KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah Nya akhirnya makalah ini dapat kami
selesaikan dengan baik. Makalah ini membahas tentang PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA.
Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penyusunan makalah ini
tidak akan berjalan dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyusun makalah ini.
Penulis menyadari sepenuh nya bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan pada
masa yang akan datang.
Akhir kata semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis khusus nya dan pembaca pada umum nya.
Pringsewu, 7
Maret 2015
Kelompok IV
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan............................................................................................. 2
D.
Manfaat Penulisan........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1.
Apa pengertian
dari pemerolehan bahasa pertama?
2.
Apa saja ragam
pemerolehan bahasa pertama?
3.
Bagaimana masa,
waktu pemerolehan bahasa pertama?
4.
Apa yang
dimaksud dengan pemerolehan pragmatik?
5.
Bagaimana
strategi pemerolehan bahasa pertama?
6.
Apa yang
dimaksud pemerolehan bahasa pertama?
7.
Apa saja
pengaruh pemerolehan bahasa pertama terhadap pemerolehan bahasa kedua?
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN............................................................................................................... 14
SARAN............................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa merupakan suatu wujud yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia, ’’sehingga dapat pula dikatakan bahwa bahasa
adalah milik manusia yang telah menyatu dengan pemiliknya’’ (Chaer, 2009:5).
Bahasa juga merupakan alat untuk berkomunikasi, menyampaikan pikiran, gagasan,
ekspresi, dan menjalin interaksi (hubungan timbal balik) satu sama lain dalam
kehidupan manusia.
Adanya tuntutan globalisasi dan perkembangan
IPTEK yang semakin pesat, membuat kita sadar bahwa antara satu bangsa dengan
bangsa lain memiliki ketergantungan (saling membutuhkan). Sehingga menjalin
hubungan antar negara adalah mutlak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan satu
sama lain. Karena membangun hubungan baik akan meningkatkan kemajuan bangsa dan
kesejahteraan bersama.
Semua bangsa memiliki ciri khas tersendiri,
baik sistem pemerintahan, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan bahasa mereka.
Tentu kita harus sadar bahwa kita tidak akan bisa menjalin hubungan baik antar
negara dengan hanya mengandalkan satu bahasa untuk berkomunikasi dengan orang
lain yang berbeda bangsa, yang tentunya memiliki bahasa berbeda pula. Oleh
karena itu, manusia harus belajar dalam bidang penguasaan bahasa agar dapat
berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang bangsanya.
Chaer (2009:251) menyatakan bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran
bahasa kedua, seperti faktor motivasi, penyajian formal, lingkungan, dan
sebagainya. Salah satu faktor yang menarik bagi penulis untuk ditinjau lebih
lanjut ialah pengaruh bahasa pertama (bahasa ibu) terhadap proses pembelajaran
bahasa kedua yang menentukan keberhasilan seorang dalam proses pemerolehan
bahasa kedua. Karena itu, penulis akan membahas secara lebih mendalam terkait
hal ini.
1
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian
Dari Pemerolehan Bahasa Pertama?
2.
Apa Saja Ragam
Pemerolehan Bahasa Pertama?
3.
Bagaimana Masa,
Waktu Pemerolehan Bahasa Pertama?
4.
Apa Yang
Dimaksud Dengan Pemerolehan Pragmatik?
5.
Bagaimana
Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama?
6.
Apa Yang
Dimaksud Pemerolehan Bahasa Pertama?
7.
Apa Saja
Pengaruh Pemerolehan Bahasa Pertama Terhadap Pemerolehan Bahasa Kedua?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
Mengetahui Apa Pengertian Dari Pemerolehan Bahasa Pertama?
2.
Untuk
Mengetahui Apa Saja Ragam Pemerolehan Bahasa Pertama?
3.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Masa, Waktu Pemerolehan Bahasa Pertama?
4.
Untuk
Mengetahui Apa Yang Dimaksud Dengan Pemerolehan Pragmatik?
5.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama?
6.
Untuk
Mengetahui Apa Yang Dimaksud Pemerolehan Bahasa Pertama?
7.
Untuk
Mengetahui Apa Saja Pengaruh Pemerolehan Bahasa Pertama Terhadap Pemerolehan
Bahasa Kedua?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Pemerolehan Bahasa Pertama
Secara harafiah
pemerolehan bahasa pertama dapat diartikan sebagai penerimaan pesan berupa
bunyi-bunyi oleh anak semenjak ia masih bayi. Kita semua tidak menyangkal akan
kesanggupan seorang anak yang biasa berkomunikasi dalam usia yang masih
terhitung hari, minggu atau bulan. Kegiatan awal seorang bayi adalah meraba,
berceloteh atau menangis. Ia juga bisa mengkomunikasikan sejumlah pesan baik
secara vokal maupun non vokal. Pemerolehan Bahasa Pertama juga bisa diartikan
bagaimana anak memperoleh bahasa ibu tanpa kesengajaan dan sangat dipengaruhi
oleh lingkungannya. Lingkungan tersebut adalah orang-orang yang ada di
sekitarnya dan ragam bahasa yang digunakan oleh mereka yang sempat tertangkap
oleh daya simak seoarang anak. Pada kenyataannya anak yang normal memperoleh
bahasa pertama dari orang-orang yang ada disekitarnya. Sementara kita
mengesampingkan dahulu terhadap keadaan anak yang ‘tuli’ atau ‘bisu’.
Pemerolehan bahasa ini tanpa diminta, tanpa disengaja dan tanpa diperintah.
Sebagaimana sifat dasar anak adalah meng’imitasi’ dari sifat orang tuanya atau
dari lingkungan tempat ia tinggal dan berkembang. Pada
perkembangan selanjutnya, semakin tingi tingkat intelegensi anak, semakin
banyak ia membutuhkan ragam bahasa yang bisa diterima oleh otaknya agar ia bisa
mengkomunikasi pesan yang beragam. Karena itu, anak kemudian mentransfer banyak
data bahasa dari berbagai sumber. Sumber-sumber itu antara lain adalah buku,
majalah, koran dan televisi. Sampai pada tahap-tahap pembelajaran bahsa yang
lebih tinggi, pemerolehan bahasa pertama memegang peranan penting. Pemerolehan
bahasa kedua dan selebihnya merupakan penerus dari pemerolehan bahasa pertama.
Jika seorang anak dibesarkan dalam lingkungan bahasa yang beragam dan sehat,
maka ia akan memiliki kemampuan bahasa yang tinggi. Begitu juga sebaliknya.
3
a)
Pengertian
Pemerolehan Bahasa
Proses anak
mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan
pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (Bl) (anak) terjadi bila
anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada
masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi
daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan
mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak
dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Ada dua
pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai
permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu
permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan
kognitif pralinguistik.
Penelitian mengenai bahasa manusia telah menunjukkan banyak hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh bahasa (Fromkin dan Rodman, 1998:318).
Penelitian mengenai bahasa manusia telah menunjukkan banyak hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh bahasa (Fromkin dan Rodman, 1998:318).
1. Anak tidak belajar bahasa dengan cara menyimpan semua kata dan kalimat dalam
sebuah kamus mental raksasa. Daftar kata-kata itu terbatas, tetapi tidak ada kamus
yang bisa mencakup semua kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
2. Anak-anak dapat belajar menyusun kalimat,
kebanyakan berupa kalimat yang belum
pernah mereka hasilkan sebelumnya.
3. Anak-anak belajar memahami kalimat yang belum pernah mereka dengar
sebelumnya.
pernah mereka hasilkan sebelumnya.
3. Anak-anak belajar memahami kalimat yang belum pernah mereka dengar
sebelumnya.
Mereka tidak dapat melakukannya dengan
menyesuaikan tuturan yang
didengar dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka.
Anak-anak selanjutnya harus menyusun “aturan” yang membuat mereka dapat menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantik daripada
anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa (memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik, yaitu penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para ahli dengan kemampuan komunikatif.
didengar dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka.
Anak-anak selanjutnya harus menyusun “aturan” yang membuat mereka dapat menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantik daripada
anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa (memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik, yaitu penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para ahli dengan kemampuan komunikatif.
4
Aturan-aturan
ini termasuk mengucap salam, kata-kata tabu, bentuk panggilan yang sopan, dan
berbagai ragam yang sesuai untuk situasi yang berbeda. Ini dikarenakan sejak
dilahirkan, manusia terlibat dalam dunia sosial sehingga ia harus berhubungan
dengan manusia lainnya. Ini artinya manusia harus menguasai norma-norma sosial
dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Sebagian dari noraia ini tertanam
dalam bahasa sehingga kompetensi seseorang tidak terbatas pada apa yang disebut
pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use)
(Dardjowidjojo, 2000:275).
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi Anda sendiri.
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi Anda sendiri.
2.
Ragam
Pemerolehan Bahasa Pertama
Ragam pemerolehan bahasa
dapat ditinjau dari berbagi sudut pandangan, sebagai berikut:
a. Berdasarkan bentuk:
1. Pemerolehan bahasa pertama
2. Perolehan bahasa kedua
3.Pemerolehan bahasa ulang (Klein, 1986:3 (dalam, http://thottoloversable.blogspot.com)).
5
b. Berdasarkan urutan:
1. Pemerolehan bahasa pertama
2. Pemerolehan bahasa kedua
(Winits, 1981; Stevens, 1984 (dalam,
http://thottoloversable.blogspot.com)).
c. Berdasarkan jumlah:
1. Pemerolehan satu bahasa
d. Berdasarkan media:
1. Pemerolehan bahasa lisan
2. Pemerolehan bahasa tulis
e. Berdasarkan keaslian:
1. Pemerolehan bahasa asli
2. Pemerolehan bahasa asing
3.
Masa Waktu
Pemerolehan Bahasa Pertama
Perkembangan
pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu
(a) perkembangan prasekolah
(b)
perkembangan ujaran kombinatori, dan
(c)
perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada
masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu
kata dan ujar.
6
Perkembangan
pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua
khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak
mengembangkan konsep dirinya. la berusaha membedakan dirinya dengan subjek,
dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap
satu kata
anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada loncatan atas. Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.
Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi. Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu
anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada loncatan atas. Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.
Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi. Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu
(1) periode vokalisasi dan prameraban serta
(2) periode
meraban.
Anak lazimnya
membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya
membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang
berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak
dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali
makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang
didengarnya.
7
4.
Pemerolehan
Pragmatik
Pragmatik
bukanlah salah satu komponen dalam bahasa; kajian ini hanya memberikan
perspektif pada bahasa. Karena pragmatik menyangkut makna maka sering kali ilmu
ini dikelirukan dengan ilmu tentang makna, semantik. Perkembangan kedua ilmu
ini bahkan menimbulkan semacam perebutan wilayah karena satu dianggap telah
memasuki wilayah yang lain. Akan tetapi, apabila diamati secara lebih cermat
maka akan terlihat bahwa semantik mempelajari makna dalam bahasa alami tanpa
memerhatikan konteksnya. Sementara itu, pragmatik merujuk kepada kajian makna
dalam interaksi antara seorang penutur dengan penutur yang lain (Jucker, 1998,
dalam http://bmp6103.blogspot.com/2007/07/ra.html).
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat defmisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi
ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefmisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Pragmatik itu sendiri menurut Leech (1983:6) adalah studi tentang makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu. Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa pragmatik merupakan kajian mengenai makna di dalam hubungannya dengan situasi ujar.
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat defmisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi
ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefmisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Pragmatik itu sendiri menurut Leech (1983:6) adalah studi tentang makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu. Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa pragmatik merupakan kajian mengenai makna di dalam hubungannya dengan situasi ujar.
8
Dari pengertian
mi terlihat bahwa kedua batasan tersebut mengeksplisitkan makna, yang kemudian
di dalam pragmatik disebut maksud. Lebih lanjut lagi, Gunarwan menyebutkan
salah satu defmisi pragmatik, yaitu kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa
untuk menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut diujarkan
(dalam Rustono, 1999:2). Jadi pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa,
atau maksud di balik suatu tuturan. Penggunaan bahasa yang tepat harus
diperoleh seorang anak karena kemampuan berbahasa yang baik tidak hanya
terletak pada kepatuhan terhadap aturan gramatikal tetapi juga pada aturan
pragmatik. Menurut Ninio dan Snow (dalam Dardjowidjojo, 2000:43-48), mau tidak
mau seorang anak mengembangkan pengetahuan yang diperlukan agar dalam situasi
komunikasi bahasa yang dia pakai itu pantas, efektif, dan sekaligus mengikuti
aturan gramatikal Lebih lanjut mereka juga menyatakan bahwa untuk menelusuri
kemampuan pragmatik seorang anak, paling tidak ada tiga hal yang perlu
dipelajari, yaitu:
1.
Pemerolehan
niat komunikatif Ninio dan Snow mendapati bahwa dalam mewujudkan
niat komunikatif secara verbal, terdapat urutan yang dilandaskan pada berbagai kepentingan pragmatik yaitu:
niat komunikatif secara verbal, terdapat urutan yang dilandaskan pada berbagai kepentingan pragmatik yaitu:
a. Kepentingan ujaran: bertitik tolak pada sudut pandang anak sehingga
jenis
ujaran yang muncul juga mencerminkan kepentingan tersebut.
b. Peran kelayakan ujaran: ujaran untuk meminta sesuatu pasti lebih dikuasai daripada bahasa itu sendiri.
ujaran yang muncul juga mencerminkan kepentingan tersebut.
b. Peran kelayakan ujaran: ujaran untuk meminta sesuatu pasti lebih dikuasai daripada bahasa itu sendiri.
c. Kompleksitas kognitif: merujuk pada titik
pandang yang lebih terarah kepada
diri sendiri.
diri sendiri.
5.
Strategi
Pemerolehan Bahasa Pertama
Strategi
pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang
dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat
sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan
atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang
berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang
dikatakan orang lain. Akan tetapi ada banyak pertanyaan yang harus dijawab
berkenaan dengan hal ini.
9
Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi,
yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau
elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat
delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion,
reduced imitation.Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi
produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam
pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan
bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama
bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan”
sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna
bergantung pada situasi dan intonasi.
Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan
balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak
dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain
memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa
strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara
itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada
pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel
yang lebih banyak, yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.
Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam
strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi”
umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri
sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang
dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari
pengaturan kembali.
6.
Pemerolehan
Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah
proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan
pembelajaran bahasa.
10
Pembelajaran bahasa berkaitan dengan
proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa
kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa
berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan
bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Selama pemerolehan bahasa pertama,
Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang
kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses
kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua
proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa
(fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari.
Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak
lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi
dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan
proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan
mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses
penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer
2003:167).
7.
Pengaruh Pemerolehan Bahasa Pertama Terhadap Pemerolehan Bahasa
Kedua
Pada pembahasan
sebelumnya telah dibahas beberapa aspek B1 yang berpengaruh dalam proses
pembelajaran B2, bahwa B1 dapat mengganggu penggunaan B2 pembelajar. Pembelajar
akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertama kedalam bahasa keduanya. Chaer
(2009:261) menyebutkan dalam kajian sosiolinguistik disebut interferensi,
campur kode, dan kekhilafan (error). Memang, sejalan dengan taraf
kemampuan terhadap B2, penggunaan dan proses transfer unsur-unsur B1 ini
lama-kelamaan akan berkurang. Interferensi ialah masuknya unsur suatu bahasa ke
dalam bahasa lain yang mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yg dimasukinya
baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal, maupun semantis.
11
Dalam peristiwa
interferensi terjadi transfer, yaitu penggunaan kaidah bahasa tertentu pada
bahasa lainnya (modifikasi, sumber: study cycle.net). Namun, Nabatan (Chaer,
2009:261) mengemukakan “secara teoritis tidak ada orang yang mempunyai
kemampuan berbahasa kedua sebaik dengan bahasa pertama”. Yang mungkin terjadi
adalah orang mampu berbahasa kedua dalam beberapa bidang kegiatan atau keilmuan
saja. Dalam proses pemerolehan B1 terjadi penuranian. Chaer (2009:261)
menyebutkan dalam hipotesis nurani disebutkan bahwa “pemerolehan bahasa pertama
yang berlangsung sejak bayi sampai berakhirnya masa atau periode kritis untuk
memperoleh bahasa pertama, sedikit demi
sedikit, ... , bahasa pertama itu dinarunikan”, proses penuranian hampir
sama dengan proses akuisisi, yakni berlangsung secara tidak sadar, dan proses
tersebut sudah mencakup semua kemampuan bahasa, seperti sintaksis, fonologi,
morfologi, dan leksikon. Interferensi yang terjadi antara B1 dan B2 dapat
mencakup segala aspek bahasa. Chaer (2009:261-263) memberikan tiga contoh
mengenai interferensi berikut ini:
a.
Interferensi dalam tataranfonologi, contoh seorang penutur bahasa Indonesia
yang berasal dari pulau Nias sering melafalkan voiceless phoneme bilabial
stop [p] menjadi voiceless phoneme labiodental fricative [f].
b.
Interferensi dalam tataran morfologi,contoh tentang pembentukan kata dengan
afiks. Dalam bahasa Belanda dan Inggris terdapat kata sufiksisasi, maka banyak
pula penutur Indonesia yang kemudian menggunakannya dalam pembentukan kata
dalam bahasa Indonesia seperti tendanisasi, turinisasi. Bentuk seperti itu
merupakan penyimpangan dari sistem morfologi bahasa Indonesia, karena dalam
bahasa Indonesia ada konfisk pe-an untuk membentuk nominal. Jadi, bentuk yang
benar adalah penendaan, penurian. Contoh lain, tentang penggunaan bentuk ketabrak,
kejebak, dan kekecilan, dalam bahasa Indonesia tergolong kasus
interferensi. Bentuk tersebut datang dari bahasa Jawa dan dialek Jakarta,
sementara bentuk yang benar adalah tertabrak, terjebak, terlalu kecil.
c.
Interferensi dalam tataran sintaktik, contoh dari bilingual Jawa-Indonesia dan
Sunda-Indonesia. Contoh bunyi kalimat-kalimatnya adalah:
Disini
toko laris yang mahal sendiri.
12
Kalimat ini
jelas berstruktur bahasa Jawa yang sebenarnya berbunyi “ning kene toko laris
sing larang dewe”.
Surat
itu telah dibaca oleh saya.
Kalimat diatas
merupakan bentuk bahasa Indonesia yang
terinterferensi bahasa Sunda yang sebenarnya berbunyi “eta surat geus dibaca ku
kuring”.
Dewasa ini
banyak orang Indonesia dalam menggunakan bahasa sering kali menyelipkan
sejumlah leksikal bahasa asing (Inggris, Arab, dan sebagainya). Menurut Chaer
(2009:263), hal ini juga merupakan proses transfer sadar dan sengaja dengan dua
alasan (a) karena dia tidak tahu padanannya dalam bahasa Indonesia, (b) sebagai
sarana gengsi untuk memberi kesan bahwa dia orang pandai”. beliau juga
mempertegas pendapatnya bahwa “penggunaan leksikal asing ini ... bukanlah suatu
transfer karena bahasa asing itu bukan bahasa pertama si pembicara itu”. Jadi,
penggunaan leksikal bahasa asing dalam kebahasaan bukan merupakan proses
transfer dari bahasa kedua, karena bahasa asing itu bukan bahasa pertama
pembelajar.
13
BAB III
KESIMPULAN
Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk
berkomunikasi, baik berupa pengungkapan gagasan, ide, ekspresi, maupun
penyampaian informasi terhadap orang lain. Secara umum, bahasa tidak pernah
lepas dari kehidupan manusia. Ketika suatu
interaksi dibangun, disitulah bahasa berkembang dan digunakan. Bahasa
pertama adalah bahasa yang diperoleh pertama kali oleh anak ketika dia masih
kecil. Proses pemerolehan ini disebut acquisition, yang berarti
pemerolehan bahasa tersebut terjadi secara tidak sadar dan alami. Ketika anak
belajar mengekpresikan kemauannya dalam bentuk bahasa kepada ibunya atau
lingkungannnya, disitulah secara alami bahasa pertama anak diperoleh. Bahasa
kedua adalah bahasa yang dipelajari ketika seseorang telah memiliki bahasa
pertamanya. Proses pembelajaran B2 lebih bersifat learning. Hal ini
karena seseorang tidak lagi mempelajarinya dengan alami, melainkan harus ada
upaya dalam pembelajaran bahasa itu. Dalam pembelajaran bahasa kedua seseorang
tidak akan terlepas dari pengaruh bahasa pertama. Karena pembelajaran bahasa
kedua sama halnya dengan proses penerimaan bahasa baru terhadap bahasa yang
telah pembelajar miliki terlebih dahulu. Ini memungkinkan adanya pengaruh unsur
B1, baik dalam segi fonologi, sintaksis, morfologi, maupun leksikon terhadap
unsur B2. Pengaruh ini dapat berupa transfer dan interferensi antara kedua
bahasa tersebut. Terdapat beberapa hubungan antara B1 dengan B2 yang tengah
seseorang pelajari, baik meliputi persamaan dan perbedaan unsur kebahasaan,
maupun struktur bahasa. Adanya kemudahan dalam belajar B2 karena terdapat
beberapa kesamaan antara B1 dan B2. Sebaliknya, timbulnya kesulitan dalam
pembelajaran B2 karena adanya perbedaan antara kedua bahasa, yang bahkan dapat
menimbulkan kesalahan. Transfer dan interferensi adalah proses dimana penutur
asli bahasa pertama akan menggunakan nsure B1 ketika dia mempelajari bahasa
keduanya. Jadi, nsure bahasa yang berupa persamaan maupun perbedaan antara B1
dan B2, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran B2. Semakin banyak
persamaan nsure B1 (mencakup segi fonologi, sintaktik, morfologi, dan
leksikon), semakin mudah proses pembelajaran B2 sebaiknya, semakin besar
perbedaan nsure B1 dengan B2 semakin pembelajar mendapat kesulitan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A. 2009.
Psikolinguistik: kajian teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ghazali, A.S.
2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa: dengan pendekatan
komonikatif-interaktif. Bandung: PT Refika Aditama.
Indah, R.N.,
&Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: konsep & isu umum. Malang:
UIN Malang Press.
Isnaini,
Iswahyuni, Hapsari, Y.&Dewi. Modul Bahasa Inggris: Foreign Language
Acquisition. Universitas Brawijaya.