Minggu, 25 Maret 2018

Kajian Puisi


BAB I
PENDAHULUAN


1.1   Latar Belakang
Manusia hidup dengan tanda-tanda. Tanda-tanda ini ternyata telah digunakan manusia untuk berkomunikasi dari zaman dahulu hingga sekarang. Setiap orang yang mau berkomunikasi harus mengerti dengan tanda-tanda yang ada karena dia dikelilingi oleh tanda, ditentukan oleh tanda bahkan diatur oleh tanda. Dengan mengetahui tanda dalam komunikasi diharapkan komunikasi antara satu dengan yang lain dapat terjalin dengan baik.
Sama halnya dengan komunikasi, karya sastra pun memiliki tanda-tanda sehingga orang yang membacanya akan mengerti maksud karya tersebut. Pengkajian karya sastra dengan tanda-tanda ini dilakukan oleh para pakar semiotik struktural, yang mengkaji sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

1.2  Rumusan Masalah
Pada tugas akhir ini, yang menjadi objek analisis secara semiotik adalah puisi Amir Hamzah yang berjudul Kusangka.

1.3   Tujuan
Adapun tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui pendekatan semiotik dalam menganalisis puisi ‘Kusangka’ karya Amir Hamzah dan sebagai tugas akhir pada mata kuliah ‘Kajian Puisi’.






BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Semiotik (Semiotika)
Nama lain semiotik adalah semiologi dari bahasa Yunani semeion yang bermakna tanda. Semiotik atau semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan, atau konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna Preminger, dkk.,1974:980 (dalam Pradopo.2003).

2.2 Pendekatan Semiotik

Secara padat Dolezel, Stout dan Ratna (dalam Hudayat.2007:58), menjelaskan bahwa strukturalisme berhubungan erat atau bahkan tidak terpisahkan dengan semiotik sebagai sarana untuk memahami karya sastra, untuk menangkap makna unsur-unsur struktur karya sastra dalam jalinan dengan keseluruhan karya yang harus memperhatikan sistem tanda yang dipergunakan dalam karya sastra.
Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan tingkat kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti bahasa dalam sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance) yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping konvensi bahasa sendiri.
Jadi, yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Menurut Pradopo studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antar unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra

Dilihat dari segi cara kerjanya, terdapat 3 semiotik, yaitu :
1.      Sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain;
2.      Semantik semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dan acuannya;
3.      Pragmatik semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan antara pengirim dan penerima.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotik. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya melalui dua tahapan sebagai mana ditawarkan oleh Wellek dan Warren (dalam Hudayat.2007:62) yaitu analisis intrinsik (analisis mikrostruktur) dan analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur).
Cara yang lain seperti yang dikemukakan Abrams (dalam Hudayat.2007:62) dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu pengarang (ekspresif), semestaan (mimetik), pembaca (pragmatik), dan objektif (otonom).
Dalam sastra arti bahasa itu mendapat arti tambahan atau konotasi. Lebih-lebih dalam puisi, konvensi sastra sangat jelas memberi arti tambahan kepada arti bahasanya. Misalnya tipografi (tata huruf) secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi mempunyai makna dalam puisi (sastra) karena konvensinya.





2.3 Metode Semiotik dalam Penelitian Sastra
Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam, jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam: cerpen, novel, dan roman (ragam utama). Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus menganalisis tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam rangka sastra itu mempunyai makna.
Sebagai contoh, genre puisi merupakan sistem yang mempunyai sistem tanda, yang mempunyai satuan tanda (yang minimal) seperti kosakata, bahasa kiasan (personifikasi, simile, metafora, dll.) Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi dalam sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan : bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu ada konvensi ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ada pula konvensi visual : bait, baris sajak, enjabemen, rima, tipografi, homolangue.
Di samping metode yang telah diurai, ada metode yang lebih khusus untuk meneliti karya sastra secara semiotik pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif.
Dikemukakan oleh Riffaterre (dalam Pradopo.2003:71) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ketidaklangsungan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara langsung, dengan cara lain.
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning ), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).

A. Penggantian Arti (Displacing of Meaning)
Penggantian arti ini disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Metafora itu bahasa kiasan yang menggunakan atau mengganti sesuatu hal yang tidak menggunakan kata perbandingan ; bagai, seperti, bak, dan sebagainya.

B. Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning)
Riffaterre menyatakan bahwa penyimpangan arti itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas dapat berarti kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan, berlawanan. Ketiga, nonsense adalah ‘kata-kata’ yang secara linguistik tidak memiliki arti, hanya berupa rangkaian bunyi dan tidak terdapat dalam kamus.

C. Penciptaan Arti (Creating of Meaning)
Penciptaan arti ini merupakan mengorganisasian teks, di luar linguistik. Di antaranya pembaitan, enjambemen, persajakan (rima), tipografi, dan homologues.
Julia Kristeva (dalam Pradopo.2003:78) mengemukakan bahwa tipe teks itu, termasuk sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain.

2.4 Analisis Semiotik Puisi Kusangka Karya Amir Hamzah
Ada kriteria dalam menganalisis struktur kepuitisan yaitu:
1. Pilihan Kata
Kata-kata di dalam sajak adalah kata-kata yang sama sekali berbeda dengan teks dalam bentuk yang lain. Kata-kata dalam sajak memiliki peran sangat esensial karena ia tidak saja harus mampu menyampaikan gagasan, tetapi juga dituntut untuk mampu menggambarkan imaji sang penyair dan memberikan impresi ke dalam diri pembacanya, karena itu kata-kata dalam puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi, dan sintesis. Pilihan kata yang terdapat dalam puisi “Kusangka” karya Amir Hamzah

KUSANGKA

Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri…
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan waswas silih berganti

Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari…
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali

Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak…
Melati yang ada
Pandai tergelak…

Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa…
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan

Igauanku subuh, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih…
Kulihat kumbang keliling bersih
Kelopakmu terbuka menerima cumbu

Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulu mata menyangga panah asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segera

Amir Hamzah menggunakan kata-kata yang kurang dipahami misalnya dalam sajak yang berjudul “Kusangka”. Penyusunan kata-katanya tepat dan pemilihan untuk pembentukan sebuah sajak memperhatikan kesesuaian kata yang digunakan serta penyusunan antar kata sangat indah.

2. Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan merupakan alat yang dipergunakan penyair untuk mencapai aspek kepuitisan atau sebuah kata yang mempunyai arti secara konotatif. Bahasa kiasan ini digunakan untuk memperindah tampilan atau bentuk muka dari sebuah sajak. Bahasa sajak yang terdapat dalam puisi “Kusangka” karya Amir Hamzah adalah sebagai berikut,




a) Metafora
Adalah majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain. Kedua benda yang diperbandingkan itu mempunyai sifat yang sama. Kuntum cempaka putih bersih… Kuntum cempaka disamakan dengan wanita yang suci/ belum dijamah.
Kelopakmu = kesucian wanita

b) Pesonifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati seolah-olah hidup. Dalam sajak terdapat dalam,
Melati yang ada
Pandai tergelak…

c) Majas Ironi
Majas ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud untuk menyindir.

Teratai putih awan angkasa…
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri…

3. Citraan
Citraan adalah satuan ungkapan yang dapat menimbulkan hadirnya kesan keindrawian atau kesan mental tertentu. Unsur citraan dalam sebuah puisi merupakan unsur yang sangat penting dalam mengembangkan keutuhan puisi.
Citraan dalam puisi terdapat 7 jenis citraan, yaitu citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pengecapan, dan citraan suhu. Penggunaan citraan dalam puisi melibatkan hampir semua anggota tubuh kita, baik alat indra maupun anggota tubuh, seperti kepala, tangan, dan kaki. Untuk dapat menemukan sumber citraan yang terdapat dalam puisi, pembaca harus memahami puisi dengan melibatkan alat indra dan anggota tubuh untuk dapat menemukan kata-kata yang berkaitan dengan citraan.
Dalam sajak “Kusangka” citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan penglihatan terdapat dalam bait; Kuntum cempaka putih bersih…
Citraan penciuman ; Harum mula terserak…
Citraan gerak pada ; Kulihat kumbang keliling bersih

4. Sarana Retorika
Sarana retorik pada dasarnya merupakan tipu muslihat pikiran yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pendengar merasa dituntut untuk berpikir. Dalam menyampaikan sebuah ide atau gagasan Amir Hamzah cenderung pada aliran realisme dan ekspresionis.

5. Hubungan Intertekstual “Penerimaan” dengan “Kusangka”
Untuk mendapat makna penuh sebuah sajak, tidak boleh melupakan hubungan sejarahnya, baik dengan keseluruhan sajak-sajak peyair sendiri, sajak-sajak sesamanya, maupun dengan sajak sastra zaman sebelumnya( Teeuw, 1983: 65). Dibawah ini sajak-sajaknya, yaitu sajak “Penerimaan” karya Chairil Anwar dan “Kusangka” karya Amir Hamzah.

PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

KUSANGKA
Kusangka cempaka kembang setangakai
Teryata melur telah diseri.......
Hatiku remuk mengenangka ini
Wasangka dan was-was silih berganti.
Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari.......
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak.......
Melati yang ada
Pandai tergeletak.......
Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa......
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan......
Igauanku subuh, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih......
Kulihat kumbang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cembu.
Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulu mata menyangga panah Asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segera
(Buah Rindu, 1959:19)

Sajak Chairil Anwar merupakan penyimpangan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih meneruskan konsep estetik sastra lama. Pandangan romantik Amir Hamzah ditentang dengan pandangan realistiknya. Sajak “Kusangka” menunjukkan kesejajaran gagasan yang digambarkan dalam enam sajak tersebut. Amir Hamzah menggunakan ekspresi romantik secara metaforis-alegoris, membandingkan gadis dengan bunga. Pada bait terakhir dimetamorkan sebagai merpati.
Dari keenam bait tersebut disimpulkan bahwa si aku mencintai gadis yang disangka murni, tetapi ternyata sesungguhnya sudah tidak murni lagi. Sudah dijamah oleh pemuda lain/ sudah tidak perawan lagi (‘Rupanya teratai patah kelopak/Dihinggapi kumbang berpuluh kali’. Kulihat kumbang keliling berlagu/kelopakmu terbuka menerima cembu’). Hal itu menimbulkan kekeewaan dan menyebabkan hati si aku remuk. Wasangka dan was-was silih berganti (bait 1). Dengan demikian, si aku tidak mau bersama gadis yang sudah tidak murni lagi, sebab akan terkena kuku “merpati” itu (bait 7).
Gadis yang masih murni (disangka murni) diumpamakan cempaka kembang (bait 1), baharu kembang belum terkena sinar matahari (bait 2), cempaka harum(bait 3), seroja terapung di paya putih seperti awan(bait 4), dan seperti bidadari (hauri) bertudung lingkup yang bulu matanya menambah panah asmara(bait 6).
Gambaran tersebut bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya yang sangat menyakitkan hati si aku dan sangat kecewa setelah mengetahui kisah yang sebenarnya. Gambaran gadis tersebut sudah tidak murni lagi diumpamakan melur telah diseri(bait 1), teratai patah kelopak dihingapi kumbang berpuluh kali(bait 2), merpati yang pandai bergelak(bait 3), mawar yang mengandung lumpur(bait 4), dan merpati yang mengaku segera(bait 6).
Jadi yang menanggapi masalah tersebut si aku merasa kecewa karena pikiran romantik bahwa gadis yang dicintainya itu harus masih murni dan tetap murni, setia pada si aku, tidak boleh menerima cinta orang lain, namun kenyataan berlainan. Tidak sesuai dengan keinginan si aku. Sikap romantik digambarkan dengan bahasa yang indah, mengambil objek dari alam sebagai perumpamaan, sehingga seperti natural.
Sebaliknya Chairil Anwar, dalam sajaknya itu menampilkan tampak yang lain dalam mendeskripsikan atau menanggapi gadis yang sudah tidak murni lagi. Sangat berlawanan dengan apa yang ditampilkan oleh Amir Hamzah. Ia berpandangan realistik, si aku menerima kembali wanita (kekasihnya, istrinya) yang barangkali telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Si aku mau menerima kembali asal mau kembali kepada si aku tanpa da rasa curiga. Si aku masih sendiri, tidak mencari wanita lain sebagai pasangan hidupnya karena masih menunggu kembalinya wanita yang dicintainya itu.

2.5 Pembacaan Semiotik : Heruistik dan Hermeneutik atau Retroaktif
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya. Pembacaan heuristik adalah pembacaan “tata bahasa” ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk mempermudah pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis cerita. Pembacaan heuristik adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan.

a. Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya ditaruh dalam tanda kurung. Begitu pun struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif).

b. Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik
Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan bacaan retroaktif dan ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu sistem semiotik tingkat kedua.







BAB III
KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan
Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik menggambarkan kepada kita bahwa untuk memahami karya sastra itu, kita harus memahami tanda-tanda yang ada di dalamnya meliputi arti bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Analisis puisi ‘Kusangka’ karya Amir Hamzah dengan pendekatan memberi makna tentang kekecewaan seorang yang telah menganggap seorang wanita suci padahal telah dijamah oleh laki-laki lain dengan melihat penggunaan kata/ majas, sarana retorik, dan pencitraan. Analisis ini pun tidak luput dari pembacaan secara heuristik dan hermeneutik sehingga pemaknaan puisi akan didapat.















DAFTAR PUSTAKA

Hudayat, Asep Yusuf. 2007. Metode Penelitian Sastra: Modul Online. Bandung :
        Universitas Padjadjaran.
Pateda, Mansoer.2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pradopo, Rachmat Djoko,dkk. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogjakarta :
        Hanindita Graha Widya.
         struktural-semiotik-puisi.html.

Tidak ada komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda