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar