Selasa, 19 April 2016

Hakikat Pembelajaran Berbicara

1. Pendahuluan
Standar kompetensi dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan menyatakan bahwa pembelajaran bahasa diarahkan untuk membantu peserta didik mengenal diri, budayanya, budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Selain itu, pembelajaran bahasa diarahkan agar peserta didik menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, peserta didik diharapkan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis (Depdiknas, 2006: 1).
Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, siswa mengembangkan kemampuan secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya, siswa telah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna. Makin lama kemampuan tersebut menjadi semakin sempurna dalam arti strukturnya menjadi sempurna, pilihan katanya semakin tepat, kalimat-kalimatnya semakin bervariasi.
Pada hakikatnya, berbicara merupakan suatu proses berkomunikasi sebab di dalamnya terdapat pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain. Bahkan, telah disebutkan bahwa dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan bahwa hakikat pembelajaran berbicara pada dasarnya adalah menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara, presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi, dan drama (Depdiknas, 2006: 1).
Pada dasarnya, setiap guru bahasa dan sastra Indonesia mengharapkan bahwa semua siswa mampu menggunakan keterampilan berbicara sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasinya secara lisan sehingga dalam kondisi pembicaraan apa pun, mereka mampu mengaplikasikannya secara efisien dan efektif.
2. Hakikat Pembelajaran Berbicara
Berbicara merupakan keterampilan dalam menyampaikan pesan yang dilakukan secara lisan. Rofiuddin (1998: 13) mengatakan bahwa berbicara merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan secara lisan.
Salah satu keterampilan pembicara adalah keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak (Tarigan, 1983: 12)
Berbicara merupakan bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik dan linguistik. Pada saat berbicara seseorang memanfaatkan faktor fisik yaitu alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Faktor psikologis memberikan andil yang cukup besar dalam kelancaran berbicara, seperti stabilitas emosi sangat mendukung. Berbicara tidak lepas dari faktor neurologis yaitu jaringan saraf yang menghubungkan otak kecil dengan mulut, telinga dan organ tubuh lain yang ikut dalam aktivitas berbicara.
Berbicara sebagai salah satu unsur keterampilan berbahasa sering dianggap sebagai suatu kegiatan yang berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan dari kegiatan pengajaran berbicara yang selama ini dilakukan. Dalam praktiknya, pengajaran berbicara dilakukan dengan menyuruh siswa berdiri di depan kelas untuk berbicara, misalnya bercerita atau berpidato. Siswa yang lain diminta mendengarkan dan tidak mengganggu. Akibatnya, pengajaran berbicara di sekolah-sekolah itu kurang menarik. Siswa yang mendapat giliran merasa tertekan sebab di samping siswa itu harus mempersiapkan bahan seringkali guru melontarkan kritik yang berlebih-lebihan.Sementara itu, siswa yang lain merasa kurang terikat pada kegiatan itu kecuali ketika mendapatkan giliran.
Agar seluruh anggota kelas dapat terlibat dalam kegiatan pembelajaran berbicara, hendaklah selalu diingat bahwa hakikatnya berbicara itu berhubungan dengan kegiatan berbicara yang lain seperti menyimak, membaca, dan menulis dan pokok pembicaraan. Dengan demikian, sebaiknya pengajaran berbicara memperhatikan komunikasi dua arah dan fungsional. Tugas pengajar adalah mengembangkan pengajaran berbicara agar aktivitas kelas dinamis, hidup dan diminati oleh anak sehingga benar-benar dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan untuk memepersiapkan diri terjun ke masyarakat. Untuk mencapai hal itu, dalam pembelajaran berbicara harus diperhatikan beberapa faktor, misalnya pembicara, pendengar, dan pokok pembicaraan. 
Terkait dengan hal tersebut, Rofi’uddin (1998: 18) mengemukakan beberapa prinsip pembelajaran berbicara sebagai berikut:
a.       Berbicara bercirikan oleh pertemuan antara dua orang atau lebih yang melangsungkan komunikasi secara lisan, ada pembicara dan ada penyimak;
b.    Ada banyak tipe dalam komunikasi lisan antara pembicara dan penyimak, mulai dari orang berbincang-bincang sampai ke pertemuan umum di lapangan;
c.    Pembelajaran berbicara tidak dapat mencakup semua variasi atau tipe pertemuan lisan itu;
d.    Pembelajaran berbicara harus bersifat fungsional.
Agar prinsip pembelajaran berbicara dapat terlaksana dengan baik, hendaknya seorang guru juga memperhatikan kriteria pemilihan bahan ajar berbicara, sebagai berikut:
a.       Bahan yang dipilih harus memiliki nilai tambah, (1) memperkenalkan gagasan baru, (2) mengandung informasi yang belum diketahui siswa, (3) membantu siswa memahami cara berpikir orang lain, dan (4) mendorong siswa untuk membaca tanpa disuruh;
b.      Meningkatkan kecerdasan siswa;
c.       Memperluas kosakata yang dapat dikuasai siswa dalam jumlah yang memadai;
d.      Bahan bacaan memberikan kemungkinan kepada guru untuk mengajukan pertanyaan, yakni (1) membuat gambar, (2) mengolah kembali informasi dalam teks, (3) melakukan permainan peran, percakapan;
e.       Saduran sesuai dengan tingkat keterampilan siswa;
f.       Karangan guru terdiri atas, (1) sesuai dengan tujuan pendidikan, (2) sesuai dengan jiwa Pancasila, (3) sesuai dengan tujuan pembelajaran, (4) sesuai dengan tema, dan (5) tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku.


3. Keefektifan Berbicara
a. Ketepatan pengucapan
Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perahatian pendengar. Sudah tentu pola ucapan dan artikulasi yang digunakan tidak selalu sama. Setiap orang mempunyai gaya tersendiri dan gaya bahasa yang dipakai berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan, perasaan, dan sasaran. Akan tetapi kalau perbedaan atau perubahan itu terlalu mencolok, dan menyimpang, maka keefektifan komunikasi akan terganggu.
Setiap penutur tentu sangat dipengaruhi oleh bahasa ibunya. Misal­nya, pengucapan kanuntuk akhiran -kan yang kurang tepat, memasukkan. Memang kita belum memiliki lafal baku, namun sebaiknya ucapan kita jangan terlalu diwarnai oleh bahasa daerah, sehingga dapat mengalihkan perhatian pendengar. Demikian juga halnya dengan pengucapan tiap suku kata. Tidak jarang kita dengar orang mengucapkan kata-kata yang tidak jelas suku katanya.
Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang tidak tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, atau kurang menarik sehingga dapat mengalihkan perhatian pendengar, mengganggu komunikasi, atau pemakainya dianggap aneh (Maidar dan Mukti, 1991).

b. Ketepatan intonasi
Kesesuaian intonasi merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara dan merupakan faktor penentu. Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan intonasi yang sesuai dengan masalahnya menjadi menarik. Sebaliknya jika penyampaiannya datar saja, hampir dapat dipastikan menim­bulkan kejemuan dan keefektifan berbicara berkurang.
Demikian juga halnya dalam pemberian intonasi pada kata atau suku kata. Tekanan suara yang biasanya jatuh pada suku kata terakhir atau suku kata kedua dari belakang, kemudian ditempatkan pada suku kata pertama. Misalnya kata peyanggahpemberani,kesempatan, diberi tekanan pada pe-, pem-, ke-, tentu kedengarannya janggal. 

c. Pilihan kata (diksi)
Pilihan kata (diksi) hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Jelas maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi sasaran. Pendengar akan lebih terangsang dan lebih paham, kalau kata-kata yang digunakan sudah dikenal oleh pendengar. Misalnya, kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada kata-kata yang muluk-muluk dan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Kata-kata yang belum dikenal memang membangkitkan rasa ingin tahu, namun menghambat kelancaran komu­nikasi. Pilihan kata itu tentu harus disesuaikan dengan pokok pembicaraan dan dengan siapa kita berbicara (pendengar).

d. Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar berbicara memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya. Seringkali kita dengar pembicara berbicara terputus-putus, bahkan antara bagian-bagian yang terputus itu diselipkan bunyi-bunyi tertentu yang sangat mengganggu penangkapan pendengar, misalnya menyelipkan bunyi ee, oo, aa, dan seba­gainya. Sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat berbicara juga menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicarannya.

4. Evaluasi Pembelajaran Berbicara
Bicara merupakan suatu kemampuan kompleks yang melibatkan beberapa faktor, yaitu kesiapan belajar, kesiapan berpikir, kesiapan mempraktikkan,  motivasi, dan bimbingan; Apabila salah satu faktor tidak dapat dikuasai dengan baik, akan terjadi kelambatan dan mutu bicara akan menurun (Hasuti, dkk., 1985). Semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai kelima unsur itu, semakin baik pula penampilan dan penguasaan berbicaranya. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan seseorang untuk menguasai kelima unsur itu, semakin rendah pula penguasaan berbicaranya. Akan tetapi, sangat sulit bagi kita untuk menilai faktor-faktor itu karena sulit diukur.
Berdasarkan fakta bahwa kegiatan berbicara cenderung dapat diamati dalam konteks nyata saat siswa berbicara, maka dalam kegiatan berbicara dapat dikembangkan penilaian kinerja yang bertujuan menguji kemampuan siswa dalam mendemontrasikan pengetahuan dan keterampilannya (apa yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan) pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu (Johnson and Johnson, 2004).
Penilaian kinerja mempunyai dua karakteristik dasar yaitu (1) siswa diminta untuk mendemonstrasikan kemampuannya dalam mengkreasikan suatu produk atau terlibat dalam suatu aktivitas (perbuatan), misalnya berpidato, (2) produk dari penilaian kinerja lebih penting daripada kinerja (performance)-nya.
Penilaian mengenai apakah yang akan dinilai itu produk atau kinerjanya akan sangat bergantung pada karakteristik domain yang diukur. Dalam bidang sastra, misalnya acting dan menari, kinerja dan produknya sama penting.
Penilaian mengenai kemampuan kinerja dapat juga dilakukan dengan menggunakan skala penilaian (rating scale). Walaupun cara ini serupa dengan checklist, tapi skala penilaian memungkinkan penilai menilai kemampuan peserta didik secara kontinum tidak lagi dengan model dikotomi. Dengan kata lain, kedua cara ini sama-sama berdasarkan pada beberapa kumpulan keterampilan atau kemampuan kerja yang hendak diukur: checklist hanya memberikan dua katagori penilaian, sedangkan skala penilaian memberikan lebih dari dua kategori penilaian.Paling tidak ada tiga jenis skala penilaian, yaitu: (1) numerical rating scale, (2) graphic rating scale, dan (3) descriptive rating scale. Selain itu, alat penilaian dalam berbicara dapat berwujud penilaian yang terdiri atas komponen-komponen tekanan, tata bahasa, kosakata, kefasihan, dan pemahaman. Penilaian ini adalah deskripsi masing-masing komponen (Nurgiyantoro, 2005: 156).

a. Tekanan
1)      Ucapan sering tak dapat dipahami.
2)      Sering terjadi kesalahan besar dan aksen kuat yang menyulitkan pemahaman, menghendaki untuk selalu diulang.
3)      Pengaruh ucapan asing (daerah) yang mengganggu dan menimbulkan salah ucap yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
4)      Pengaruh ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan yang tidak menyebabkan kesalahpahaman.
5)      Tidak ada salah ucap yang menolak, mendekati ucapan standar
6)      Ucapan sudah standar.

b. Tata bahasa
1)      Penggunaan tata bahasa hampir selalu tidak tepat.
2)      Ada kesalahan dalam pemgunaan pola-pola pokok secara tetap yang selalu mengganggu komunikasi.
3)      Sering terjadi kesalahan dalam pola tertentu karena kurang cermat yang dapat mengganggu komunikasi.
4)      Kadang-kadang terjadi kesalahan dalam penggunaan pola tertentu, tetapi tidak mengganggu komunikasi.
5)      Sedikit terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola.
6)      Tidak lebih dari dua kesalahan selama berlangsungnya kegiatan wawancara.

c. Kosakata
1)      Penggunaan kosakata tidak tepat dalam percakapan yang paling sederhana sekalipun.
2)      Penguasaan kosakata sangat terbatas pada keperluan dasar personal (waktu, makanan, transportasi, keluar).
3)      Pemilihan kosakata sering tidak tepart dan keterbatasan penggunaannya menghambat kelancaran komunikasi dalam masalah sosial dan profesional.
4)      Penggnaan kosakata teknis tepat dalam pembicaraan tentang masalah tertentu, tetapui penggunaan kosakata umum terasa berlebihan.
5)      Penggunaan kosakata teknis lebih luas dan cermat, kosakata umum tepat digunakan sesuai dengan situasi sosial.
6)      Penggunaan kosakata teknis dan umum terkesan luas dan tepat sekali.

d. Kelancaran
1)      Pembicaraan selalu berhenti dan terputus-putus.
2)      Pembicaraan sangat lambat dan tidak ajeg kecuali untuk kalimat pendek dan rutin.
3)      Pembicaraan sering nampak ragu, kalimat tidak lengkap.
4)      Pembicaraan kadang-kadang masih ragu, pengelompokan kata kadang-kadang tidak tepat.
5)      Pembicaraan lancar dan halus, tetapi sekali-kali masih kurang ajeg.
6)      Pembicaraan dalam segala hal lancar dan halus.

e. Pemahaman
1)      Memahami sedikit isi percakapan yang paling sederhana.
2)      Memahami dengan lambat percakapan sederhana, perlu penjelasan dan pengulangan.
3)      Memahami percakapan sederhana dengan baik, dalam hal tertentu masih perlu penjelasan dan pengulangan.
4)      Memahami percakapan normal dengan lebih baik, kadang-kadang mesih perlu pengulangan dan penjelasan.
5)      Memahami segala sesuatu dalam percakapan normal kecuali yang bersifat koloqial.
6)      Memahami segala sesuatu dalam percakapan normal dan koloqial.



Berikut adalah contoh lembar penilaian berdasarkan komponen-komponen itu.

Nama Siswa             :
Kelas, Semester       :
Tanggal                  :

No
Butir Penilaian
1
2
3
4
5
6
Skor
1
Tekanan
2
Tata bahasa
3
Kosakata
4
Kelancaran
5
Pemahaman
           Jumlah Skor
Nilai = jumlah skor : 5
(Nilai tertinggi 6, terendah 1)
         
          Dalam penelitian ini, dilakukan pembobotan nilai dengan berdasarkan pada tujuan atau fokus penilaian, serta melakukan modifikasi berbagai butir penilaian sesuai dengan tujuan, situasi, dan kondisi yang melatari.      


DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2006. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra Indonesia.  Jakarta: Depdiknas. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Djamarah, S. B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.   
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kelas Kata dalamBahasa Indonesia. Yakarta: Gramedia.
Maidar, Arsjad, G. dan Mukti. 1991. PembinaanKemampuanBerbicaraBahasa Indonesia.Jakarta: Erlangga.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Rofi’uddin, Ahmad & Zuhdi, Darmiyati. 1998. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Depdikbud
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Berbahasa. Bandung: Angkasa.


Tidak ada komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda